23 April 2008

Setelah 2 Orang Ditetapkan Tersangka

Setelah Kejari Jakarta Selatan menetapkan dua orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lemari arsip tahan api (filling cabinet) yang merugikan negara Rp 4,6 miliar, dipastikan beberapa pejabat Pemprov DKI Jakarta yang diduga terlibat bakal segera diperiksa. Dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka masing-masing ketua panitia pengadaan barang dan jasa Pemkodya Jakarta Selatan berinisial TSW (Tri Sasongko Witjaksono) serta Direktur CV Dharmakusuma berinisial WSZ (Wawan Subhan Zhabet) selaku rekanan Pemkodya Jakarta Selatan dalam pengadaan filling cabinet tahun 2006 itu.
Menurut Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Muhammad Yusuf, setelah ditetapkannya dua tersangka tersebut, pihaknya akan segera memeriksa para pejabat di Pemprov DKI yang diduga ikut terlibat dalam kasus tersebut.
Sayangnya, Yusuf enggan menyebutkan, siapa saja yang bakal segera diperiksa untuk kemudian dijebloskan ke terali besi jika terbukti ikut terlibat kasus tersebut. Begitu juga soal waktu yang dijadwalkan untuk pemanggilan para pejabat itu. "Tunggu saja," ungkapnya merinci siapa yang bakal dibidik selanjutnya.
Menurut anggota penyidik Bayu Adhinugroho, tim penyidik telah memeriksa 21 saksi. Di antaranya, Budiman Simarmata, Paryanto, dan sembilan anggota panitia lelang. "Kami juga akan memeriksa Dadang Kafrawi sebagai saksi," ujarnya. Selain para pejabat Pemkot, tak tertutup penyidik memanggil para pejabat dari Pemprov DKI.
Diakui Yusuf, penanganan kasus dugaan korupsi filling cabinet memang berjalan lambat. Namun, bukan berarti tidak berjalan sama sekali. Sebab, saat ini, fokus pemeriksaan dipusatkan di masing-masing wilayah. Dari lima wilayah tersebut, Kejari mendapat tugas memeriksa di tingkat kotamadya seperti panitia lelang, seko, walikota serta pihak ketiga. Sedangkan Kejati memeriksa di tingkat provinsi. Yakni dugaan keterlibatan Biro Adwil yang dikomandani Agus Salim Utud.
Dari lima wilayah DKI, saat ini memang baru Kejari Jakarta Selatan yang berhasil menetapkan dua tersangka. Penetapan itu hasil penyelidikan selama tiga bulan terakhir.
TSW dan WSZ dinyatakan terlibat setelah beberapa kali diperiksa oleh aparat Kejari Jakarta Selatan. Dua orang tersebut ikut melakukan penggelembungan dana pengadaan 600 unit filling cabinet yang merugikan negara Rp 4,6 miliar. "Saya sudah perintahkan agar para tersangka itu segera ditahan," bebernya.
Sementara, empat daerah lain belum ada penetapan tersangka. Tapi penanganan sudah berjalan 80 persen untuk sampai pada penetapan tersangka baru. "Saya sudah perintahkan agar pemeriksaan di masing-masing wilayah bisa digencarkan. Untuk yang di Biro Adwil DKI kami memang belum bergerak," ungkapnya.
Penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut dimulai sejak ada penemuan dugaan penggelembungan dana pengadaan filling cabinet dengan nilai total Rp 15 miliar. Setelah diungkap pada September 2007. Kemudian, pada Januari 2008, penyidik meningkatkan statusnya ke penyidikan dan menemukan unsur kerugian negara hingga ditetapkannya para tersangka tersebut.
Selain soal penggelembungan dana, Yusuf juga menyatakan, ada yang tidak beres dalam pengadaan tersebut. Sebab, masing-masing wilayah tidak pernah mengajukan anggaran tersebut. Alokasi anggaran murni atas inisiatif kalangan DPRD DKI dan masuk di draft anggaran komisi A.
Namun, ketua komisi A Ahmad Suaidy membantah jika anggaran itu murni dari internal komisi A. Sebab, anggaran filling cabinet merupakan proyek titipan dari komisi C terbukti dengan adanya tanda tangan dari ketua komisi C Daniel Abdullah Sani.
Sekda Pemprov DKI Jakarta Muhayat saat dikonfirmasi terkait akan dibidiknya pejabat Pemprov DKI belum bisa memberikan keterangan. Namun, sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, tidak akan menutup-nutupi jika ada kesalahan yang dilakukan aparatnya. "Kalau terbukti bersalah, silakan diproses hukum," katanya.
Munculnya kasus dugaan korupsi filling cabinet di lingkungan Pemprov DKI Jakarta berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan inteligen Kejaksaan Tinggi DKI. Ditemukan enam kasus tindak pidana korupsi pada pengadaan filling cabinet tahan api di lima wilayah DKI. Masing-masing kantor Walikotamadya Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara serta Kantor Biro Administrasi Wilayah (Adwil) Pemprov DKI.
Dalam pengadaan tersebut, Biro Adwil mendapatkan anggaran Rp 2,5 miliar atau dengan jumlah keseluruhan Rp 15 miliar yang bersumber dari APBD DKI. Dugaan korupsi berawal setelah proses munculnya anggaran tersebut tidak prosedural lantaran muncul tanpa ada usulan dari masing-masing kotamadya se-DKI Jakarta.
"Selain dugaan mark up, juga total loss pengadaan tidak penting dan pemborosan.
Sebenarnya sudah ada filling cabinet, tapi beli lagi yang tahan api," ungkap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Harry Hermansyah saat membeberkan temuannya di kantor Kejati DKI saat kali pertama mengungkap kasus tersebut.
Dugaan korupsi tersebut didasari alasan pada pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh masing-masing kotamadya se-DKI Jakarta dan Biro Adwil DKI diduga tidak sesuai dengan ketentuan Kepres no 80 tahun 2003 tentang tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah. Antara lain, dalam menyusun spesifikasi filling cabinet tahan api oleh panitia atau penguasa anggaran telah menunjuk pada merek tertentu. Yakni Lacera. Selain itu, panitia lelang telah menetapkan hasil perhitungan sendiri (HPS) tanpa melakukan survey pasar dan pabrik. Panitia hanya mengacu kepada patokan harga satuan yang dikeluarkan Biro Perlengkapan DKI.
Lebih lanjut, Harry mengungkapkan, panitia atau kuasa pengguna anggaran dalam evaluasi teknis dan harga serta dalam menetapkan pemenang lelang tidak cermat dan tidak profesional. Seperti yang terjadi di Jakarta Timur yang menetapkan CV Mahabani sebagai pemenang lelang dengan harga Rp 21.050.000 per unit dan PT Landalo Sejati sebagai pemenang di Kodya Jakarta Pusat dengan harga Rp 21.825.000 per unit. Padahal, masih ada perusahaan lain yang sanggup memproduksi filling cabinet tahan api dengan harga yang lebih murah dengan spesifikasi sama dan kualitas yang sama. "Seperti yang ditawarkan PT Teleni dengan merek Okida dengan harga Rp14 juta serta merek lain yang lebih murah seperti Cassa dan Chubb," bebernya.
Yang sangat disayangkan lagi, panitia lelang telah merekayasa sama peserta lelang dengan nama fiktif. Seperti PT Karya Cipta Utama tidak pernah mendaftar sebagai peserta lelang. "Bahkan, PT Landaru tidak memiliki izin usaha serta belum pernah memproduksi filling cabinet. Produksi diserahkan perusahaan lain seperti PT Lodd Indonesia dan PT Sarandi," ungkapnya. (aak)

