12 Juli 2008

Malaikat Kecilku Lahir ke Dunia


Pukul 08.00, istriku teriak-teriak. "Yah, perut mama sakit. Mules banget," katanya membangunkanku. Maklum, hari Sabtu bagiku merupakan hari istimewa. Sebab, setelah sepekan penuh kerja keras liputan, baru dapat libur. Seperti hari-hari biasanya, menjelang hari Sabtu, malamnya aq buat spend all night nonton film keluaran terbaru bersama Shelvia Jaflaun istriku keturunan Ambon itu di rmh kontraan kecilku yang sempit.
Pagi harinya kesempatan untuk istirahat atau jalan-jalan mengunjungi kerabat terdekat. "Tiap hari ayah pergi pagi pulang malam. Sekarang hari Sabtu, giliran waktumu untukku, untuk keluarga," kata istriku selalu protes ketika aq coba untuk molor menikmati hari libur. "Kalau Sabtu kau tagih jatah untukmu, untuk diriku sendiri kapan?," begitu biasanya aq protes kalau lagi males keluar rumah.
Memang, liputan sepekan penuh di Jakarta cukup melelahkan. Segala persoalan yang membelenggu Ibu Kota ini tak boleh luput dari perhatianku. Hampir tiap hari aq harus mengisi satu halaman penuh (dua halaman malahan. Soalnya ditambah halaman sambungan. Untuk menulis satu berita minimal harus 450 kata atau 3000 karakter). Satu halaman minimal ada tujuh berita. Satu headline, tiga berita tengah, dua kirian serta satu boks yang berisi tulisan features. Berat memang, apalagi jika Eos atau Sis (pasukan Jakarta Raya) pada libur atau lagi sepi berita.Jika keduanya masuk, Eos kebagian mencari berita lifestyle+boks, Sis ma aq bertanggungjawab berita tengah+HL. Jika keduanya lagi keok, mau ga mau, aq harus bertanggungjawab untuk mengisi penuh satu halaman. "Ak.. HL-nya belum ada, ak..beritanya kurang, ak..boksnya belum ada..," itulah kata-kata redaktur yang sangat akrab kudengar.
Tapi aq ga menyesal. Jika di TNI ada kopassus atau sniper yang bertugas di medan berat, barangkali jika di redaksi, aq adalah salah satu bagian dari tim itu. Seluruh medan perang harus dikuasai dengan baik. Setiap target harus tepat sasaran. Sekali meleset, waktu tidak akan terulang. Sore hari, saat-saat jam deadline maka akan pusing jadinya. Stres dan kalut. Telpon berdering terus. Jika tidak sigap sejak pagi, sisa beberapa menit harus bisa digunakan dengan baik. Tidak ada alasan tidak bisa. Hanya kata siap dan oke bentar lagi kirim. Itulah kata-kata yang harus keluar dari mulutku saat redaktur mengeluh halaman masih kosong.
Detik-detik kelahiran anakku yang pertama akhirnya datang. Setelah dua pekan lalu dinyatakan bukaan satu saat diperiksa, semua kerabat, teman, sahabat, pada bertanya. Kapan lahir, kok ga lahir-lahir. Begitu kata-kata yang selalu terucap. Maklum, waktu itu karena istriku panik, aq jadi izin libur ga liputan. "Insya Allah Sabtu depan," begitu aq selalu menjawab. Soalnya, jika Sabtu aq libur. Jika hari biasa tak mungkin bisa cepat pulang jika sewaktu-waktu istriku mo lahiran. Paling cepat pukul 22.30. Itupun jika tidak ada rapat di kantor. Tetanggalah yang akhirnya harus menggantikanku jika sewaktu-waktu anakku tiba-tiba akan lahir.
Bahkan aq sama istri sempat bersitegang saat ada tugas liputan di Malaysia selama lima hari pada 1 Juli hingga 5 Juli lalu. Saat itu sudah sepekan setelah dinyatakan bukaan satu. Artinya, tidak lama lagi anakku akan lahir. Sementara di rumah tidak ada pembantu atau saudara yang menunggui istriku. Tapi mau apa lagi, tugas tetap tugas. Aq harus tetap berangkat ke Johor, Malaysia. Istriku ngotot akan minum obat perangsang agar bayi yang di kandungnya cepat lahir. Tapi aq saranin lebih baik jangan minum. Khawatir mulesnya terlalu sakit. "Ya udah minum saja. Tapi kalau terasa sakit jangan mengeluh. Karena itu pilihanmu," kataku kesal setelah istriku merengek-rengek minta minum obat perangsang sambil menangis.
Aq pun kembali menyarankan, jika harus minum obat perangsang agar cepat lahir, agar sekembali dari Malaysia saja. Aq pun menemui bidan yang menanganinya. Justru di depanku bidan mengatakan lebih baik jangan minum obat perangsang. "Sakit mas. Kalau bisa alami, alami saja. Kalau saatnya lahir juga lahir," kata bidan yang akhirnya membuat istriku yakin dan tidak merengek-rengek lagi.
Lima hari aq di Malaysia. Tiap hari aq hubungi istriku. Anakku tak kunjung lahir. Hingga aq kembali ke Jakarta. Dua pekan sejak kepergianku dari Malaysia, Sabtu (12/7) hari ini, anakku tiba-tiba mau lahir. Mungkin Tuhan tahu, anakku tahu, kalau ayahnya hanya punya waktu hari Sabtu. Di luar hari itu, waktuku full untuk liputan. Aq pun bersyukur waktunya pas hari libur.
Pagi pukul 10.00 diperiksa, istriku dinyatakan bukaan tiga. Bidan menyuruh agar pulang ke rumah ambil segala perlengkapan untuk lahiran. Pukul 12.00, istriku kembali berdarah dan mengajak cepet-cepet balik ke bidan. Diperiksa lagi sudah bukaan lima. Kemudian suruh jalan-jalan lagi agar cepat sampai bukaan 10. Semua kerabat sudah aq hubungi. Termasuk para redaktur kantor Indopos. Supaya, jika anakku lahir, sudah ada penambahan pasukan di Jakarta Raya. Soalnya mau ga mau aq harus libur minimal tiga hari nungguin istriku. Redaktur pun bisa persiapan konsolidasi dengan tim Jakarta Raya yang lain agar tidak gelagapan saat aq libur. Maklum, di Jakarta Raya saat ini tinggal aq sama Sis. Jika aq harus libur, praktis hanya Sis yang bertanggungjawab untuk mengisi penuh satu halaman.
Menanti dan menanti. Sudah dua jam lebih istriku mondar mandir jalan perlahan di depan rumah bidan. Kata bidan agar bukaannya cepat bertambah menjadi 10. Arlojiku sudah menunjukkan pukul 14.15. Hampir satu bungkus rokok aq habiskan sejak pagi sambil menunggui istriku

2 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Saya sudah baca tulisan ini. Kami bersukur mendengar malaikat kecilmu lahir. Kami semua berdoa untuk kawan di Jakarta. Kami prihatin dan salut, sebab di tengah kesibukan, kawan harus dicemaskan dengan perasaan berdebar menunggu anak pertama yang baru mau melihat dunia. Kami tunggu, siapa gerangan nama yang akan kawan berikan untuk putri pertama...

Ibnul A'robi mengatakan...

Thankyu kawan, stres juga neh. maklum, persiapan tdk sesuai rencana. Tp semua dah kelar berhat doa dan bantuan kawan2 sekalian. salam buat yang di jogja