30 Agustus 2008

Jalan Raya Itu Tempatku Berzikir


Memasuki ramadhan, ustad, kyai, tukang ceramah selalu mengumandangkan untuk beribadah sebanyak2nya pagi, siang dan malam. Karena satu bulan ramadhan, kebaikannya sama dengan seribu bulan. Terkadang aq iri terhadap mereka yang punya cukup waktu untuk bermunajat kepada-Nya. Hampir 15 jam dari pagi hingga malam waktuku tercurah untuk liputan. Lalu kapan aq bisa bersimpuh di hadapan-Nya. Jika masih ada sisa tenaga, begitu nyampe di rumah pukul 23.00, aq sempatin untuk berzikir. Tentu jika Najwa, anakku yang baru satu bulan itu tak bangun2 lagi saat tengah malam. Biasanya setelah nonton bioskop di tv satu seri sekitar pukul 01.00. Jika burung wit di atas sedang lewat dan memanggil2, tandanya aq harus segera bergegas untuk ambil air wudhu untuk kemudian sholat. Pukul 03.00 biasanya sudah selesai dan bisa langsung istirahat. Itupun jika Najwa tdk bangun. Tapi biasanya sih, pukul 04.30 anakku baru merengek-rengek tanda laper atau bosan tidur. Satu jam setengah itu aq manfaatin untuk benar2 istirahat. Sebab, jika anakku sudah bangun, kecil kemungkinan mau tidur lagi. Kalau mamanya lagi kecapaian, maka praktis aq yang harus menggendongnya hingga matahari terbit.
Sejak memasuki dunia jurnalistik, hidupku memang tidak wajar. Tidak seperti kebanyakan orang yang sudah terjadwal kapan harus berangkat kerja dan kapan harus pulang untuk bercengkerama dengan keluarga dan istirahat. Tapi itu tidak terjadi padaku. Kadang, cukup banyak waktu untuk bersantai2, kadang juga tak ada waktu sama sekali. Itu juga yang dulu sebelum anakku lahir sering menjadi penyebab pertengkaran kecil dalam rumah tanggaku.
Jika badanku sudah tak bisa diajak kompromi lantaran saking capeknya setelah tenaga, otak dan pikiran tercurah habis, mataku tak mau diajak kerjasama untuk bisa tetap standby sepanjang malam. Jika sudah begitu, aq tak lagi punya waktu untuk berzikir. Berzikir itu kata guru ngajiku untuk membersihkan diri. Orang yang banyak berzikir akan bersih hatinya. Orang yang bersih hatinya akan semakin mudah membaca tanda2. Tanda apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pendek kata, semakin bersih hati seseorang, semakin terbuka komunikasi antara manusia dan penciptanya. Terbuka pintu pengampunan, terbuka kelapangan, terbuka harapan.
Jika dulu saat di pondok atau di tempat kos, aq masih punya cukup waktu untuk bersantai ria dan berzikir. Tidak hanya malam, pagi, siang dan sore aq masih bisa membentangkan sajadah untuk kemudian memutar tasbih. Bahkan, untuk ngapelpun terpaksa aq tunda jika zikir belum selesai. Tapi sekarang kondisinya jauh berbeda. Aq harus berjuang mencari nafkah untuk keluarga.
Jika malam tiba, pikiran dan hatiku selalu mengajak untuk berzikir. Tapi tubuhku yang terkadang bandel. Tubuhku tak sekuat pikiran dan hatiku. Jika kecapaian, pasti langsung ambruk dan tahu2 sudah pagi.
Lalu kapan aq bisa seperti orang lain? bisa bekerja dan pulang tepat waktu untuk kemudian bermunajat. Mungkin orang yang punya banyak waktu tidak akan melewatkan saat-saat penting selama ramadhan. Mencari ampunan dengan bersimpuh sepanjang waktu. Mungkin, mereka yang akan bisa menikmati kemenangan saat ramadhan telah usai. Mungkin mereka yang akan mendapatkan ampunan untuk kemudian dimasukkan ke dalam surga. Tapi bagaimana dengan aq yang tidak punya waktu untuk bermunajat karena keterbatasan tenaga tubuhku?
Jika akhirnya Gusti Allah hanya memilih dan menilai mereka yang paling soleh dan beriman pun aq tidak keberatan. Jika akhirnya mereka yang masuk surga sedangkan aq harus masuk neraka pun aq tidak keberatan. Toh aq selama ini beribadah tidak untuk mencari surga atau takut kepada neraka.
Karena keterbatasan waktu itu, aq berusaha menyucikan hati dan pikiranku dengan caraku sendiri. Jika tidak berzikir saat malam tiba, maka aq pun berusaha untuk bisa tetap berzikir kapanpun aq bisa. Seperti selagi mengendarai motor bututku membelah jalanan Kota Jakarta. Justru, dengan melantunkan zikir dalam hati, aq tidak stress saat terjebak kemacetan. Bahkan, orang2 yang saat di jalan banyak memaki, mengumpat karena terjebak di kemacetan nyaris tak terdengar oleh telingaku. Termasuk raungan motor yang sengaja dibunyikan dengan nada emosi. Jika sudah larut dalam zikir, tahu2 aq sudah nyampe di tujuan. Apakah itu di kantor gubernur di jalan merdeka selatan atau sampai di rumah di kampung ulujami, pesanggrahan, jakarta selatan.
Berzikir dan berzikir. Hanya dengan itulah aq bisa tetap ingat kepada yang telah menciptakanku. Mensyukuri segala nikmat dan kebesaran-Nya. Saat aq belajar agama dulu di Ambarawa, pae selalu bilang, menjalankan agama itu harus dilandasi tiga hal. Ikhlas, yakin dan pasrah. Tanpa dengan itu, ibadah akan sia2. Karena biasanya, tanpa tiga hal itu, hati dan pikiran manusia akan dirasuki segala prasangka terhadap penciptanya. Prasangka kenapa sudah beribadah kok tidak diberi nikmat atau rizkinya. Atau prasangka kenapa Tuhan memberi cobaan yang tidak sanggup dipikulnya. Atau prasangka, kenapa sudah berusaha dan berdoa, Tuhan tidak mengabulkan harapannya.
Tapi bagiku, tiga landasan pokok itu masih ada yang perlu ditambah. Yakni, sabar dan menerima. Orang Jawa bilang, nrimo ing pandum. Mensyukuri nikmat yang sudah diterima dan tidak serakah. Sekecil apapun nikmat itu. Sabar berarti juga tidak putus asa. Itu yang ngajari bapak kandungku saleh jauhar. Seorang guru agama di kampung yang nyambi jadi petani untuk menghidupi keluarganya.
Aq ingat betul saat ada saudara sepupu (anaknya saudara ibu) yang bernama zulfa. Rumahnya tepat berdampingan dengan rumahku di kampung. Baru berumur 12 tahun atau baru kelas 4 SD harus sakit berbulan2 dan akhirnya harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gara2nya disantet oleh orang yang sakit hati yang kebetulan rumahnya masih satu kampung. Meninggalnya zulfa adalah rangkaian cobaan yang diterima keluargaku sejak lama. Santet seperti tak lelah oleh waktu. Bahkan sampai paklek yang di kampungku jadi guru pengajar silat setia hati terate harus meninggal karena santet jahanam itu.
Kondisi itu terus berlanjut hingga aq kelas 2 SMA di Jogja. Gara2 santet jahanam itu aq sampai tak bisa jalan sekitar 3 bulan. Tapi alhamdulillah aq bisa sembuh dan jalan lagi. Saat itu, yang ada dalam hatiku hanya dendam. "Mentang2 aq ga bisa apa2 seenaknya disantet. Apa urusannya ma aq. Toh dari SMP aq dah ga pernah menginjak kampung lagi. Urusan di kampung, ya di kampung. Ngapain aq yang sekolah di jogja dibawa2?. Awas kalau aq punya ilmu, pasti kuhabisi," kataku kesal setengah mati karena setiap jam 3 malam selalu saja datang orang berambut panjang mau mencekikku.
Tapi bapakku selalu bilang. Sabar! jangan dibalas. Gusti Allah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Pasrah saja kalau ada apa-apa. Begitu kata bapak selalu menasehatiku. Yang kemudian, ajaran sabar itu diperkuat saat aq belajar agama di Ambarawa. Pae selalu bilang: ojo dendam le! (jangan dendam anakku). Gusti Allah ngerti. Kita ga bales, nanti ada yang bales sendiri. Luwih apik njaluk ngapuro ning gusti Allah. Luwih apik ngresi'i ati nganggo sholat lan zikir. Wong sing sregep zikir kuwi koyo koco. Bening ga iso ditembus opo2. Kata pa'e tak henti2nya menasehatiku untuk bisa sabar dan menghilangkan segala dendam.
Setahun kemudian, aq dengar kabar, orang yang suka nyantet keluargaku masuk rumah sakit. Tiap menjelang magrib selalu teriak minta tolong. Katanya ada ratusan anak kecil yang akan mencekiknya. Masya Allah. Kasian juga ya. Saat orang itu sakit, ibuku yang selalu sabar menunggui di rumah sakit. Tak henti2nya ibu bilang, keluarga sudah memaafkan. Cepat sembuh dan bisa kembali pulang. Tapi orang itu selalu saja minta2 maaf. Katanya badannya menggigil kedinginan. Tapi kadang juga kepanasan.
Yakin, ihlas, pasrah dan sabar. Yakin bahwa segala sesuatu itu pasti terjadi atau tidak terjadi karena Gusti Allah. Ihlas, pasrah dan sabar bahwa segala sesuatu itu terjadi karena Gusti Allah menghendaki untuk kebaikan dan kemanfaatan kita. Jika tidak hari ini, berarti esok atau di masa yang akan datang. Empat landasan itu bagiku sangat pokok. Jika ibadah ritual kita selama bulan suci ramadhan tidak didasari empat hal itu, kita tak lebih seperti mengirimkan surat tanpa prangko.