Wahai Siswa, Bersiaplah Tidak Lulus?


Ribuan siswa yang ada di DKI tampaknya harus lebih rajin belajar. Tidak hanya pada saat menghadapi ujian nasional, tapi juga selama menjalani proses belajar di sekolah. Pasalnya, standar kelulusan tidak hanya ditentukan oleh hasil ujian nasional, tapi juga ujian sekolah, nilai rapor serta budi pekerti siswa. Jika salah satu dinyatakan gagal, seluruh mata rantai uji kompetensi itu tidak ada artinya. Sebab, pihak sekolah akan langsung menyatakan diskualifikasi alias siswa dinyatakan tidak lulus. Praktis, dengan adanya standar tersebut, beban berat siswa untuk bisa mengantongi nilai tinggi semakin besar. Belum lagi, standar untuk ujian nasional sendiri juga naik dari 5,0 menjadi 5,25. (Begitu aq menulis di Harian INDOPOS, 24 April 2008).
"Meski standar kelulusan dinaikkan, kami optimistis, siswa DKI tetap bisa menjangkaunya dengan melihat tingkat nilai kelulusan SMA tahun kemarin 98,85 persen. Artinya, hanya 1,15 persen yang tidak lulus," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo disela-sela sidak di SMAN 39 Cijantung, Jakarta Timur.
Selain SMA, tingkat kelulusan SMKN juga di atas rata-rata sebesar 94,50 persen, SMA swasta 93,53 persen serta SMK swasta 92,17 persen.
Sementara, nilai rata-rata kelulusan tahun lalu juga di atas rata-rata. Dari hasil ujian nasional diperoleh, nilai SMAN 7,80, SMKN 7,33, SMA swasta 7,32 serta SMK swasta 7,08.
Naiknya kriteria standar kelusan dari 2007 hanya 5,00 menjadi 5,25, diharapkan bisa memotivasi siswa agar bisa lebih giat dalam belajar. Pihaknya juga mengimbau kepada orang tua siswa agar tidak takut dan khawatir terhadap anaknya yang tidak lulus sekolah. Naiknya standar kelulusan bukanlah momok. Sebab, dengan adanya pengalaman tahun lalu, tingkat kelulusan tahun ini dipastikan bisa naik. Meskipun, untuk mencapai 100 persen kelulusan masih banyak kendala.
Untuk mengikuti ujian nasional itu, seluruh biaya digratiskan. Biaya untuk ujian yang digelontorkan 5,4 miliar. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi kepala sekolah untuk menarik biaya ujian kepada siswanya.
Bagi siswa yang sakit, ada toleransi untuk mengikuti ujian susulan. Atau, jika siswa yang bersangkutan sanggup, bisa digelar ujian di rumah sakit. Jika ada yang ditahan, ujian juga bisa digelar di tempat penahanan itu.
Menurut ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Seto Mulyadi, peningkatan standar kelulusan itu sebagai uji kompetensi kemampuan siswa. Seluruhnya sudah melalui pengujian yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Sehingga, nilai antara siswa satu daerah dengan daerah lain bisa diukur dengan standar yang sama. Bahkan, kata dia, di Malaysia saja, saat ini nilai standar kelulusan antara 7 hingga 8. "Buktinya, mereka mampu. Ini untuk pembelajaran agar ketika keluar dari sekolah bisa belajar legowo. Berani menanggung segala resiko saat menghadapi segala persaingan. Menang atau kalah tergantung usaha," terangnya.
Pembuatan standar nasional itu juga dimaksudkan agar masing-masing sekolah tidak menentukan standar seenaknya. Pengawasan dilakukan dengan melibatkan para pakar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi.
Kepala Dinas Pendidikan Tinggi (Dikmenti) DKI Margani M Mustar menyatakan, jumlah sekolah yang menjadi penyelenggara ujian nasional sebanyak 1.065 sekolah. Tingkat SMA 453 sekolah, SMK 537 sekolah, SMALB 5 sekolah serta MA 70 sekolah.
Sedangkan siswa yang mengikuti ujian nasional sebanyak 118.929 siswa. Rinciannya, SMA sebanyak 57.145 siswa, SMK sebanyak 57.731 siswa, SMALB sebanyak 42 siswa serta MA sebanyak 4.011 orang.
