17 Agustus 2008

Mereka Bilang Kita Sudah Merdeka

Mereka Bilang Kita Sudah Merdeka

Malam ini di kampung Ulujami, RT 06/02, Pesanggarahan menggelar syukuran hari kemerdekaan. Mereka bersuka cita. Begitu juga di sejumlah lokasi lain. Berbagai lomba digelar. Mulai anak-anak hingga orangtua. Panggung hiburan juga bermunculan. Mereka bilang Indonesia sudah merdeka 63 tahun. Esok 17 Agustus, tepat di mana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan di Lapangan Ikada (saat ini jadi taman Monas). Pada saat warga Jakarta dan seluruh pelosok negeri bersuka cita, sebenarnya hatiku miris. Ada yang mengganjal dalam hati. Ada pertanyaan yang selalu muncul. Benarkan kita merdeka seperti yang mereka katakan. Pak RT katakan, Pak lurah katakan, pak camat katakan, pak walikota katakan, pak gubernur katakan, pak presiden katakan. Layakkah mereka bersuka cita atau bahkan berhura-hura. Benarkah kita sudah merdeka. Merdeka dari apa. Penjajahan dari bangsa asing. Itu emang benar. Versus pemerintah kita. Pejabat-pejabat kita.
Tapi apa sepenuhnya benar. Bukankah saat ini kita justru dijajah oleh bangsa sendiri. Tangan-tangan asing bukankah semakin mencengkeram dengan kuat. Penjajahan secara fisik mungkin telah hilang. Tapi penjajahan dalam bentuk yang paling halus bukankah sangat kita rasakan. Kita menjadi pengemis di negeri sendiri. Kekayaan yang melimpah, sumber energi yang melimpah. Tapi kita didoktrin kekurangan energi. Harga BBM melambung tinggi. Harga bahan pokok ikut melangit. Ekonomi semakin mencekik.
Asal tahu saja, sejumlah aset bangsa ini banyak dijual ke bangsa asing. Indosat dijual zaman mega, minyak berharga di Cepu dijual zaman sby. Belum lagi freport yang menghasilkan kekayaan alam luar biasa tapi hanya dinikmati bangsa asing. Gejolak warga setempat lantaran menjadi budak di kampungnya sendiri hanya menjadi perbincangan elit-elit kita sekejap saja lalu kembali terlupakan.
Pejabat kita selalu bilang, harga minyak dunia melambung tinggi. Butuh penyesuaian agar APBN tidak jebol. Bukankah kita punya minyak banyak. Wajar saja harga tinggi. Kita mengekspor minyak mentah ke luar negeri dengan harga murah. Lalu kita beli setelah jadi dengan harga melangit. Alasannya sangat klasik. Kita tidak punya teknologi, tidak kuat beli teknologi. Tapi kita habiskan triliunan hanya untuk program BLT yang katanya sebagai kompensasi kenaikan BBM. Tapi program untuk membungkam gejolak rakyat kecil bukannya menjadi penghibur tapi justru menjadi masalah lantaran banyak disunat pejabat tingkat bawah.
Penggusuran terjadi hampir setiap hari. Pengemis, pengamen, pemulung dan ribuan warga miskin yang rata-rata pendatang digusur di setiap titik dengan berbagai alasan. Tangis janda tua, anak-anak kecil seperti tak lekang oleh waktu.
Dalam pidatonya di parlemen, sby menyebut kemiskinan jauh telah berkurang. Bangsa ini telah makmur. Apakah dia tidak tahu, tetangganya di cikeas saja banyak yang kelaparan. Apalagi di Jakarta ini. Jangankan mendapat bantuan, untuk diberi kesempatan mencari nafkah saja masih sering digusur-gusur. Seperti ada pepatah di negeri ini. Tidak ada tempat untuk orang miskin. Orang miskin hanya menjadi beban. Sampah masyarakat. Hanya bebani APBN, hanya bebani APBD. Hanya bikin ruwet kota ini.
Lalu kenapa mereka yang disalahkan. Toh mereka tidak pernah makan uang rakyat seperti pejabat-pejabat kita. Sudah digaji dari pajak hasil keringat rakyat, masih juga korupsi. Belum lagi berbagai pungutan liar. Tidak ada urusan yang bakal beres jika belum membayar. Benar-benar penjajah.
Lalu apakah kita pantas mengatakan bahwa kita telah merdeka. Merdeka dari apa. Bukankah penjajahan dalam bentuk saat ini lebih kejam. Tidak bisa dilawan dengan bambu runcing tapi mencekik setiap saat. Hal itu belum lagi penjajahan dari negara asing. Tidak hanya mengeruk kekayaan negeri secara terang-terangan yang diamini segelintir elit dalam negeri, tapi juga penjajahan dalam bentuk tekanan ekonomi dan sejumlah intervensi dalam bentuk yang lain.
Sekali lagi, apakah benar kita sudah merdeka. Merdeka dari apa, merdeka dari siapa?
Tapi, setidaknya, rasa suka cita, hura-hura saat menyambut datangnya hari kemerdekaan bisa membuat mereka yang kesusahan, mereka yang dibelenggu oleh sistem yang korup, mereka yang kelaparan di bawah terik matahari, atau mereka yang menangis karena sering digusur sejenak lupa. Sejenak lupa kalau mereka susah. Sejenak lupa kalau mereka sedang dijajah.

Ulujami, malam 17 Agustus 2008

1 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Pemerintah kita sudah tidak mampu mengurus perusahaan negara. Terlalu banyak mal praktek. terlalu banyak Korupsi. Karena itu, aset perlu dijual. Saya rasa Kita tetap jadi bangsa kuli. Anehnya, kita merasa nikmat menjadi bangsa kuli. Bangsa pemulung. Semua kita pulung: produk elektro, makanan, mode dan life style. Benar kawan, kekhawatiran kawan cukup beralasan. Mereka bilang merdeka. Tapi...