Karena barangkali, Gusti Allah tidak hanya melihat seberapa besar kuantitas kita beribadah, tapi barangkali juga Gusti Allah menilai seberapa besar kualitas kita beribadah. Jadi, bagi kalian yang tidak punya waktu saat pagi, siang atau malam untuk beribadah, kapanpun itu, sekecil apapun itu, jika masih ada kebaikan, Gusti Allah tak pernah lengah mencatatnya. (waman yakmal misqola zarrotin khoiroy yarroh. waman yakmal misqola zarrotin sarroy yaroh).

Cawang, 30 Agustus 2008.

29 Agustus 2008

Jangan Bohongi Agamamu!


Pagi buta istriku Shelvia Jaflaun membangunkanku. "yah..yah..tar jadi beli gas atau ga usah aja. duit di dompet mama tinggal 30 ribu. tapi kalau ga beli nanti anaknya kalau mandi rebus airnya pakai apa," kata perempuan keturunan Ambon itu berulang-ulang. Setengah sadar setengah ngantuk berat, kudengar Najwa Syifa, anakku yang baru berumur 1 bulan merengek-rengek setengah menangis. Tak jelas apakah karena lapar atau karena kepanasan.
Karena masih ngantuk berat, aq menjawab sekenanya. "ga usah beli gas. buat beli makan aja," kataku singkat agar istriku tidak berisik tanya-tanya terus. "kalau mandi tar anaknya gimana yah. pakai air dingin aja?" tanya istriku lagi.
Setengah sadar setengah ngantuk, aq masih sempat mikir, apa tidak kasihan ya anakku yang masih 1 bulan harus mandi dengan air dingin. Spontan aq balik ucapanku. "ya udah, uangnya beliin gas aja buat rebus air. makannya tar aja," kataku lagi.
Setelah benar2 sadar, ada berbagai pertanyaan yang muncul dalam diriku. Semuanya saling bertentangan. Satu sisi ingin mengiba kepada Gusti Allah dengan pertanyaan standar, kenapa tidak Kau beri rizki keluargaku hari ini ya Allah (dengan nada protes). Atau, dengan nada kerendahan, ya Allah, lapangkanlah rizkiku hari ini untuk bisa memenuhi kebutuhan keluargaku.

Di sisi lain, ada juga pertanyaan, kenapa harus mengiba, kenapa harus meminta. Tidakkah kau bercermin, bahwa dirimu masih begitu kotor untuk diberi rizki melimpah. Apa yang telah kau lakukan untuk berterimasih atas segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya (dalam bahasa sufi). Atau dalam bahasa kapitalis, wajar saja kau kelaparan hari ini karena tak pernah berusaha. Gunakan otak, pikiran, tenaga dan segala kemampuan yang kau miliki dong! jangan hanya bermalas2an.
Barangkali, pertanyaan2 yang muncul dalam diriku menjadi cerminan apa sebenarnya manusia itu. Bagaimana manusia bersikap kepada Penciptanya. Ada yang beribadah karena bersyukur, ada yang beribadah karena ingin mendapat imbalan atau ada juga yang mengabaikan ibadah dan hanya mengejar segala keinginan. Untuk yang terakhir, jika tidak terkontrol, maka timbullah apa yang dinamakan keserakahan dan keangkaramurkaan. Di balik kejadian itu, aq ingin mencoba merefleksi apa sebenarnya ibadah itu? kenapa orang beribadah? (maklum jelang puasa coy, ikut2an latah ngomong soal ibadah).
Ibadah bagiku adalah sadar diri. Sadar kalau kita telah diberi berbagai kenikmatan oleh-Nya. Sadar kalau kita takkan bisa apa-apa tanpa pertolongan-Nya.
Konkretnya, orang disebut sadar ketika tanpa paksaan, ancaman atau perintah dari luar melaksanakan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Sadar berarti menjiwai, sadar berarti tergerak hati.
Seperangkat norma agama terpaksa hadir ke dunia karena manusia banyak yang tidak sadar. Keserakahan, keangkaramurkaan merajalela. Manusia lupa kalau telah diciptakan oleh-Nya. Manusia lupa kalau kumpulan daging, tulang, otot, darah, itu bukanlah apa-apa. Tanpa tiupan roh-Nya, sekumpulan organ itu hanya akan terbujur kaku, tidak berguna. Ada dua hal yang membuat keserakahan dan keangkaramurkaan itu terjadi. Karena ketidaktahuan atau karena ketidaksadaran.
Sudah menjadi dasar instink manusia, jika pemenuhan perut, selangkangan serta kekuasaan adalah instrumen yang melekat dalam diri. Semua itu akan menyeruak jika kesadaran terhadap Yang di Atas itu sirna. Kemudian, diturunkanlah norma agama yang dilengkapi sanksi dan imbalan. Dalam bahasa budaya arab, iming-iming itu dikonkretkan dalam bentuk surga yang digambarkan di bawahnya mengalir air yang jernih. (tajri min tahtihal anhar). Mengapa surga digambarkan seperti itu? karena bagi orang arab saat itu, mendapatkan air yang melimpah adalah sebuah kenikmatan yang paling tinggi. Maka muncul pulalah gambaran surga dipenuhi bidadari. Karena orang arab saat itu sangat mengemari wanita menjadi selir, gundik dan pelengkap kenikmatan. Dalam bahasa kawan Sam S Bahri, intelektual muda Jogja, gambaran itu tidak lebih hanya sebuah mitos. Mitos yang berarti cara penyampaian agar bisa dimengerti ketika sesuatu itu tidak bisa dicerna oleh akal. Kemudian neraka digambarkan api yang menyala-nyala karena dianggap hukuman yang paling keras saat itu.