Menurut Margani, ujian nasional tahun ini memang ada penambahan mata pelajaran. Jika sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, saat ini ada tambahan seperti Kimia, Fisika, Biologi untuk program IPA; Geografi, Ekonomi, Sosiologi untuk program IPS serta Sastra Indonesia, Bahasa Asing dan Sejarah Budaya untuk program Bahasa.
Begitulah situasi pendidikan di Ibukota saat ini. Ribet ga? kalau kalian yang memiliki kemampuan rata-rata sih oke-oke aja. Atau yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata tapi memiliki doku yang tebel bisa ikut kursus atau les privat tambahan. Tapi bagaimana jika mereka golongan yang tidak mampu. Bagaimana dengan mereka yang sakit hingga tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti pelajaran hingga nilai jeblok. Bagaimana dengan mereka yang membantu orangtuanya mencari nafkah hingga tak sempat belajar karena kecapaian. Pagfi sekolah, siang hingga malem ikut mengais rezeki. Lalu malamnya ketiduran karena kecapaian. Tapi itu mungkin tidak terlalu menjkadi peersoalan dan bisa diantisipasi.
Tapi bagaimana dengan sentimentil seorang guru. Bukankah nilai yang ditetapkan itu sangat subyektif. Mungkin tidak semua. Tapi setidaknya setiap sekolah pasti ada seorang guru dengan karakter seperti itu. Besar kecilnya nilai atau baik buruknya nilai tidak diukur berdasarkan kemampuan kita. Tapi lebih pada suka atau tidak suka.
Jika itu terjadi dan mempengaruhi nilai rapor kita, nilai ujian kita, apakah itu yang disebut ujian kehidupan seperti apa yang disebut Kak Seto biar siap menghadapi kehidupan sebenarnya jika kelak kita lulus dari sekolah. Atau yang disebut Kepala Dinas Dikmenti sebagai ujian mentalitas, atau yang disebut Gubernur DKI Fauzi Bowo sebagai uji kemampuan asah fikir.
Mungkin ini hanya subyektifitasku. Dan semoga di sekolah DKI itu tidak terjadi. Dari pengalamanku saat sekolah dulu. Tepatnya di MTSN Bojonegoro I. Ada seorang guru pengajar bahasa daerah yang sangat tidak profesional. Nilaiku sempat jeblok gara-gara ada temen satu kelasku yang disukainya. Kebetulan saat itu aq akrab dengannya. Gara-gara kedekatan itu, aq sempat ditampar dan aq dikasih nilai yang bagiku sangat memalukan dan tidak sesuai kemampuanku. Begitu juga dengan pelajaran Fisika dan Biologi. Satu buku yang kuhafal dan kutularkan dengan memberikan contekan ke temen satu kelas saat ujian ternyata berbuah simalakama. Siapa sangka jika temen yang aq beri contekan tidak ada yang nilainya di bawah enam. Seluruhnya delapan atau minimal tujuh. Tapi apa yang kudapat. Aq mendapat nilai yang sangat tidak pantas. Gara-garanya cuman satu. Guru itu sangat tidak suka ulahku yang katanya dianggap terlalu angkuh dan sombong sok mengerti pelajaran. Sebagai guru, dia merasa diremehkan. Bukankah seluruh PR yang dia berikan selalu kukerjakan dengan baik. Bukankah setiap dia ngoceh kita dengarkan baik2. Lalu apa yang salah? apakah hanya karena tidak suka kemudian nilai jadi anjlok.
Ternyata, kasus-kasus seperti itu tidak hanya terjadi pada saat SMP. Saat SD pun pernah aq alami. Pernah aq maki-maki seorang guru matematika karena aq anggap tidak becus mengajar dan aq laporin ke kepala sekolah karena bikin nilaiku dan nilai temen2 satu kelas jeblok. Kenapa? karena saat diajar guru yang lain pada mata pelajaran yang sama, hampir seluruh siswa memahami dengan baik dan mendapat nilai yang bagus. Tapi kenapa diajar oleh satu orang ini semua siswa menjadi korban. Hal yang sama juga pernah aq alami saat di SMA, bahkan hingga kuliah sekalipun.
Jika seperti itu, lalu siapa yang bakal dirugikan dengan adanya empat kriteria kelulusan yang tak terbantahkan. Satu tahap nilai dianggap jelak, otomatis semua ujian tidak ada gunanya. Jika sampai ada siswa yang mengalami seperti yang pernah aq alami, siap-siap saja tidak lulus?


