16 Juli 2008

Selamat Datang Malaikat Kecilku


Siang itu mataku berkaca-kaca. Seperti ada butiran air mata yang bakal jatuh dari kelopak mataku. Siang yang terik semakin membuat hatiku sunyi. Sedih campur bahagia. Namun, khawatir aq nanti benar-benar tak mampu menahan dan akhirnya menangis, kuputuskan untuk menghisap sisa rokokku dalam-dalam. Kutarik nafas panjang lalu kulepas bersamaan asap rokok yang kuhembuskan pelan-pelan. Ada beban berat campur kesedihan yang kutanggung, ada kebahagiaan yang tak terkira yang baru saja hadir. Aq sedih karena kusendiri. Tak ada keluarga yang ikut menunggu istriku tergeletak di kamar kelas 3 Melati I. Dengan apa aq harus membayar biaya rumah sakit jika tak ada yang menolongku. Tapi aq juga bahagia karena ada malaikat kecilku yang baru terlahir.
Aq duduk di kursi lusuh pojok ruang parkir RS bersalin Kartini Cipulir, Jakarta Selatan. Tidak banyak aktivitas pasien yang keluar masuk rumah sakit. Pandanganku menerawang menembus hiruk pikuk ratusan kendaraan yang saling berebut melintas di depan rumah sakit.

Beban berat itu begitu terasa. Aq telah menjadi bapak. Perjuangan berat yang dilakukan istriku sejak Sabtu (13/7) pagi pukul 08.00 hingga tengah malam pukul 23.30 akhirnya melahirkan sesosok putri mungil dengan berat 3,5 kg panjang 50 cm.
Dari dalam ruang persalinan keluar seorang perawat. "Suami atau keluarga nyonya Shelvia Jaflaun?," tanyanya seraya membuka pintu ruang persalinan yang sejak tadi tertutup untuk umum termasuk diriku. "Ya, saya suaminya," buru-buru aq menjawab.
Aq sangat terharu terasa ingin menangis. Tubuh dan hatiku bergetar hebat. Aq lihat sesosok manusia mungil sedang melihat-lihat dengan tajam sekeliling seperti mencari sesuatu. "Assalamu alaikum anakku. Gimana kabarmu di alam rahim. Kenapa kamu memandang seperti itu. Ni ayahmu sayang. Kita memang sudah saling kenal lama, cuma tidak bisa saling melihat dengan mata kepala, tapi hati kita selalu bicara," kataku dalam hati lalu kucium anakku dengan sepenuh hati.

Aneh, dia tidak menangis. Justru dia terus memandangku dengan seksama. Matanya yang jernih itu juga terlihat terbuka sangat lebar. Seperti ingin memastikan bahwa orang yang di depannya adalah orang yang diberi kepercayaan oleh Yang di Atas untuk mengasuhnya hingga tumbuh dewasa.
Darah bekas persalinan masih terlihat jelas tersisa di kepala anakku. Setelah puas kuciumi. Kutempelkan bibirku di telinga kananya. Kulantunkan suara adzan dengan sepenuh hati. Lima menit kemudian kugeser ke kuping kirinya dan kulantunkan iqomah.
Opi Jaflaun, adik kandung istriku tiba-tiba membuyarkan lamunanku bernostalgia bersama malaikat kecilku. Perawat pun mendekat akan mengambil anakku. "Suster, difoto dulu boleh ga," tanyaku. Lalu kamera poket aq serahkan kepada Opi untuk bisa mengambil saat-saat pertama pasukan perangku terlahir di dunia itu. Jepret..jepret.. blitz kilap kamera menyilaukan mata selama dua kali.
Stres yang menimpaku sejak pagi hingga tengah malam itu hilang sudah dan berganti dengan kebahagiaan.

Beban berat yang menimpaku malam itu memang kurasakan seperti tak mampu kutanggung. Betapa tidak, istriku yang keras kepala membuat ulah saat kelahiran di ruang praktik bidan Ana. Mau jongkok, mau nungging, mau duduk, mau berdiri. Pokoknya hal yang menurutku tidak lazim. Dua bidan yang membantu persalinan di ruang praktik bidan Ana hanya geleng-geleng kepala. "Ga papa bu. Mau cara apapun boleh-boleh saja. Asalkan kalau lagi kontraksi jangan ditahan, dilepas saja seperti mau beol," kata bidan sore itu. Jam dinding aq lihat pukul 06.00. Darah terus mengalir dari selangkangan istriku. Suara rintihan menahan sakit tak bosan-bosannya keluar dari mulut istriku. Karena istriku banyak maunya sesuka hatinya, bidan menyuruhku untuk membantu memegangi pahanya dan menariknya ke atas. Tujuannya, jalan keluar bayi tidak kembali tertutup.