Sebenarnya, ketika manusia itu sadar, norma agama itu tidak perlu ada. Neraka dan surga itu tidak perlu diperkenalkan kepada manusia. Jika manusia sadar kepada Penciptanya, secara otomatis akan melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. Atau melakukan sesuatu karena sangat berterimakasih kepada-Nya. Atau melakukan sesuatu karena mencintai-Nya. Cinta yang tulus tanpa dibayang-bayangi harapan akan mendapat imbalan ketika telah melakukan sesuatu.
Surga dan neraka biarlah menjadi milik orang yang tidak sadar itu. Tapi bagi kita yang sadar, surga dan neraka bukanlah tujuan. Kita telah diberi nikmat, maka sudah selayaknya kita bersyukur, berterimakasih kepada-Nya dengan hati yang ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan imbalan baliknya.
Lalu apakah salah berharap mendapat pahala? jawabannya jelas tidak salah. Karena itu bagian dari kompensasi kita menjalankan norma.
Justru yang kita pertanyakan, kenapa bagi mereka yang sudah mengaku beragama tapi masih berbuat angkara murka? jawabannya karena mereka telah membohongi agama. Agama tak lebih hanya kuda troya untuk mencapai pemenuhan insting dasar manusia. Harta, tahta dan selangkangan.
Jika kita tidak sadar, seharusnya minimal kita tidak bohongi agama.

Kebayoran Lama, 29 Agustus 2008

25 Agustus 2008

Ketika Warga Miskin Haram Bernafas di Jakarta


Miris. Digusur lagi digusur lagi. Belum usai relokasi ribuan pedagang yang digusur di Taman Ayodya, Jakarta Selatan atau ribuan warga yang tinggal di sepanjang kolong tol, ribuan warga miskin yang tinggal di Taman BMW, Sunter, Tanjung Priok, Jakarta Utara kembali digusur. Sedih dan pilu. Di manapun warga miskin tinggal, yang terdengar hanya penggusuran. Soal ini aq tulis jadi headline di Harian INDOPOS, 25 Agustus 2008 dan 26 Agustus 2008.
Ibukota memang lebih kejam dibanding ibu tiri. Kemiskinan merupakan momok bagi keindahan kota. Kemiskinan merupakan biang masalah penataan kota. Tidak ada tempat bagi orang miskin di DKI Jakarta ini. Barangkali itulah yang ada di benak para pejabat kita. Dari mulut mereka mungkin akan terdengar syair lagu betawi yang sangat akrab di stasiun televisi lokal. "siapa suruh datang ke Jakarta".
Penggusuran memang tidak manusiawi. Tapi siapa yang bisa menghalangi. Wakil rakyat yang duduk di kursi DPRD. Jangankan membela, untuk sekadar mendesak Pemprov DKI memberikan solusi pun tidak. "Mereka kan melanggar. Mereka kan ilegal. Wajar jika digusur," kata anggota dewan.
Walhasil, penggusuran pun tidak dapat dihindarkan. Minggu (24/8) pagi buta, ratusan aparat kepolisian dan Satpol PP meringsek ke lokasi. Warga yang menolak berusaha memblokir jalan RE Martadinata yang menjadi pintu masuk Taman BMW. Sunter Agung menjadi mencekam. Perang batu pun terjadi. Warga yang naik pitam melempar petugas sekenanya. Pakai batu, botol minuman, kayu, batubata atau benda-benda keras lainnya. Petugas yang akan menggusur pun tak mau diam. Mereka membalas. Lempar, pukul dan tendang. Warga kocar kacir. Buldoser dan truk Satpol PP terus meringsek. Raungan suara mesin yang mengoyak-oyak bangunan hanya bisa disaksikan dengan isak tangis. Sambil menangis pilu, anak kecil, janda tua renta berusaha menjauh dari lokasi untuk menghindari amukan aparat yang masih naik pitam.
Warga yang lelah melawan atau kalah kekuatan hanya berdiri mematung melihat tempat tinggalnya diratakan dengan tanah.
Lalu kemana mereka akan tinggal? "Ya harus pulang kampung. Mereka kan ilegal," kata Walikota Jakarta Utara Effendi Anas.
Lalu bagaimana jika mereka tidak memiliki keluarga di kampung halaman? jawabannya tetap sama. Tidak mau tahu. Orang sunda bilang bodo teing mereka mau tinggal di mana. Pemkodya Jakarta Utara atau Pemprov DKI tidak akan memberikan atau mencarikan solusi lain seperti mengizinkan mereka tinggal di rusun atau tempat lain yang layak. "Karena sekali lagi mereka ilegal. Kami sudah memperingatkan sejak lama. Tapi tak pernah diindahkan. Jadi ya harus digusur," kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Warga yang tinggal di Taman BMW memang tragis. Penggusuran yang dilakukan pemerintah tak dibarengi aksi kemanusiaan lainnya. Apakah itu memberikan uang kerohiman ala kadarnya, mendata mereka untuk kemudian direlokasi ke rusun atau tempat-tempat lain yang layak. Itu tentu saja berbeda dengan nasib warga di Taman Ayodya yang digusur awal tahun lalu. Atau warga yang tinggal di kolong tol Jembatan Tiga yang digusur Desember lalu. Pemberian kompensasi berupa uang kerohiman atau pemberian tempat pengganti lantaran mereka mendapat izin tinggal yang sah oleh pemangku pemerintah terdahulu.
"Kami juga akan jaga ketat sepanjang kolong tol. Agar mereka tidak lari dan tinggal di sana," kata Effendi Anas.
Lalu kemana mereka harus tinggal? "untuk sementara kami tinggal di bantaran rel pak," kata warga dengan nada harapan kosong.
Jika melihat penggusuran tanpa manusiawi itu, aq teringat beberapa bulan lalu saat Parni Hadi selaku koordinator kajian penataan kota menghadap Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo berikrar tidak akan melakukan penggusuran untuk memperluas ruang terbuka hijau (RTH) yang diamanatkan UU. "Kami akan membeli tanah yang masih kosong, atau memperbanyak penghijauan di kelurahan-kelurahan," kata Foke kala itu saat disinggung bagaimana caranya memperluas RTH tanpa menggusur.

Tapi janji tinggal janji. Jika warga pernah membaca judul atau isi berita yang pernah aq tulis saat itu mungkin juga sudah lupa bahwa pemimpinnya pernah berjanji.
Mungkin Foke punya pertimbangan lain. Menggusur demi menegakkan hukum mungkin dianggap ibadah bagi putra betawi itu. Atau menjalankan kewajiban menata kota yang lebih baik dan lebih indah dipandang mata meski harus menggusur mungkin dianggap lebih bermartabat dibandingkan dengan hanya diam membiarkan warga pendatang itu tinggal di bangunan kumuh berserakan. "Wajar saja dia gusar gusur terus. Dari kecil saja ga pernah miskin. Hidup di keluarga kaya berkecukupan. Gimana bisa merasakan penderitaan orang kecil," kata seorang kawan nyeletuk.
Bagiku, terlepas pemerintah tukang gusur atas nama penegakan hukum atau warga yang kena gusur karena tidak taat hukum, warga yang tinggal di Taman BMW juga manusia. Mereka hanya ingin mencari nafkah di Ibukota. Mereka hanya butuh bernafas untuk bisa bekerja. Mereka hanya butuh tempat berteduh ketika hujan tiba.
Karena, warga miskin itu tidak ingin apa-apa layaknya pejabat kita yang suka mengeruk harta benda masyarakat kita.

Jika kalian termasuk warga miskin, maka siap-siaplah menjadi korban berikutnya. Karena, warga miskin haram bernafas di Jakarta.