Usai mengikuti sidak UN bersama Gubernur, 24 April 2008

17 April 2008

Bangunan Elit Pemicu Banjir


Malam itu, pandanganku nanar menatap langit yang dipenuhi hamparan mendung tipis. Di balik awan yang bergerak, tampak rembulan bersinar sangat redup.
Aq duduk di bangku depan rumah sambil menghisap sebatang rokok. Asap mengepul ke angkasa. Kulihat, air yang menggenangi rumahku tak kunjung surut. Padahal, sudah dua hari dua malam, banjir mengepung kampung tempat dimana aq tinggal saat ini.
Warga sendiri banyak yang mengungsi di jalan-jalan yang tidak tersentuh air.
Banjir yang terjadi di rumahku dan ratusan
ribuan warga yang tinggal di Kampung Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Selain di kampungku, ada lima kelurahan lain yang juga mengalami nasib sama. Seperti Bintaro, Pondok Pinang serta Cipulir. Bahkan ada yang tenggelam hingga 160 cm.
Banjir yang terjadi di kampungku bukan tanpa sebab. Tahun lalu, setiap Sungai Pesanggrahan meluap tidak sampai di pemukiman warga. Air masuk ke rawa-rawa yang terletak di belakang perkampungan atau persis di bantaran kali.
Sejak Juni lalu, rawa-rawa seluas 2 hektare itu telah berubah menjadi kawasan elit. Sepanjang bibir sungai dibeton sepanjang 100 meter.
Lebar kali tidak lebih 6 meter. Padahal, sesuai ketentuan, lebar sungai harus 60 meter untuk bisa mengalirkan air secara lancar.
Bangunan elit dua lantai berjajar rapi sepanjang koridor. Sementara di sebelah selatan atau paling ujung sedang dalam pengerjaan. Pengecoran siang malam dilakukan. Saat ini sudah sampai lantai 4 dari rencana enam lantai. Kabar yang beredar di warga, bangunan paling ujung itu untuk sekolah.
Sementara pemukimannya untuk rumah dinas DPR RI. Benarkah itu?
Jika benar, sekali lagi aq akan mengumpat. Bukankan mereka tukang buat peraturan. Bukankah peraturan melarang keras ada bangunan di bantaran kali. Ribuan warga Kampung Melayu yang tinggal di bantaran kali saja mau direlokasi. Kenapa ada perumahan elit milik pembuat peraturan berdiri di bantaran kali?
"Saya akan cek. Apakah benar bangunan elit itu berdiri di bantaran kali atau tidak. Apakah ada izin atau tidak. Jika tidak ada izin akan kami bongkar," begitu kata Gubernur DKI Fauzi Bowo saat aq tanyakan kenapa masih ada pendirian bangunan elit di bantaran kali sementara bangunan milik warga yang ada di bantaran kali saja mau dibongkar.
"Kami tetap akan membongkarnya jika tidak sesuai peruntukan," janjinya.
Saat sungai Pesanggrahan meluap, seluruhnya meluber ke pemukiman warga. Sementara, bangunan elit tersebut, meski berada di bantaran kali itu sama sekali tidak tersentuh air lantaran berada di atas ketinggian kali. Air yang meluap di pemukiman warga memutar melalui celah-celah yang tanahnya lebih rendah atau saluran kecil yang dibuatkan pengembang. Saluran tersebut masuk ke pemukiman tanpa ada tembusannya. Akibatnya, banjir akan surut ketika Sungai Pesanggrahan surut.
"Masalahnya rumahku dekat situ pak gubernur. Jadi aq tahu persis kalau bangunan elit itu ada di bantaran kali yang bikin banjir," kataku kepada Fauzi Bowo.
"Bukannya rumahmu di komplek elit itu. KKN juga lo biarin bangunan di bantaran kali," kata Gubernur jawab seenaknya.
"Rumahku bukan yang di komplek elit pak gubernur. Tapi di pemukiman warga yang kebanjiran," jawabku lagi.
"Ya udah nanti saya cek. Kalau ga ada izin saya bongkar," katanya. (janji Gubernur akan membongkar bangunan elit yang membuat rumahku banjir itu aq tulis besar-besar di Harian INDOPOS, 17 dan 18 April 2008.
Sebab, kata dia, sesuai peraturan, bantaran kali harus bebas dari bangunan. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua bangunan di DKI. Apakah itu bangunan elit atau bangunan biasa. "Kalau warga bilang daerah itu dulu tangkapan air, kenapa sekarang harus berdiri bangunan. Seperti Aditya Warman, Blok M, terbukti tidak sesuai peruntukan juga kami bongkar," tegasnya.
Banyaknya bangunan elit yang dibangun tidak sesuai peruntukan memang membuat Pemprov DKI prihatin. Baru-baru ini, sebuah apartemen di Setiabudi juga dibongkar paksa karena berdiri di jalur hijau. "Dari data yang kami himpun, ada 4500 hingga 5000 bangunan tidak memiliki IMB. Rata-rata, karena menyalahi peruntukan," ungkap Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan (P2B) DKI Hari Sasongko.
Jika untuk membongkar, itu memang sudah menjadi kewajibannya. Tapi, hal itu tidak lantas membuat para pengelola atau pemilik bangunan jera. Habis dibongkar, akan dibangun kembali. "Makanya saya usulkan agar siapa saja yang membangun bangunan tidak sesuai peruntukan bisa dipenjara," katanya.
Kenapa? karena selama ini, kata Hari, para pelanggar hanya mendapat sanksi tindak pidana ringan. Dendanya pun cukup terjangkau tidak sampai membuat efek jera.
Sebagai warga, mendengar janji dua penentu kebijakan itu membuat hati sedikit lega. Setidaknya, jika bangunan elit di dekat kampungku belum dibongkar, pasti yang lain sudah dibongkar. Manfaat buat lingkungan di sekitarnya pun benar-benar bisa dirasakan masyarakat banyak.
Semoga, janji-janji itu tak pernah ditarik lagi. Jika tidak, sampai di akhirat pun pasti akan aq tagih.
Kalau bangunan elit yang bikin kampungku banjir tidak segera dibongkar, di akhirat aq pasti menjadi orang pertama yang akan interupsi kepada malaikat. "Pak malaikat, tanya tuh kepada gubernur. Kenapa bangunan elit yang bikin rumahku dan ratusan rumah warga tidak dibongkar-bongkar,".