Tapi usaha itu sia-sia. Bahkan istriku sempat marah-marah. Karena aq bilangin ga usah aneh-aneh. Yang penting lahir normal. Ingat ayah ga punya duit. Kamu orang Ambon malu-maluin ga bisa lahirin normal. Begitu kataku. Masak di tengah hutan sendirian saja bisa lahirin, kamu ga bisa. Kataku lagi dan membuat istriku emosi. "Ayah keluar aja dech," katanya kemudian.
Aq pun putus asa dan langsung keluar dari ruang persalinan. Bagiku justru itu bisa aq manfaatkan untuk sejenak menghirup udara segar sambil merokok sebatang.
Belum juga teh botol kuminum, suami bidan Ana buru-buru menghampiriku di warung. "Mas dicari tuh?," katanya yang membuatku semakin stres. Tadi diusir, sekarang dicari. Kataku dalam hati setengah jengkel setengah marah. Ternyata yang manggil aq bukan istriku. Tapi bidan Ana. Dia bilang tidak mungkin meneruskan persalinan secara normal dengan kondisi istriku seperti itu. Dia bilang, tensi darah terus naik hingga tembus 180. Jika diteruskan bisa mengancam jiwanya dan jiwa calon anakku. Mau tidak mau, bidan terpaksa merujuk proses kelahiran ke rumah sakit. Itu lantaran dia gagal memberi arahan kepada istriku. Dengan kondisi emosi, darah terus naik. Sementara istriku juga banyak ulahnya. "Ya udah ibu bidan. Jika ke rumah sakit demi kebaikan anak dan istriku ga masalah," kataku lemas.

Dalam hati, aq pun memaki-maki. Sialan. Coba kalau istriku bisa mengontrol diri dan tidak keras kepala, mungkin akan lain jadinya. Dalam keadaan berdarah, istriku dibopong ke dalam sedan. Didampingi bude rasimin (pemilik kontraan yang aq tempati), sedan warna hitam itu meluncur ke rumah sakit. Bidan meminta menawari agar bisa dirujuk ke RS Muhammadiyah, Blok M. Tapi aq bilang yang paling dekat aja. Itu berarti RS Kartini Cipulir. Sepanjang perjalanan,anganku kembali melayang. Ada dua hal yang membayangi pikiranku. Memikirkan keselamatan istri dan anakku yang saat ini terancam, kedua soal biaya. Kemana aq harus mencarinya. Jika harus masuk rumah sakit, itu artinya kondisi sudah gawat. Mau tidak mau harus operasi. Padahal, sekali operasi dibutuhkan minimal Rp 4,8 juta. Itupun bisa lebih jika ada kondisi yang tidak biasa. Sementara di dompetku tinggal Rp 600 ribu. Astagfirullah hal adzim. Siapa yang akan membantuku. Aq putus asa. Tapi Tuhan punya rencana lain yang tak aq mengerti.
Sampai di rumah sakit pukul 19.30. Istriku langsung dibawa ke ruang persalinan. Setelah diperiksa sebentar ditambah laporan dari bidan, dokter bilang tidak bisa berbuat banyak. Operasi cesar terpaksa dilakukan. Kondisi istriku sudah sangat menghawatirkan. Tensi darah 180 ditambah demam. "Maaf bapak, kami tidak berani menolong proses kelahiran secara normal. Terlalu beresiko terhadap keselamatan ibu dan bayinya. Jalan satu-satunya hanya operasi, itupun jika bapak setuju, kalau ya silakan tanda tangan," kata dokter singkat lalu meninggalkanku.