Kebayoran Lama, 25 Agustus 2008

23 Agustus 2008

Sweeping itu Mengatasnamakan Agama


Ancaman kerusuhan kembali mengintai. Forum Betawi Rempug (FBR) melalui ketuanya Fadholi El Muhir mengancam akan kembali menggelar sweeping tempat hiburan malam di Jakarta selama bulan puasa. "Karena ini kehendak masyarakat. Perintah agama untuk memerangi kemungkaran," katanya dengan suara meledak-ledak.
Ibukota memang bukan tempat eksklusif. Tidak seperti di kampungku Tuban, Jawa Timur. Yang hanya dipenuhi kaum bersarung dan berkopyah. Aktivitas sehari-hari masih sangat sederhana. Datang ke masjid untuk sholat dan berzikir saat azan menyapa, atau datang ke tempat tetangga untuk slametan saat ada hajatan kematian atau kawinan. Selain menjalankan rutinitas keagamaan (untuk tidak menyebut agama karena ada unsur sosial budaya di dalamnya), warga di kampungku hanya datang ke sawah untuk bertani atau ke pasar untuk berdagang. Semuanya serba terukur. Ini merupakan perpaduan unik yang Clifford Geert tulis antara Islam abangan versus santri. Perpaduan unik itu direkatkan oleh simbol budaya Jawa yang oleh Frans Magnis Suseno sebut sebagai harmonisasi sosial. Dalam berinteraksi sosial, simbol budaya bahkan lebih dinomorsatukan daripada mengedepankan simbol agama yang diadopsi dari budaya arab jahiliyah. Bisa menghindari konflik dianggap prestasi untuk bisa disebut sebagai Wong Jowo. Sebaliknya, terjerumus dalam konflik bisa disebut gagal menjadi bagian dari entitas etnis budaya. Kowe ra Njowo, kata orang Jawa Timur. Atau kalau di Jogja sering terdengar "wagu". Semua bermakna kontrol sosial yang hadir dari budaya untuk menciptakan harmonisasi sosial.
Jika melihat kondisi tersebut,Jakarta sebagai Ibukota sangat jauh berbeda. Jakarta menjadi gula bagi semut. Semua entitas ada di sini. Yang menjadi tujuan bukan lagi menjalankan rutunitas keagamaan atau menciptakan harmonisasi sosial. Tesis Clifford Geert sudah tidak berlaku lagi. Tesis Frans Magnis Suseno hanya berlaku untuk sebagian kecil masyarakat saja. Di Ibukota, agama baru adalah kekayaan, kekuasaan serta prestise. Siapa yang kuat menggerus yang lemah. Tidak hanya pemegang kekuasaan struktural, tapi juga ormas yang dibentuk atas nama etnis budaya setempat.
Aq tidak tahu persis bagaimana kedalaman budaya Betawi. Apakah ada nilai sosial yang luhur seperti harmonisasi sosial bagi orang Jawa atau tidak. Tapi dari berbagai buku dan penuturan warga setempat, nilai itu jelas masih ada. Cuma banyak tergerus pengaruh luar. Tak heran, bagi yang tidak mengetahui inti budaya Betawi, yang terlintas dalam pikiran selalu negatif. Maklum, itu terlihat dari sejumlah ormas Betawi yang kerap bertindak anarkis dalam menyikapi setiap persoalan.
FBR misalnya. Ormas yang didirikan berlatarbelakang Betawi itu terhitung ormas garis keras. Anggotanya dari kalangan awam tapi di tingkat elit didominasi kelompok santri. Itu terbukti banyak kyai di dalamnya.
Perpaduan itu menghasilkan warna abu-abu. Perjuangan yang digembor-gemborkan demi masyarakat justru meresahkan lantaran tidak sedikit diwarnai aksi anarkhisme. "Itu oknum," kata Fadholi.
Tapi bagaimana jika seruan untuk bertindak anarkhisme disorong oleh pimpinan ormas yang notabene mengenal lebih dalam masalah agama. Seperti rencana sweeping tempat hiburan saat Ramadhan. Amar makruf nahi munkar. Islam harus ditegakkan. Kemaksiatan harus diberantas. Begitu kata Fadholi untuk membenarkan aksinya. Kuatnya dorongan untuk bertindak semakin dipicu banyaknya hiburan malam yang tidak menghormati bulan Ramadhan. Tarian telanjang, panti pijat plus, spa plus yang banyak mengumbar syahwat dengan mudah didapati di diskotik, bar, pub, kafe remang-remang dan bahkan di pinggir jalan sekalipun. "Karena mereka juga dibekingi aparat, kami siap bentrok," kata Fadholi yang tidak percaya i'tikad baik aparat keamanan.
Lagi-lagi aq mencoba membandingkan dengan kondisi realitas sosial di kampung-kampung Jawa. Isin, malu dan sungkan. Nilai sosial itu di Jakarta bukan menjadi landasan untuk terjadinya harmonisasi. Isin, malu dan sungkan justru menjadi pangkal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelanggaran akan menjadi kebenaran jika ada yang bayar (jika tidak terbongkar di hadapan publik). Tidak hanya di tingkat pebisnis, tapi juga aparatur pemerintahan.
Afsus salam bainakum. Sebarkanlah salam kedamaian kepada sesamamu barangkali bagi Fadholi dan anak buahnya sulit diimplementasikan ketika melihat pelanggaran dan kebenaran dijungkirbalikkan. "Alah itu alasan mereka saja untuk dapat setoran," kata seorang kawan nyeletuk.
Terlepas ada atau tidak misi negatif, nilai sosial budaya Betawi dan nilai ajaran Islam ditafsirkan dengan cara yang paling luar. Hanya mengadopsi kulitnya saja yang notabene warisan budaya jahiliah.
Jihad Nabiyullah Muhammad SAW yang sebenarnya adalah jihad melawan diri sendiri. Insting dasar manusia untuk memberontak atau menguasai yang lain, nafsu untuk memenuhi kebutuhan perut semata atau untuk memenuhi kebutuhan selangkangan. Atau yang lebih tinggi untuk mendapatkan prestis sosial. Hadza jihadul akbar (ini adalah jihad yang lebih besar dan jihad sebenarnya) kata Nabi. Perang di zaman nabi terpaksa dilakukan kepada kaum kafirin dan munafikin karena tidak menghormati kedamaian. Nabi sangat hormat terhadap golongan lain non Islam yang menghormati kedamaian (kafir dzimmi). Mengganggu mereka berarti mengganggu Nabi.
Lalu apakah bisa dibenarkan jika ormas-ormas garis keras itu kemudian melakukan sweeping mengatasnamakan agama demi menjaga kedamaian? jawabannya jelas tidak. Sebab, masih ada i'tikad baik aparat keamanan dan pemerintah setempat.
Bagiku, jika mengacu perkataan Nabi, melakukan kekerasan di tengah kedamaian adalah kedholiman di atas kedholiman. Terlepas mereka Islam atau tidak, berbuat maksiat atau tidak. Wallahu a'lam bishowab.