Saat banjir terus menenggelamkan rumahku, 18 April 2008

15 April 2008

Pemprov DKI Menyimpang Lagi Rp 81, 2 Miliar


Hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sungguh mengejutkan. Belum usai pengusutan dugaan korupsi filling cabinet yang merugikan negara Rp 4,6 miliar, terdapat tiga satuan perangkat daerah (SKPD) yang ditemukan menyimpang dengan indikasi merugikan negara Rp 81,2 miliar lebih. Di antaranya Dinas Perhubungan DKI, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI, BLU Transjakarta serta Dinas Pendidikan Dasar DKI. Soal ini aq kupas di HARIAN INDOPOS, 15 April dan 16 April 2008.
Menurut Kepala Perwakilan BPK RI di Jakarta I Gede Kastawa dalam siaran persnya, dalam pemeriksaan pada tahap II 15 November hingga 28 Desember 2007 ditemukan beberapa penyimpangan. Seperti di Dinas Pendidikan Dasar DKI. Dari cakupan pemeriksaan realisasi APBD 2007 senilai Rp 92,1 miliar, ditemukan penyimpangan sebesar Rp 1,3 miliar atau 1,43 persen. Temuan tersebut berindikasi pada kerugian daerah sebesar Rp 755,1 juta dan kekurangan penerimaan sebesar Rp 559,6 juta.
Sedangkan untuk Sudin Dikdas Jakarta Pusat, ditemukan penyimpangan Rp 72,2 miliar, Sudin Jakarta Selatan Rp 275, 5 juta serta Sudin Jakarta Timur Rp 5,3 miliar.
Selain Dikdas, ada lagi penyimpangan di Dinas Pekerjaan Umum DKI. Dari cakupan anggaran yang diperiksa Rp 770,5 miliar, ditemukan penyimpangan sebesar Rp 27,1 miliar atau 3,52 persen. Hal tersebut berindikasi kerugian daerah sebesar Rp 631,7 juta. Terdiri dari kekurangan penerimaan Rp 167,3 juta serta administrasi Rp 26,3 miliar dengan 20 item penyimpangan.