Aq pun tidak ada jalan lain. Demi calon anakku dan keselamatan istriku, tawaran operasi terpaksa aq setujui. Usai mengisi formulir, aq tertunduk lesu duduk di lantai sambil bersandar di tembok di depan ruang persalinan. Pikiranku sudah tak jelas kemana arahnya. Dua persoalan berat tengah melandaku. Pertanyaan yang selalu muncul, bagaimana keadaan istriku, bagaimana calon anakku. Pikiranku tambah stres, sejak masuk ke rumah sakit tersebut, dokter bilang belum bisa melakukan operasi. Sebab, masih harus menunggu dokter bedah dan dokter bius. Keduanya masih di RS Fatmawati. "Sebentar mas, tadi sudah ditelpon. Sekarang masih dalam perjalanan," katanya santai setiap aq tanya kenapa istriku tak kunjung ditangani.
Padahal, istriku sejak magrib tadi ketubannya sudah pecah. Darah terus mengucur. "Kurang ajar sekali rumah sakit ini. Membiarkan istriku telantar. Awas kalau terjadi apa-apa," kataku dalam hati mengancam.

Pukul 23.00, tiga mobil datang di halaman rumah sakit secara bergantian. Tukang parkir bilang itu mobilnya dokter bedah dan dokter bius. Aq buru-buru ke dalam. Ternyata operasi belum juga dilaksanakan. Aq pun frustasi. Pada saat panik itu, kluarga besar Ambon sudah pada berdatangan. Mereka mencoba memberikan semangat. Karena saking frustasinya, aq kembali keluar. Kunyalain rokok dan kuhisap dalam-dalam. Setengah jam kemudian, perawat memanggilku. "Bapak silakan masuk ruang bedah," kata salah seorang perawat kemudian menghilang entah kemana.
Kubuka pintu ruang persalinan. Sesosok bayi mungil diam membisu di atas meja yang dibungkus kain. "Itu bayinya bapak, agamanya apa. Kalau Islam silakan diazanin," kata perawat. Melihat sosok mungil aq bergetar hebat. Anakku yang kunantikan akhirnya terlahir ke dunia setelah melalui jalan panjang berliku.
Kuucapkan salam. Bayi itu menatap tajam. Matanya yang jernih mencari-cari tempatku berada. "Assalamu alaikum anakku. Ini ayah nak. Ini ayahmu," kataku.

Setelah kuazani di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri, kucium anakku sambil kubacain surah al qodr. Aq keluar ruang persalinan menuju kerumunan keluarga besar istriku sambil menunjukkan foto anakku. Putih bersih dan cantik. Semua bergantian melihatnya. Sementara istriku usai operasi langsung masuk UGD. Kata dokter harus menginap di tempat itu selama 24 jam. Baru esoknya dipindah di ruang perawatan.
Untuk bisa menjenguknya, tidak diperkenankan beramai-ramai. Hanya satu per satu secara bergiliran. Sementara keluarga melihat keadaan istriku di UGD, aq ama Tatho (adik sepupu) langsung meluncur mencari perlengkapan untuk mengubur ari-ari. Tujuh jenis bunga aq beli. Bapak tua penjual bunga minta Rp 20 ribu. Tidak banyak protes, aq kasih aja duit langsung buru-buru kembali ke rumah sakit.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.30. Keluarga pada pamit pulang. Aq pun ikut pulang ke rumah kontraan untuk mencuci ari-ari anakku. Satu jam lebih kucuci saudara kembar anakku sampai bersih. Lalu kutaburkan garam, asam jawa, gula dan diaduk dengan bunga tujuh jenis. Lalu kumasukkan dalam kendil yang terlebihdahulu kulapisi dengan kain kafan. Kumasukkan ari-ari dan kututup lagi dengan kain kafan sisanya. Di atasnya aq taruh kertas yang telah ditulisi surat luqman dan beberapa ayat. Aq sendiri juga tidak memperhatikan persis apa bunyinya. Sebab, itu titipan dari keluarga Tuban. Setelah itu, kuketok-ketok rumah bude untuk minta izin membongkar lantai ubin di depan kontraan sambil minta minyak tanah untuk penerangan. Setelah dibongkar pakai martil, pukul 04.00 tepat kukubur ari-ari anakku. Karena kecapaian, tahu-tahu hari sudah siang. Badan terasa pegal semua. Istriku sudah misqol tanda aq harus kembali lagi ke rumah sakit. Begitu mata terbangun, aq kembali pusing. Sebab, malam tadi, dokter minta agar uang DP Rp 2,5 juta harus dibayarkan terlebihdahulu. Tapi aq sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Semua sudah ditentukan oleh-Nya.