Ulujami, 23 Agustus 2008

22 Agustus 2008

Ramadhan Tanpa Sweeping


FBR Siap Lawan Aparat

Pemprov DKI Jakarta memastikan selama bulan puasa mendatang tidak akan ada sweeping tempat-tempat hiburan dari organisasi masyarakat (ormas). Pasalnya, sweeping yang menjadi rutinitas tahunan itu banyak dikeluhkan masyarakat. Sebagai gantinya, Pemprov DKI Jakarta akan mengundang seluruh pemilik tempat hiburan untuk menaati jam buka tutup tempat hiburan selama puasa berlangsung.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata DKI Arie Budhiman, sweeping tempat hiburan dari ormas yang mengatasnamakan agama memang kerap berujung pada perusakan. Untuk memastikan tidak adanya sweeping, pihaknya membentuk tim terpadu bersama aparat kepolisian yang akan mengamankan Jakarta selama puasa. Tim tersebut untuk memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan sejumlah tempat hiburan. Selain juga untuk mengamankan tidak ada aksi anarkis yang dilakukan ormas selama bulan puasa.
Sebab, Pemprov DKI sudah punya aturan jelas yang mengatur hiburan malam. Ketentuan tersebut diatur dalam Perda no 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Selain itu juga SK Gubernur DKI no 87 tahun 2004 tentang jam buka tempat hiburan malam ketika bulan Ramadhan. "Aturan itu yang akan diperketat. Jadi tidak perlu ada sweeping lagi," ujarnya kemarin.
Untuk meminimalisasi pelanggaran yang memicu terjadinya sweeping, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pemilik tempat hiburan pada Selasa mendatang. Sosialisasi akan kembali digencarkan. Agar tidak ada lagi alasan pemilik tempat hiburan tidak mengatahui aturan yang ada.
Pihaknya menghimbau, jika ada warga masyarakat yang mendapatkan ada hiburan malam yang melanggar, bisa segera melaporkan ke sudin pariwisata di masing-masing wilayah serta Dinas Pariwisata. Segala keluhan akan ditindaklanjuti aparat Dinas Tramtib dan Linmas. Jika terbukti melanggar, akan dikenakan sanksi. Mulai teguran hingga penyegelan. "Ini tentunya untuk mengurangi tindakan anarkis itu," katanya.
Menurut Sekda Pemprov DKI Muhayat, sweeping dari ormas tidak diizinkan lantaran bisa memicu terjadinya bentrokan atau perusakan. Sebab, untuk menjaga keamanan Ibu Kota, sudah aparat kepolisian. Apalagi, di DKI juga sudah ada aturan yang mengatur jam buka tutup hiburan malam. Jika warga resah akibat ulah hiburan malam, cukup melaporkan kepada aparat terkait tanpa harus bertindak main hakim sendiri.
Di tingkat internal Pemprov DKI, aparat di lima wilayah juga siap bergerak mengamankan tempat hiburan malam itu. "Ada juga Dinas Bintal Kesos dan Tramtib. Jadi cukup melapor nanti ditindaklanjuti," katanya.
Diakuinya, selama 2004 hingga 2008, pelanggaran memang masih terjadi. Namun, jumlahnya sudah jauh menurun. Sanksi yang sudah pernah dijatuhkan seperti teguran hingga penyegelan.
Sementara itu, ketua Forum Betawi Rempug Fadholi El Muhir menyatakan tidak akan mengindahkan ketentuan yang diberlakukan Pemprov DKI dan kepolisian. Sebab, selama ini, meskipun aparat kepolisian telah berjanji mengamankan bulan puasa, buktinya masih banyak pelanggaran. Begitu bulan puasa dimulai, sweeping tetap akan dilakukan di lima wilayah DKI. Seperti di Jelambar, Jakarta Barat; Mangga Besar, Jakarta Barat serta Tanjung Priok, Jakarta Utara. "Begitu juga tempat hiburan yang lain. Termasuk di Depok, Tengerang dan Bekasi," tegasnya.
Meskipun dilarang, FBR tetap akan melakukan sweeping tersebut dan siap bentrok dengan sejumlah aparat yang selama ini membekingi tempat-tempat hiburan malam. "Karena ini kehendak masyarakat. Kami akan tetap maju untuk menertibkan tempat hiburan itu," ungkapnya. (aak)

21 Agustus 2008

Didukung Malah Menelikung

Rp 3 M Dana Bajaj BBG Raib

Ratusan sopir bajaj di DKI meliburkan diri kemarin. Mereka turun jalan untuk menuntut peremajaan bajaj yang mangkrak sekian lama. Padahal, uang muka telah dibayarkan pada Oktober 2007 lalu. Total dana peremajaan yang terkumpul sekitar Rp 3 miliar. Sesuai kontrak, PT Abdi Rahardja yang ditunjuk menjadi rekanan seharusnya sudah menyelesaikan peremajaan enam bulan kemudian. Namun, hingga saat ini, bajaj BBG tak kunjung diterima para sopir bajaj. Harian INDOPOS, 21 Agustus 2008.
"Mereka bayar Rp 1,5 juta per orang sebagai uang muka," ujar korlap aksi FX Watu disela-sela aksi di Balai Kota kemarin.
Sesuai SK no 8761/-1.811.1 tertanggal 4 Mei 2007 tentang izin persetujuan prinsip angkutan lingkungan bajaj empat tak, PT Abdi Rahardja mendapat jatah pengadaan bajaj 5000 unit dan harus diselesaikan selama enam bulan. Namun, hingga rentang waktu habis, bajaj BBG yang bisa diproduksi hanya 253 unit. "Jika ditabung, bunganya saja sudah mencapai Rp 1,8 miliar," ungkapnya.
Hingga saat ini masih ada 300 ribu bajaj yang belum diremajakan. Meskipun telah melanggar isi ketentuan kontrak kerjasama lantaran wan prestasi, Pemprov DKI Jakarta kembali menunjuk perusahaan tersebut dengan dikeluarkannya SK no 2912/-1.811.1 tertanggal 4 Oktober 2007. Paling lambat enam bulan sudah harus tersedia 4.750 unit. Namun, hingga kontrak berakhir baru tersedia 250 unit.
Padahal, dalam kontrak disebutkan, jika perusahaan tidak mampu memenuhi target hingga batas waktu, dianggap wan prestasi. Sanksinya, perusahaan yang bersangkutan tidak dapat mengikuti peremajaan selama dua tahun. "Tapi kenyataannya aneh. Kok sudah wan prestasi tapi masih saja ditunjuk.
Bahkan, para sopir bajaj dimintai BPKB sebagai jaminan," ungkapnya kesal.
Pihaknya menduga, dalam pengadaan bajaj BBG tersebut ada KKN yang berpotensi merugikan negara lantaran ada oknum yang tidak bertanggungjawab. Sebab, tidak mungkin Pemprov DKI mengeluarkan izin prinsip kepada perusahaan yang melakukan wan prestasi. Padahal, peremajaan bajaj merupakan prioritas. Sehingga, Pemprov DKI harus segera menindak sejumlah oknum yang sengaja mempermainkan program langit biru tersebut.
Para sopir bajaj juga menuntut agar PT Abdi Rahardja menyelesaikan kewajibannya lantaran sudah dapat setoran uang muka. Selain itu, SK no 2912 tentang persetujuan prinsip PT Abdi Rahardja harus segera dicabut lantaran telah monopoli. "Jika tidak direspon, akan kami tindaklanjuti dengan hukum. Apalagi,harganya sekarang mahal. Dulu cuma Rp 29 juta, sekarang Rp 35 juta," bebernya.
Menurut pengakuan sopir bajaj, sebenarnya, dengan bajaj BBG ada dua keuntungan yang diperoleh. Harga BBG lebih murah dibanding premium. Disamping juga ramah lingkungan. "Kami semua dukung, cuma kok lama banget sudah setahun ga jadi-jadi," aku Iman, 50.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto saat dikonfirmasi menyatakan masih akan meneliti lebih lanjut. Jika benar telah wan prestasi, berarti ada pelanggaran. "Kalau dianggap monopoli nanti akan dicek apakah benar melalui penunjukan langsung atau tender," ungkapnya usai mengikuti rapat paripurna di gedung DPRD kemarin.
Sekretaris komisi B Nurmansyah Lubis menambahkan, penunjukan langsung jelas tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika dalam SK disebutkan perpanjangan kontrak setelah rekanan melakukan wan prestasi. "Ini merupakan monopoli. Program langit biru berarti telah gagal," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur PT Abdi Raharja Franky Hongko Wardoyo ketika dikonfirmasi membantah jika telah meneken kontrak peremajaan bajaj dengan Pemprov DKI. "Mana buktinya. Saya tidak pernah merasa tandatangan," ungkapnya.
Jika Gubernur DKI Jakarta saat itu mengeluarkan SK izin prinsip pengadaan bajaj BBG, pihaknya tidak mengetahui. Sehingga, pihaknya juga tidak berkewajiban untuk memenuhi pengadaan 5.000 unit bajaj sesuai target yang ditentukan Pemprov. "Karena kami tidak menandatangani kontrak, bagaimana uang muka harus dikembalikan," kelitnya.
Jika ada pembayaran uang muka dari para sopir bajaj, pihaknya mempertanyakan uang tersebut dibayarkan kepada siapa dan jumlahnya berapa. Jika tidak ada bukti konkret, PT Abdi Rahardja enggan menanggapi tuntutan itu. "Nanti saja mas. Saya lagi di luar kota. Kalau ada buktinya nanti saya cek," pungkasnya.
Menurut pengakuan sopir bajaj, PT Abdi Rahardja tebang pilih dalam melayani peremajaan itu. Tidak seluruh sopir bajaj dilayani dengan baik. Hanya sopir bajaj yang membayar cash yang dilayani. Sementara yang hanya membayar uang muka tidak digubris. Alasannya, permintaan bajaj BBG tersebut antre banyak. "Itu sudah dari dulu. Meskipun sudah bayar uang muka, alasannya ada saja," aku Aris, 35, salah seorang sopir bajaj kecewa. (aak)