Sedangkan untuk Sudin PU Jalan Jakarta Pusat, ditemukan penyimpangan Rp 16,3 juta, Sudin PU Tata Air Jakarta Pusat Rp 195,6 juta, Sudin PU Jalan Jakarta Selatan Rp 246,8 juta, Sudin PU Tata Air Jakarta Selatan Rp 2,1 miliar serta Sudin PU Jalan Jakarta Timur Rp 955,9 juta dan Sudin PU Tata Air Jakarta Timur Rp 255,1 juta.
Penyimpangan juga terjadi di BLU Transjakarta. BPK menemukan penyimpangan Rp 24,1 juta, Dishub DKI Rp 1,5 miliar, Sudin Jaksel Rp 26 juta, Sudin Jakpus Rp 22,2 juta serta Sudin Jaktim Rp 36 juta.
Atas temuan tersebut, kalangan dewan pun mendesak Gubernur segera menuntaskan persoalan tersebut dengan cara mengembalikan kerugian negara serta memberikan sanksi tegas kepada aparatnya yang secara sengaja melakukan penyimpangan itu. "Temuan itu sudah fixed. Jadi harus dipenuhi," ungkap sekretaris komisi B Nurmansyah Lubis.
Bahkan Wakil DPW PAN DKI Sugiyanto mengecam aparat Pemprov DKI yang melakukan penyelewengan itu. Kepada BPK, pihaknya mendesak agar segera mengumumkan item penyimpangan mana saja yang sengaja dilakukan dan mana saja yang terjadi alasan kesalahan administrasi. "Kalau perlu KPK harus segera turun tangan. Karena ini jumlahnya sudah miliaran," tegasnya.
Sejauh ini, aq tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi penyimpangan itu. BPK sendiri tidak menyebut secara rinci apa yang menyebabkan kerugian negara itu.
Gubernur DKI Fauzi Bowo hanya menyatakan akan memeriksa lebih lanjut dengan berkonsultasi kepada BPK. Apakah di balik penyimpangan miliaran itu lantaran disengaja, kesalahan administrasi atau keterlambatan pembayaran.
Memang, dari penelusuranku di sejumlah SKPD, ada yang sudah menyetorkan. Seperti di Dinas PU misalnya. Untuk penyimpangan pekerjaan sheet pile di Kali Angke yang merugikan negara Rp 112 juta sudah dibayar ke kantor kas daerah. Itu aq lihat dari kuitansi pembayarannya. Tapi untuk yang lain aq tidak melihatnya.
Apalagi di Dikdas yang jumlahnya paling tinggi atau di Dishub, jangankan untuk melihat ada atau tidaknya kuitansi, untuk konfirmasi saja harus dioper2. (tentu saja, hal itu membuat kecurigaan semakin bertambah). Sebab, prinsipku, hanya orang yang melakukan kesalahan yang lari tunggang langgang ketakutan.
Jika temuan BPK itu benar dilakukan secara sengaja oleh oknum atau sejumlah oknum, sekali lagi aq menyatakan, SEMOGA Tuhan lekas menghukumnya jika hukum di kota ini tidak mampu menjangkaunya. Sebab, dalam pengalaman beberapa kasus, ketika sebuah penyimpangan melibatkan pejabat teras, entah mengapa kasus tiba2 menguap tanpa ada kabar kelanjutannya. Sebut saja kasus filling cabinet yang melibatkan 5 walikotamadya se-DKI serta satu Biro Perlengkapan. Hingga kasus pertama kali mencuat karena memang diumumkan Kejati dua bulan lalu, hingga saat ini nyaris tak ada kabarnya lagi.
Kejati yang pada awal kasus sangat ramah terhadap wartawan pun tiba2 berubah sikap. Jangankan untuk bisa wawancara secara terbuka, konfirmasi via phone saja ditutup.
Apakah ini wajah hukum kita? seperti apakah wajah hukum kita?
Mungkin, hanya kalian yang pernah berperkara di depan hukumlah yang tahu jawabannya. Apakah hukum telah berpihak pada keadilan, atau justru masih bertuhan kepada siapa yang mampu membayar lebih besar! (wallahu a'lam).