Satu hari terlewati. Ternyata rumah sakit tak menagih uang DP. Mas hatta yang tadi malam akan meminjami uang untuk DP juga tak kunjung dikirim. Aq tambah stres. Pada saat kebingunganku mencari dana talangan, sms ucapan selamat mulai masuk satu per satu. Mulai Sekda Pemprov DKI Muhayat, Kepala Dinas Tramtib dan Linmas Harianto Badjoeri, Kepala Dinas Pendidikan Dasar Sukesti Martono, Kepala Dinas Bintal Kesos Maman Achdiat, Kepala Dinas Pariwisata Arie Budhiman, Kepala Dinas UKM Ade Soeharsono, mantan Astapraja Moerdiman Reksomarnoto, Kahumas PTKA Daops I Sujadi, PLN Azwar Lubis, Kahumas PT Pelni Edi Haryadi serta sejumlah pejabat lainnya. Sms ucapan selamat dari kawan-kawan Indopos juga terus berdatangan. Begitu juga teman liputan di balaikota serta sejumlah kolega.
Tuhan memang punya rencana lain. Dua hari istriku dirawat, saudara dan kolega mulai menjenguk. Ada yang membawa baju bayi, ada juga yang ikut menyisihkan saku untuk menyumbang biaya rumah sakit. Dari seberang, maskin kakak kandungku telepon katanya sudah dikirim Rp 2,5 juta. Pak Edi Pelni dan istrinya juga ikut nyumbang Rp 300 ribu. Opi adik iparku dan suaminya Fora juga ikut nyumbang Rp 300 ribu. Dela anaknya tante Lena dan suaminya juga ikut nyumbang. Malam harinya, kawan-kawan balaikota berdatangan menjenguk menggunakan mobilnya pak Indra Nonstop. Mereka berempat mewakili temen-temen balaikota. Ada Bagus Media Indonesia, Drajat Lampu Merah dan Opik Posmetro. Mereka bilang temen-temen yang lain juga akan menyusul tunggu waktu yang tepat. Dari hasil patungan diperoleh Rp 1 juta dan disumbangkan untuk menambah biaya rumah sakit. Alhamdulillah ya Allah. Maha Besar Engkau Pemberi Rezeki dan Pembuka anugerah. Terima kasih kawan-kawanku semua, saudaraku semua. Tanpa kalian, tak tahu lagi nasib keluarga kecilku ini. Dari hasil patungan itu terkumpul Rp 4,2 juta. Aq langsung bayarkan siang harinya. Aq tanya kasir, biaya hingga hari keempat habis Rp 4.840.000. Artinya, masih kurang Rp 840 ribu. Aq perkirakan, hingga istriku bisa dibawa pulang, biaya habis Rp 5 juta. Mudah-mudahan semua bisa beres.
Memang soal biaya aq sangat kerepotan. Sebab, sejak ditetapkan bukaan I tiga pekan lalu, mas hatta sudah meminjami Rp 1 juta. Kemudian keluarga Tuban juga mengirim Rp 500 ribu. Jumlah itu aq perkirakan lebih dari cukup karena istriku yakin bisa lahiran secara normal. Tapi siapa yang menyangka, Tuhan punya kehendak lain. Aq harus berangkat ke Malaysia selama lima hari. Uang tabungan ikut ludes untuk ngurus paspor dan biaya sana sini selama di Johor. Hanya tinggal uang pinjaman untuk lahiran. Itupun akhirnya juga kepotong-potong dan hingga hari H tinggal Rp 600 ribu.
Menjelang istriku pulang besok, barusan Leksin telepon. Katanya akan mentransfer biaya kekurangan rumah sakit. Rencana mo dikirim Rp 2 juta. Tapi aq bilang ga usah banyak-banyak. Rp 800 ribu atau maksimal Rp 1 juta saja untuk menutup kekurangannya. Hal itu dengan pertimbangan agar pengembaliannya nanti juga tidak terlalu berat.
Kini, aq semakin lega. Beban yang membelenggu sudah separo lebih hilang berganti kebahagiaan seutuhnya. Sekali lagi terimakasih saudaraku semua, terima kasih kawan-kawanku semua yang telah memberikan dukungan dan doanya. Hingga istriku selamat, anakku selamat dan utamanya, biaya rumah sakit tertutupi.
Oh ya, masih ada tugasku yang belum selesai. Nama apa yang pantas aq berikan kepada malaikat kecilku. Pa'e Ambarawa dua hari lalu mengusulkan agar disisipkan nama Ratna atau Sari atau Dewi. Sementara keluarga Tuban mengusulkan apapun asalkan bukan nama Jawa. Lalu siapa?
Aq bersama istri akhirnya merenung-renung. Bahwa kami mendapat momongan berkat kuasa dan keajaiban Tuhan. Dua kali permintaan dan doaku terkabul. Aq ingin istriku hamil setelah lebaran berikutnya setelah satu tahun menikah. Ternyata istriku benar-benar hamil. Kedua, aq ingin anakku lahir hari Sabtu bertepatan dengan hari liburku. Ternyata juga terkabul.
Maka, bersama istri aq putuskan nama anakku "Najwa Syifa".
Najwa berarti bisikan rahasia. Syifa berarti obat penyembuh dari segala macam penyakit. Dengan memberi nama itu, aq ingin putri mungilku kelak menjadi obat setiap penyakit yang ada di dunia ini yang menurut orang lain tidak mungkin lagi disembuhkan. Penyakit kesedihan, penyakit ketidakadilan, penyakit keangkaramurkaan, penyakit kesombongan, penyakit kesewenang-wenangan serta ribuan penyakit lain bisa dikikis habis kelak oleh putri mungilku. Sementara Najwa berarti simbol percakapan secara rahasia antara sang anak manusia dan penciptanya setelah melalui penempaan diri yang mendalam secara ruhaniah. "Man arofa nafsahu, arofa robbahu,". Siapa yang faham dan mengerti atas dirinya, maka dia akan mengetahui terhadap Tuhannya.
Karena, Najwa Syifa, proses kelahiranmu banyak hal yang dipertaruhkan. Terutama nyawa ibumu.