18 Agustus 2008

Kenaikan Gaji PNS Mengorbankan Pelayanan Publik

Dewan Usulkan Pemotongan Uang Kesra

Pembangunan di DKI terancam mangkrak. Hal itu menyusul kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen yang diusulkan pemerintah pusat. Pasalnya, kenaikan gaji sebelumnya sebesar 20 persen sudah banyak memangkas sejumlah anggaran pembangunan. Jika kenaikan yang diusung pemerintah pusat itu harus kembali ditanggung APBD, dikhawatirkan alokasi
pelayanan publik bakal terganggu. Headline Harian INDOPOS, 17 Agustus 2008.
"APBD sudah terlalu banyak dibebani dengan kenaikan gaji PNS. Apalagi, DKI tidak mendapat Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Diakuinya, meskipun dianggap daerah kaya, nyatanya, APBD DKI tidak mengalami peningkatan cukup signifikan. Bahkan, untuk mengakomodasi kenaikan gaji 20 persen yang diusulkan pemerintah pusat tahun ini saja, Pemprov DKI Jakarta sudah kerepotan. Banyak program pembangunan fisik dan nonfisik yang dicoret. Sebab, kenaikan 20 persen itu memaksa APBD mengalokasikan sedikitnya Rp 504 miliar untuk memenuhi keinginan pusat. Sehingga, alokasi gaji PNS untuk 81 ribu pegawai mencapai Rp 6,7 triliun atau 30 persen dari total anggaran daerah 2008 yang ditetapkan Rp 20,59 triliun. Jika kenaikan gaji 15 persen harus kembali ditanggung, dikhawatirkan, banyak program yang bakal terbengkelai. Terutama layanan publik yang berhubungan dengan masyarakat banyak.
Meskipun baru akan direalisasikan tahun depan, tetap saja kenaikan gaji tambahan 15 persen membuat Pemprov DKI gamang. Di satu sisi, pihaknya menyambut baik kenaikan itu lantaran untuk menyejahterakan para pegawai. Namun, jika untuk menambal kenaikan harus mengorbankan anggaran publik, pihaknya masih harus berpikir ulang. "Saya ingin kebijaksanaan khusus. Jangan semuanya dibebankan ke APBD. Ini nanti
akan kami bicarakan dengan pusat," terangnya.
Menurut ketua komisi A Ahmad Suaidy, kenaikan gaji PNS memang sangat merepotkan. Belum lagi kenaikan gaji 20 persen terbayarkan, pusat kembali membebani daerah dengan kenaikan 15 persen. Jika pemerintah pusat enggan untuk menanggung kenaikan itu, Pemprov DKI harus bisa bertindak sigap. Caranya, uang kesra bagi PNS yang selama ini dibayarkan rutin melalui APBD, lebih baik dipangkas. Dana tersebut
nantinya untuk menambal anggaran pembangunan yang dipangkas untuk kenaikan gaji 15 persen. "Kalau pusat mau menanggung tidak apa-apa. Jangan sampai anggaran publik yang terus menerus dikorbankan," tegasnya.
Sinyal rencana kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen tersebut tersirat dalam pidato kenegaraan Presiden SBY di gedung DPR RI pada 16 Agustus lalu. Pemerintah pusat menyatakan, anggaran untuk gaji PNS, TNI/Polri serta pensiunan akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 15 persen. Anggaran yang dialokasikan untuk anggaran belanja pegawai pada 2009 sebesar Rp 143,8 triliun atau naik Rp 20,2 triliun (16,4 persen). Padahal, untuk gaji PNS di DKI, rata-rata setiap bulannya Rp 5 juta
per bulan. Seperti guru, untuk golongan IV A, setiap bulannya menerima gaji Rp 2,5 juta ditambah uang kesra Rp 2,5 juta. (aak)

Busway Nunggak Rp 23,4 Miliar

Armada Dikurangi, Penumpang Dikorbankan

Terganggunya pelayanan angkutan masal busway ternyata tidak hanya dipicu murni persoalan operasional di lapangan. Buruknya managemen juga ikut membuat pelayanan angkutan eksklusif tersebut terganggu. Pasalnya, pengurangan armada yang selama ini terjadi akibat masih nunggaknya Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta terhadap biaya
operasional busway kepada operator. Total tunggakan sebesar Rp 23,4 miliar untuk koridor IV hingga koridor VII. Headline Harian INDOPOS, 16 Agustus 2008.
Menurut Direktur Operasional Teknik Jakarta Trans Metropolitan (JTM)I Gusti Ngurah Oka, tunggakan yang belum dibayarkan BLU tersebut terhitung selama dua bulan mulai Juni hingga Juli. Dari jumlah tunggakan Rp 23,4 miliar itu, sebanyak Rp 10,2 miliar untuk koridor IV dan VII serta koridor V dan VI sebesar Rp 13,2 miliar. Akibatnya,
operator terpaksa tombok agar busway tetap bisa operasi dengan normal. "Hingga saat ini pun belum ada kejelasan kapan akan dibayar," tegasnya kemarin.
Menurutnya, untuk menekan jumlah pembayaan, jumlah armada yang dioperasikan juga dikurangi. Tentu saja hal itu membuat pelayanan menjadi terganggu. Sebab, saat ini, saja, dengan armada sebanyak 138 unit untuk koridor IV hingga VII, masih belum mampu mengangkut seluruh penumpang yang ada. Akibatnya, penumpukan penumpang sering terjadi di sejumlah halte. Apalagi, headway (jarak tempuh antara satu bus dengan
bus berikutnya) saat ini masih berkisar antara tujuh hingga 10 menit.
Menurut Direktur Keuangan JMT Maringan Arwan, seharusnya, segala hal yang terkait dengan pelayanan tidak diganggu gugat. Untuk mengurangi pembayaran tidak lantas harus mengurangi armada. Sebab, jika ada penumpang yang telantar, operator selalu yang dikambinghitamkan. "Kalau Pemprov DKI tidak segera membereskan persoalan ini, kami bisa saja berhenti operasi. Sebab, keuangan semakin menyusut," keluhnya.
Sementara itu, Direktur BLU Transjakarta Drajat Adiyaksa belum bisa dikonfirmasi terkait tunggakan busway selama dua bulan senilai Rp 23,4 miliar itu.
Menurut ketua komisi D Sayogo Hendrosubroto, nunggaknya pembayaran biaya operasional busway dari BLU ke operator sangat disayangkan mengingat subsidi yang dikucurkan setiap tahun jumlahnya cukup signifikan. Tahun ini saja Pemprov mengucurkan subsidi Rp 263 miliar. Hal itu belum lagi tambahan kucuran lainnya. Sehingga, jika ada tunggakan yang menyebabkan pelayanan terganggu apalagi hingga
telantar, pihaknya sangat menyayangkan.
Menurut juru bicara FPKS Igo Ilham, untuk membenahi managemen busway harus ada perombakan secara mendasar atas organisasi dan manajemen Transjakarta. Pihaknya mendesak Pemprov segera membenahi sistem pengelolaan busway secara profesional. Untuk membenahi managemen BLU, mau tidak mau harus diubah menjadi perusahaan yang independen. Perusahaan tersebut bertanggungjawab langsung secara penuh kepada Gubernur DKI Jakarta. "Kalau saat ini tidak maksimal lantaran sebagai UPT di bawah Dishub," terangnya.
Persoalan yang menimpa busway memang bukan sekali itu saja. Sebelumnya, pada awal Juni lalu, sejumlah halte busway sempat diputus paksa oleh PLN juga akibat menunggak pembayaran tagihan listrik selama berbulan-bulan. Kemudian, masih pada bulan yang sama, SPBG di Daan Mogot, Jakarta Barat juga sempat disegel akibat pengelola nunggak membayar tagihan hingga Rp 3,8 miliar kepada Pertamina. (aak)