Sendiri saat rumahku banjir, 16 April 2008

13 April 2008

Sakitnya Seorang Gubernur


Suasana gedung Balaikota, Jalan Merdeka Selatan tidak seperti biasanya. Sunyi, lengang tanpa terlihat wajah Gubernur DKI Fauzi Bowo dengan kumis tebalnya.
Sosok yang di mata wartawan dikenal tegas tanpa kompromi itu sudah tidak menampakkan muka selama empat hari terakhir di kantornya.
Kabarnya, "Pak Kumis" diserang flu berat menjelang hari ulang tahunnya yang ke-61. "Kangen juga ya ga denger pak gubernur marah2 lagi," kata wartawan yang meliput di Balaikota.
Maklum, dibanding pendahulunya Sutiyoso, Foke lebih dikenal reaksionis dan agak temperamen. Jika tidak suka atau tidak sreg terhadap sesuatu, pasti akan langsung ditumpahkan saat itu juga. "Dari kemarin kemana aje. Hari gini masih tanya itu. Baca dulu baru tanya," jawab Foke ketika ada salah seorang wartawan yang telat merespon. Biasanya, ini terjadi dengan wartawan televisi.
Ternyata, sehari saja tidak mendengar Foke ngomel2, ada kerinduan di mata anak2. Foke sudah tidak ngantor sejak Rabu (9/4) lalu hingga saat ini. Pada Selasa (8/4)lalu, Gubernur berkumis tersebut memang masih terlihat menerima tamu-tamunya untuk menyelesaikan berbagai persoalan Ibuikota. Saat itu, Foke menerima Putri Indonesia serta menerima pengurus Real Estate Indonesia (REI) DKI utuk mengejar target pembangunan rumah susun yang belum kelar hingga
saat ini. "Bapak sakit ya. Kok menerima tamu pakai jaket," Tanya wartawan yang saat itu mengerubung akan wawancara.
Dengan gayanya yang khas, Foke hanya menjawab singkat. "Kalau tidak sakit, mana mungkin pakai jaket. Apa pakai jaket untuk gaya-gayaan," katanya saat itu. Meski sudah mengaku sakit, pada Rabu (9/4), Foke memang masih ngotot untuk tetap ngantor. Itu terlihat dengan agenda yang disusun oleh ajudannya. Di antaranya, menghadiri LKPJ Gubernur DKI di gedung DPRD DKI. Namun, secara tiba-tiba, pria yang meraih gelar doktor dari Universitas Kaiserlautern Jerman itu memutuskan tidak ngantor. Informasi dari ajudannya, Gubernur sedang sakit flu berat, batuk-batuk serta radang. Namun, pada Kamis (10/4) lalu, suami Sri Hartati itu masih sempat merayakan ultahnya dengan menggelar pengajian di rumah dinasnya Jalan Taman Suropati no 7, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, bapak tiga anak itu merayakan ultahnya yang ke-61. Fauzi Bowo  lahir pada 10 April 1948 lalu. Jadwal menghadiri ultah Sat Pol PP di Silang Monas pun urung dihadiri. Seluruh jadwal Gubernur, Wakil Gubernur serta Sekda pun harus berubah total untuk bisa menyesuaikan tidak ngantornya Gubernur asal Betawi itu. Hingga Jumat (11/4) kemarin, Foke kembali tidak menampakkan diri. Mobil mewah Land Cruiser B 1 yang biasanya menandakan keberadaannya tidak tampak di depan pintu masuk Balaikota. "Ngga tahu kalau besok (hari ini) atau hari Minggu. Tapi pak Gubernur jadwalnya padat sekali. Kasihan dia. Memang tipenya sih pekerja keras, jadi rentan terserang penyakit," kata salah satu ajudannya yang enggan disebut namanya.
Diakui atau tidak, Gubernur yang satu ini memang pekerja keras. Untuk menuntaskan persoalan Ibukota yang sedang menumpuk, tidak jarang, berangkat pagi pulang tengah malam. Apalagi, saat puasa dulu. Masih kuingat, pagi buta sidak, malam harinya pengajian, tarawih bersama, dilanjut sahur bersama hingga Sholat Subuh. Pagi-pagi aq lihat sudah memimpin rapim di Balaikota.
Secara fisik, Sutiyoso dengan Fauzi Bowo memang beda. Sebagai mantan tentara, Bang Yos lebih tahan banting. Tapi, itupun tidak berlangsung lama. Bang Yos, akhirnya jatuh sakit juga. Apalagi, menjelang lengser dari kursi gubernur, wajah pucat, mata sayu dan sering batuk-batuk.
Begitu juga dengan Foke. Fisiknya ternyata tidak sejalan dengan kemauan kerasnya. Ribuan persoalan DKI memaksanya untuk terus berpikir keras. Apalagi, selama ini banyak di antara anak buahnya yang tidak serius bekerja atau banyak bekerja tapi tidak memenuhi target. Belum lagi isu penyelewengan atau protes keras membuat pak kumis sering pusing tujuh keliling. Ujung2nya, Pak Kumis jatuh sakit. Pengawalnya bilang, Foke sakit radang tenggorokan, getah bening serta liver.
Jika aq ingat dulu waktu masih sekolah, akupun pernah merasakan sakit yang sama. Banyak mengikuti kegiatan organisasi, lupa makan, lupa istirahat, lalu terkena mag. Kemudian berlanjut tipus, kemudian berlanjut liver. Penyakit semakin parah ketika saat itu, ditambah lagi patah hati. (maklum, aq pernah muda juga lho).
Tapi semua itu aq abaikan. Hidup hanya sekali. Biarpun bekerja keras untuk kampusku, organisasiku, hak untuk tubuh sendiri juga harus dipenuhi. Sebab, kekuatan sembuh tidaknya penyakit itu tergantung bagaimana kita mendinginkan pikiran kita.
Namun, sebagai warga, aq bangga memiliki Gubernur yang mau bekerja keras hingga sakit. Apalagi, jika itu demi rakyatnya. (SEMOGA).
Tapi apakah sikap gubernur sudah diikuti anak buahnya? jawabannya BELUM.
Di mataku, gubernur saat ini masih terkesan bekerja sendirian. Masih banyak anak buahnya yang belum bisa mengikuti gerak langkahnya. Apalagi jika mau bekerja keras sampai sakit.
Andaikan seluruh pejabat kita mau bekerja keras demi rakyatnya hingga sampai sakit, aq optimistis, tidak ada persoalan di DKI yang tidak bisa diselesaikan. Apalagi jika prinsip good governance, clean governance, transparansi, akuntanbel serta melibatkan partisipasi masyarakat bisa benar-benar diterapkan, negara ini, kota ini masih ada seribu harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Cawang, 13 April 2008