RS Kartini Cipulir, 15 Juli 2008

12 Juli 2008

Malaikat Kecilku Lahir ke Dunia


Pukul 08.00, istriku teriak-teriak. "Yah, perut mama sakit. Mules banget," katanya membangunkanku. Maklum, hari Sabtu bagiku merupakan hari istimewa. Sebab, setelah sepekan penuh kerja keras liputan, baru dapat libur. Seperti hari-hari biasanya, menjelang hari Sabtu, malamnya aq buat spend all night nonton film keluaran terbaru bersama Shelvia Jaflaun istriku keturunan Ambon itu di rmh kontraan kecilku yang sempit.
Pagi harinya kesempatan untuk istirahat atau jalan-jalan mengunjungi kerabat terdekat. "Tiap hari ayah pergi pagi pulang malam. Sekarang hari Sabtu, giliran waktumu untukku, untuk keluarga," kata istriku selalu protes ketika aq coba untuk molor menikmati hari libur. "Kalau Sabtu kau tagih jatah untukmu, untuk diriku sendiri kapan?," begitu biasanya aq protes kalau lagi males keluar rumah.
Memang, liputan sepekan penuh di Jakarta cukup melelahkan. Segala persoalan yang membelenggu Ibu Kota ini tak boleh luput dari perhatianku. Hampir tiap hari aq harus mengisi satu halaman penuh (dua halaman malahan. Soalnya ditambah halaman sambungan. Untuk menulis satu berita minimal harus 450 kata atau 3000 karakter). Satu halaman minimal ada tujuh berita. Satu headline, tiga berita tengah, dua kirian serta satu boks yang berisi tulisan features. Berat memang, apalagi jika Eos atau Sis (pasukan Jakarta Raya) pada libur atau lagi sepi berita.Jika keduanya masuk, Eos kebagian mencari berita lifestyle+boks, Sis ma aq bertanggungjawab berita tengah+HL. Jika keduanya lagi keok, mau ga mau, aq harus bertanggungjawab untuk mengisi penuh satu halaman. "Ak.. HL-nya belum ada, ak..beritanya kurang, ak..boksnya belum ada..," itulah kata-kata redaktur yang sangat akrab kudengar.
Tapi aq ga menyesal. Jika di TNI ada kopassus atau sniper yang bertugas di medan berat, barangkali jika di redaksi, aq adalah salah satu bagian dari tim itu. Seluruh medan perang harus dikuasai dengan baik. Setiap target harus tepat sasaran. Sekali meleset, waktu tidak akan terulang. Sore hari, saat-saat jam deadline maka akan pusing jadinya. Stres dan kalut. Telpon berdering terus. Jika tidak sigap sejak pagi, sisa beberapa menit harus bisa digunakan dengan baik. Tidak ada alasan tidak bisa. Hanya kata siap dan oke bentar lagi kirim. Itulah kata-kata yang harus keluar dari mulutku saat redaktur mengeluh halaman masih kosong.
Detik-detik kelahiran anakku yang pertama akhirnya datang. Setelah dua pekan lalu dinyatakan bukaan satu saat diperiksa, semua kerabat, teman, sahabat, pada bertanya. Kapan lahir, kok ga lahir-lahir. Begitu kata-kata yang selalu terucap. Maklum, waktu itu karena istriku panik, aq jadi izin libur ga liputan. "Insya Allah Sabtu depan," begitu aq selalu menjawab. Soalnya, jika Sabtu aq libur. Jika hari biasa tak mungkin bisa cepat pulang jika sewaktu-waktu istriku mo lahiran. Paling cepat pukul 22.30. Itupun jika tidak ada rapat di kantor. Tetanggalah yang akhirnya harus menggantikanku jika sewaktu-waktu anakku tiba-tiba akan lahir.