1,7 Juta Warga DKI Buang Limbah ke Sungai

Pemprov Gagas Jamban Komunal

Pemprov DKI Jakarta mulai menggagas pembangunan jamban komunal yang terintegrasi di lima wilayah DKI. Hal itu menyusul masih banyaknya warga DKI yang tidak memiliki sarana pembuangan limbah tersebut. Diperkirakan, sebanyak 1,7 juta warga DKI tidak memiliki jamban. Akibatnya, seluruh limbah tersebut mencemari 13 sungai yang melintas di DKI. Harian INDOPOS, 15 Agustus 2008.
"Kami akan bangun jamban komunal untuk menggantikan WC-WC helikopter yang ditertibkan. Seperti yang sudah ada di Petojo Binatu," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo kemarin.
Sejumlah jamban komunal tersebut nantinya akan dibuat terintegrasi dalam satu wilayah. Tidak seperti saat ini. Meskipun warga sudah mulai banyak mengandalkan jamban komunal, limbahnya tetap mengalir ke sungai.
Dengan membangun jaringan terintegrasi, setiap kawasan padat penduduk akan dibuatkan jaring Instalasi Pengelolaan Air limbah (IPAL).
Pembangunan IPAL tersebut sempat dirintis 20 tahun lalu. Namun, terhenti dan tidak ada penambahan di setiap wilayah padat penduduk lantaran terkendala masalah dana dan perilaku masyarakat. Sebab, untuk membangun jaringan jamban komunal yang terintegrasi membutuhkan dana yang cukup besar. Sementara, warga tidak mungkin bersedia membayar untuk setiap kotoran yang mereka buang.
Tak heran jika data dari Departemen Pekerjaan Umum menyebutkan, di DKI, khusus untuk rumah tangga yang membuang limbah dengan saluran terrtutup ada 1.460.079 rumah tangga atau 63,4 persen, yang membuang limbah dengan saluran terbuka ada 784.568 rumah tangga atau 34 persen. Sementara yang membuang limbah tanpa saluran ada 56.139 rumah tangga.
Menurut Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Daerah (BPLHD) DKI Budirama Natakusumah, limbah rumah tangga seperti tinja dari kamar mandi, amonia, BOD (biological oxigen demand) serta COD (chemical Oxigen Demand) saat ini sudah banyak masuk ke saluran 13 sungai di DKI. Pencemaran sudah mencapai 70 persen.
Sebenarnya, untuk meminimalisasi pencemaran tersebut, Pemprov DKI Jakarta telah menerbitkan Pergub no 115 tahun 2005 tentang IPAL. Setiap pengembang yang membangun perumahan di DKI harus menyediakan sistem IPAL komunal. Semua limbah rumah tangga dalam kawasan tertentu dalam satu kawasan perumahan ditampung dalam satu IPAL.
Selain itu, setiap perumahan padat penduduk baik di sepanjang aliran sungai atau perumahan padat penduduk juga akan dibangun IPAL dengan perbandingan 30 rumah dibangun satu IPAL. Proyek percontohan akan dilakukan di Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Saat ini, pihaknya tengah menyiapkan lokasi yang akan menjadi pilot project. Diharapkan, pada November mendatang sudah bisa terealisasi. IPAL yang akan dibangun tersebut memiliki dua saluran. Satu untuk pembuangan tinja yang akan dimanfaatkan sebagai biogas serta untuk pembuangan air. Air tersebut akan melalui tahap penyaringan (filtrasi). Sehingga, air yang dibuang ke sungai sudah bersih.
Diakuinya, saat ini, masih banyaknya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai lantaran minimnya sarana yang tersedia. Sehingga, penegakan hukum juga tidak bisa diberlakukan dengan efektif. Sesuai UU no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan, jika secara sengaja melakukan pencemaran lingkungan diancam pidana penjara 10 tahun atau denda Rp 500 juta. Jika mengakibatkan jatuhnya korban meninggal atau luka berat diancam pidana penjara 15 tahun atau denda Rp 750 juta. Jika terjadinya pencemaran akibat kelalaian diancam pidana penjara 3 tahun atau denda 100 juta. Jika menyebabkan korban meninggal atau luka berat diancam pidana penjara 5 tahun atau denda Rp 150 juta. (aak)

17 Agustus 2008

KPK Incar Pelayanan Publik DKI

Pemprov Warning SKPD Nakal

Pemprov DKI Jakarta mulai waspada terhadap munculnya indikasi dugaan korupsi di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang tersebar di lima wilayah DKI. Headline Harian INDOPOS, 13 Agustus 2008. Hal itu menyusul gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan memperlebar sayap memeriksa seluruh layanan publik. Salah satunya di DKI.
Menurut ketua KPK Antasari Azhar, pengawasan terhadap layanan publik tersebut sudah lama direncanakan. Namun, banyak kalangan yang mencibir langkah KPK tersebut dianggap kurang greget. "Banyak yang mencemooh saya, masak KPK ngurusi pungli-pungli kayak gitu. Saya bilang, itu justru penting karena banyak dikeluhkan masyarakat," ujarnya usai memberi pengarahan pejabat Pemprov DKI Jakarta di Balai Kota kemarin.
Di antara layanan publik yang bakal dibidik KPK tersebut terkait layanan kesehatan,sekolah, KTP serta sejumlah layanan publik lainnya yang rentan terjadinya korupsi by need. Sebab, meskipun negara tidak dirugikan secara signifikan, masyarakat selalu mengeluhkan layanan publik tersebut. "Ini yang akan kami bimbing dan dibina. Tapi kalau korupsi yang rakus, kami sikat," tegasnya.
Pengawasan melekat itu penting untuk direalisasikan dalam rangka good governance. Bagaimana menciptakan partisipasi publik untuk mencegah terjadinya korupsi. Seperti masalah anggaran harus transparan. Apa, di mana serta jumlahnya berapa. Seluruhnya harus diungkap agar bisa diketahui publik masyarakat Jakarta. Termasuk rencana pembangunan di DKI yang belum terealisasi atau mangkrak. Harus ada ketegasan apakah akan diteruskan atau dihentikan. "Seperti monorel, biar masyarakat tidak bertanya-tanya terus. Soalnya publik banyak tanya ke KPK," ungkapnya.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, masukan dari KPK tersebut akan segera direalisasikan ke seluruh SKPD yang tersebar di lima wilayah DKI. Sehingga, dalam mengelola pemerintahan bisa dilakukan dengan transparan. Saat ini, pihaknya mengaku sudah mengawalinya dan akan terus ditindaklanjuti. Seperti layanan publik sudah bisa diakses lewat internet. Begitu juga dengan anggaran APBD. Dalam waktu dekat, rencana pembangunan kota juga akan dimasukkan dalam internet agar masyarakat bisa mendapat informasi dan ikut berperanserta dalam melakukan pengawasan. Namun, jika dalam layanan publik tersebut masyarakat membutuhkan legalisasi, tentu tidak hanya bisa melalui internet, tapi harus datang dan ada retribusinya. "Begitu juga tender pengadaan barang. Secara bertahap akan diumumkan kepada publik. Sebab, prosesnya memang rumit," ungkapnya.
Untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak bisa dilakukan dengan cara sepihak. Tapi harus melalui sistem. Sehingga, jika sistem telah diperbaiki, tata kelola pemerintahan yang baik bisa diwujudkan.
Diakuinya, KPK sendiri sudah banyak menerima masukan dan keluhan dari masyarakat DKI. Seperti soal pungutan buku sekolah. Pihaknya menyambut baik lantaran itu menyangkut pelayanan publik.
Selain soal pelayanan publik, KPK, ungkap Foke juga menyinggung soal gratifikasi. Jika ada pemberian hadiah dari satu keluarga yang lain, tidak bisa disebut gratifikasi jika tidak ada keterkaitan dengan jabatan. Namun, jika ada kekhawatiran, pejabat terkait wajib lapor kepada KPK.
Pihaknya berharap, dengan pengarahan dan pembinaan dari KPK tersebut, tidak ada lagi SKPD yang takut kepada KPK dalam merealisasikan anggaran. "Sejak awal saya bilang, kalau berpegangan dengan aturan yang berlaku, kenapa harus takut," terangnya.
Di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, unit kerja terdiri dari, sekretariat dewan, tujuh badan, 26 dinas, lima samsat, 11 biro, sembilan kantor, 15 UPT serta Kabupaten Kepulauan Seribu.
DKI memang tidak lekang oleh pungli pada layanan publik. Banyak di antara pasien miskin ditolak rumah sakit, pungli KTP, bahkan orang yang meninggal masih terkena pungli makam. Seperti pungli sekolah misalnya.
ICW melaporkan, sedikitnya 130 sekolah diduga melakukan pungli. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan dari masyarakat serta survey yang digelar mulai 2004 hingga 2008 yang melibatkan sampel 1.600 sekolah. Khusus DKI Jakarta ada 80 sekolah. Headline INDOPOS, 30 Juli 2008.
Dari temuan ICW, pungli yang terjadi di sekolah dengan berbagai modus. Mulai pembelian buku pelajaran, seragam, administrasi, uang pembangunan gedung, biaya perpisahan, ulang tahun sekolah serta yang lainnya. Besarannya antara Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta.
Sementara, keluhan adanya pungli yang masuk Dinas Pendidikan Dasar DKI hingga 1.130 aduan. Jumlah tersebut yang sudah ditindaklanjuti sebanyak 300 aduan. Sebanyak 10 kepala sekolah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran tersebut dan telah dijatuhi sanksi.
ICW sendiri berusaha mengawal pemberantasan itu dengan melaporkan ke Kejagung. Sebab, Kejati DKI tak kunjung bergerak. Padahal, dari tahun ke tahun terus meningkat sekitar 10 persen.
Maraknya pungli memang sangat disayangkan. Dana BOS dan BOP cukup signifikan. Dana BOS yang bersumber dari APBN, tingkat SD pada 2008 sebesar Rp 21.166 per bulan per siswa. Jumlah total anggaran mencapai Rp 52 miliar lebih.
Untuk SMP, setiap siswa menerima bantuan sebesar Rp 29.500 per bulan. Total anggaran sebanyak Rp 82,7 miliar.
Untuk alokasi anggaran pendidikan yang bersumber dari APBD melalui BOP, bagi siswa SD sebesar Rp 493,8 miliardan untuk SMP sebesar Rp 327,7 miliar. (aak)