07 April 2008

Matahariku Bersinar Lagi


Sejak datang Ibukota 2005 lalu, aq sudah jarang bisa melihat matahari. Maklum, tuntutan liputan memaksa berangkat pagi dan pulang malam. Aq terkadang sedih, aq berangkat liputan istriku masih tidur, pulang dari kantor, istriku sudah tidur lagi. (Masya Allah.. inilah duniaku saat ini).
Tapi pagi kemarin, aq bisa melihat matahari lagi. Kebetulan, setiap Sabtu aq libur, sementara Minggu kebetulan liputan santai. "Nak besok ayah bangunin pagi-pagi ya, kita jalan-jalan," bisikku kepada calon anakku malam menjelang tidur.
Maksudku sih becanda. Eh, tahunya benar. Pagi-pagi buta istriku bangun. Katanya sih calon anakku yang ada dalam kandungannya terus menendang-nendang bangunin mamanya. "Tuh kan, pasti kalau ayah janjiin anaknya suruh bangun pasti gitu. Nendang2 mulu. Ayo bangun. Ni kalau ga percaya," kata istriku sambil menempelkan tanganku ke perutnya. Yah, memang benar. Setiap dua detik, ada sebuah gerakan yang berontak. Entah itu kakinya atau tangannya aq ga tahu. Tapi sejak calon anakku bisa menendang perut mamanya, si kecil menjadi alarm bagiku. Jam berapapun aq minta dibangunin, selalu saja dia bisa nendang tepat waktu.
Pagi itu pun dengan berat hati aq terpaksa bangun untuk menemani istriku jalan kaki menyusuri jalan setapak di kampung Ulujami tempat aq kontrak rumah. "Tidak apa-apalah, hitung-hitung sambil beli koran atau beli sarapan," kataku dalam hati.
Sejak istriku hamil, perempuan keturunan Ambon itu memang rajin jalan kaki. Kata orang sih biar gampang saat kelahiran dua bulan mendatang. Begitu kata istriku.
Setelah berjalan jauh, aq terkaget. Aq lihat matahari bersinar dengan terangnya. Hampir-hampir aq ga bisa lihat jalan di depan. "Masya Allah, baru kali ini aq lihat matahari. Sudah berapa tahun ya, aq ga lihat matahari," gumamku dalam hati.
Maklum, tuntutan liputan terkadang membuatku stres. Jika tidak, mungkin badanku yang terasa sangat capek. Jika ada liputan pagi, saat sidak Gubernur misalnya. Jika berangkat matahari sudah muncul dipastikan akan telat karena terjebak dalam kemacetan. Aq sudah semakin hafal, macet selalu terjadi pukul 06.00-08.00, pukul 09.00-10.00 serta pukul 11.00-12.00. Selebihnya pukul 13.00-14.00 serta sore pukul 16.00 hingga pukul 19.00.
Aq senang sekali pagi itu bisa melihat matahari. Dalam hati aq berkata inilah matahariku yang akan muncul ke dunia menghiasi langkahku. Menemani jalanku yang terseok-seok mencari nafkah di Ibukota demi sesuap nasi. Kemiskinan adalah momok. Bagi siapapun itu. aq, kamu atau mereka yang mati2an untuk bisa bertahan hidup. Menjadi kaya bagiku bukan diukur banyaknya kita memiliki segepok rupiah. Bagiku, kaya berarti kita hidup berkecukupan. Bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan bisa membantu orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Tapi tragisnya, meski hidup di Ibukota pas-pasan, selalu saja banyak orang beranggapan kita hidup berkecukupan. Setiap ada persoalan, mereka selalu saja menganggap kita sebagai invisible hand. "Mungkin itu takdir, kita dijadikan penolong bagi orang-orang di sekitar kita yang sedang kesusahan. Semoga ini petanda baik, hidupku, keluargaku akan diselimuti kesuksesan, amin," kataku dalam hati.
Sejak saat itu, meski malamnya begadang (baik itu sekadar nonton film di TV atau duduk bersila bermunajat) atau pulang liputan malam, aq selalu mengusahakan bisa bangun pagi untuk sekadar jalan kaki menyusuri kampung bersama istri dan calon anakku. "Siap anakku.. apapun akan ayah lakukan untukmu," kataku sambil berbisik kepada calon anakku.
Jika kuingat-ingat, saat liputan di Malang, Jawa Timur dulu, meski pulang habis liputan malam hari, aq selalu saja bangun pagi. Maklum, itu sebuah tuntutan yang harus aq jalani setiap harinya.
Satu bulan pertama sejak Mei 2004 memutuskan menjadi reporter di Jawa Pos Radar Malang, badanku terasa remuk. Maklum, itu karena daerah liputanku cukup luas dan jauh. Setiap hari harus mengkaver 14 kecamatan se-Kabupaten Malang. Kebetulan saat itu aq di desk kriminal. Aq bilang jauh karena pagi isi bensin, setiap pulang pasti habis.
Saking capeknya, aq jarang bisa tidur nyenyak. Sebab, begitu datang dan rebahan di ruang tamu, selalu saja ketiduran meski belum sempat ganti baju atau sekadar cuci muka.
Pagi-pagi aq dibangunkan dengan suara Anggi dan Abi yang kejar-kejaran berkelahi. Jika sudah begitu, aq harus buru-buru bangun dan mengantar mereka sekolah. Anggi saat itu masih duduk di TK, sementara Abi sudah kelas dua SD. (Anggi dan Abi adalah anaknya pak Hatta Chumaidi, GM Radar Malang saat itu. Kebetulan aq numpang di rumahnya karena belum dapat kos). Gimana kabarmu Anggi Abi, dah lama ga ketemu. Kangen juga rasanya.
Setelah pindah ke Jakarta Oktober 2005, aq memang tak pernah lagi bangun pagi mendengar rengekan atau tangisan anak-anak itu lagi. Praktis, seluruh waktuku total untuk liputan. Jika dihitung-hitung, sebanyak 12 jam waktuku tersita untuk liputan. Aq bisa istirahat dengan tenang terhitung pukul 03.00 dini hari hingga pukul 06.00 pagi. Untuk keluargaku, aq hanya punya waktu saat libur tiba setiap hari Sabtu. Biasanya aq manfaatkan untuk mengunjungi sanak keluarga di seputar Jakarta secara bergantian. Banyak silaturahmi, banyak rezeki. Begitu kata orang.
Sejak istriku mengandung, meski pulang malam, aq selalu berusaha memaksimalkan waktu yang tersisa. Pulang liputan malam tetap aq usahakan untuk bisa bercanda gurau atau ngobrol-ngobrol seputar persoalan keluarga atau chatting bersama kawan jauh via hp. Kemudian, jika istriku sudah terasa ngantuk, kemudian aq tinggal sholat dan berzikir hingga pukul 03.00 dini hari. Setelah itu tidur sejenak dan pagi-pagi bangun lagi untuk menemani istriku jalan2.
Semoga sisa waktuku yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku, amin.

Pojok Balaikota saat menunggu gubernur sidak, 7 April 2008