Bahkan aq sama istri sempat bersitegang saat ada tugas liputan di Malaysia selama lima hari pada 1 Juli hingga 5 Juli lalu. Saat itu sudah sepekan setelah dinyatakan bukaan satu. Artinya, tidak lama lagi anakku akan lahir. Sementara di rumah tidak ada pembantu atau saudara yang menunggui istriku. Tapi mau apa lagi, tugas tetap tugas. Aq harus tetap berangkat ke Johor, Malaysia. Istriku ngotot akan minum obat perangsang agar bayi yang di kandungnya cepat lahir. Tapi aq saranin lebih baik jangan minum. Khawatir mulesnya terlalu sakit. "Ya udah minum saja. Tapi kalau terasa sakit jangan mengeluh. Karena itu pilihanmu," kataku kesal setelah istriku merengek-rengek minta minum obat perangsang sambil menangis.
Aq pun kembali menyarankan, jika harus minum obat perangsang agar cepat lahir, agar sekembali dari Malaysia saja. Aq pun menemui bidan yang menanganinya. Justru di depanku bidan mengatakan lebih baik jangan minum obat perangsang. "Sakit mas. Kalau bisa alami, alami saja. Kalau saatnya lahir juga lahir," kata bidan yang akhirnya membuat istriku yakin dan tidak merengek-rengek lagi.
Lima hari aq di Malaysia. Tiap hari aq hubungi istriku. Anakku tak kunjung lahir. Hingga aq kembali ke Jakarta. Dua pekan sejak kepergianku dari Malaysia, Sabtu (12/7) hari ini, anakku tiba-tiba mau lahir. Mungkin Tuhan tahu, anakku tahu, kalau ayahnya hanya punya waktu hari Sabtu. Di luar hari itu, waktuku full untuk liputan. Aq pun bersyukur waktunya pas hari libur.
Pagi pukul 10.00 diperiksa, istriku dinyatakan bukaan tiga. Bidan menyuruh agar pulang ke rumah ambil segala perlengkapan untuk lahiran. Pukul 12.00, istriku kembali berdarah dan mengajak cepet-cepet balik ke bidan. Diperiksa lagi sudah bukaan lima. Kemudian suruh jalan-jalan lagi agar cepat sampai bukaan 10. Semua kerabat sudah aq hubungi. Termasuk para redaktur kantor Indopos. Supaya, jika anakku lahir, sudah ada penambahan pasukan di Jakarta Raya. Soalnya mau ga mau aq harus libur minimal tiga hari nungguin istriku. Redaktur pun bisa persiapan konsolidasi dengan tim Jakarta Raya yang lain agar tidak gelagapan saat aq libur. Maklum, di Jakarta Raya saat ini tinggal aq sama Sis. Jika aq harus libur, praktis hanya Sis yang bertanggungjawab untuk mengisi penuh satu halaman.
Menanti dan menanti. Sudah dua jam lebih istriku mondar mandir jalan perlahan di depan rumah bidan. Kata bidan agar bukaannya cepat bertambah menjadi 10. Arlojiku sudah menunjukkan pukul 14.15. Hampir satu bungkus rokok aq habiskan sejak pagi sambil menunggui istriku