Mereka Bilang Kita Sudah Merdeka

Mereka Bilang Kita Sudah Merdeka

Malam ini di kampung Ulujami, RT 06/02, Pesanggarahan menggelar syukuran hari kemerdekaan. Mereka bersuka cita. Begitu juga di sejumlah lokasi lain. Berbagai lomba digelar. Mulai anak-anak hingga orangtua. Panggung hiburan juga bermunculan. Mereka bilang Indonesia sudah merdeka 63 tahun. Esok 17 Agustus, tepat di mana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan di Lapangan Ikada (saat ini jadi taman Monas). Pada saat warga Jakarta dan seluruh pelosok negeri bersuka cita, sebenarnya hatiku miris. Ada yang mengganjal dalam hati. Ada pertanyaan yang selalu muncul. Benarkan kita merdeka seperti yang mereka katakan. Pak RT katakan, Pak lurah katakan, pak camat katakan, pak walikota katakan, pak gubernur katakan, pak presiden katakan. Layakkah mereka bersuka cita atau bahkan berhura-hura. Benarkah kita sudah merdeka. Merdeka dari apa. Penjajahan dari bangsa asing. Itu emang benar. Versus pemerintah kita. Pejabat-pejabat kita.
Tapi apa sepenuhnya benar. Bukankah saat ini kita justru dijajah oleh bangsa sendiri. Tangan-tangan asing bukankah semakin mencengkeram dengan kuat. Penjajahan secara fisik mungkin telah hilang. Tapi penjajahan dalam bentuk yang paling halus bukankah sangat kita rasakan. Kita menjadi pengemis di negeri sendiri. Kekayaan yang melimpah, sumber energi yang melimpah. Tapi kita didoktrin kekurangan energi. Harga BBM melambung tinggi. Harga bahan pokok ikut melangit. Ekonomi semakin mencekik.
Asal tahu saja, sejumlah aset bangsa ini banyak dijual ke bangsa asing. Indosat dijual zaman mega, minyak berharga di Cepu dijual zaman sby. Belum lagi freport yang menghasilkan kekayaan alam luar biasa tapi hanya dinikmati bangsa asing. Gejolak warga setempat lantaran menjadi budak di kampungnya sendiri hanya menjadi perbincangan elit-elit kita sekejap saja lalu kembali terlupakan.
Pejabat kita selalu bilang, harga minyak dunia melambung tinggi. Butuh penyesuaian agar APBN tidak jebol. Bukankah kita punya minyak banyak. Wajar saja harga tinggi. Kita mengekspor minyak mentah ke luar negeri dengan harga murah. Lalu kita beli setelah jadi dengan harga melangit. Alasannya sangat klasik. Kita tidak punya teknologi, tidak kuat beli teknologi. Tapi kita habiskan triliunan hanya untuk program BLT yang katanya sebagai kompensasi kenaikan BBM. Tapi program untuk membungkam gejolak rakyat kecil bukannya menjadi penghibur tapi justru menjadi masalah lantaran banyak disunat pejabat tingkat bawah.
Penggusuran terjadi hampir setiap hari. Pengemis, pengamen, pemulung dan ribuan warga miskin yang rata-rata pendatang digusur di setiap titik dengan berbagai alasan. Tangis janda tua, anak-anak kecil seperti tak lekang oleh waktu.
Dalam pidatonya di parlemen, sby menyebut kemiskinan jauh telah berkurang. Bangsa ini telah makmur. Apakah dia tidak tahu, tetangganya di cikeas saja banyak yang kelaparan. Apalagi di Jakarta ini. Jangankan mendapat bantuan, untuk diberi kesempatan mencari nafkah saja masih sering digusur-gusur. Seperti ada pepatah di negeri ini. Tidak ada tempat untuk orang miskin. Orang miskin hanya menjadi beban. Sampah masyarakat. Hanya bebani APBN, hanya bebani APBD. Hanya bikin ruwet kota ini.
Lalu kenapa mereka yang disalahkan. Toh mereka tidak pernah makan uang rakyat seperti pejabat-pejabat kita. Sudah digaji dari pajak hasil keringat rakyat, masih juga korupsi. Belum lagi berbagai pungutan liar. Tidak ada urusan yang bakal beres jika belum membayar. Benar-benar penjajah.
Lalu apakah kita pantas mengatakan bahwa kita telah merdeka. Merdeka dari apa. Bukankah penjajahan dalam bentuk saat ini lebih kejam. Tidak bisa dilawan dengan bambu runcing tapi mencekik setiap saat. Hal itu belum lagi penjajahan dari negara asing. Tidak hanya mengeruk kekayaan negeri secara terang-terangan yang diamini segelintir elit dalam negeri, tapi juga penjajahan dalam bentuk tekanan ekonomi dan sejumlah intervensi dalam bentuk yang lain.
Sekali lagi, apakah benar kita sudah merdeka. Merdeka dari apa, merdeka dari siapa?
Tapi, setidaknya, rasa suka cita, hura-hura saat menyambut datangnya hari kemerdekaan bisa membuat mereka yang kesusahan, mereka yang dibelenggu oleh sistem yang korup, mereka yang kelaparan di bawah terik matahari, atau mereka yang menangis karena sering digusur sejenak lupa. Sejenak lupa kalau mereka susah. Sejenak lupa kalau mereka sedang dijajah.

Ulujami, malam 17 Agustus 2008