29 Agustus 2008

Jangan Bohongi Agamamu!


Pagi buta istriku Shelvia Jaflaun membangunkanku. "yah..yah..tar jadi beli gas atau ga usah aja. duit di dompet mama tinggal 30 ribu. tapi kalau ga beli nanti anaknya kalau mandi rebus airnya pakai apa," kata perempuan keturunan Ambon itu berulang-ulang. Setengah sadar setengah ngantuk berat, kudengar Najwa Syifa, anakku yang baru berumur 1 bulan merengek-rengek setengah menangis. Tak jelas apakah karena lapar atau karena kepanasan.
Karena masih ngantuk berat, aq menjawab sekenanya. "ga usah beli gas. buat beli makan aja," kataku singkat agar istriku tidak berisik tanya-tanya terus. "kalau mandi tar anaknya gimana yah. pakai air dingin aja?" tanya istriku lagi.
Setengah sadar setengah ngantuk, aq masih sempat mikir, apa tidak kasihan ya anakku yang masih 1 bulan harus mandi dengan air dingin. Spontan aq balik ucapanku. "ya udah, uangnya beliin gas aja buat rebus air. makannya tar aja," kataku lagi.
Setelah benar2 sadar, ada berbagai pertanyaan yang muncul dalam diriku. Semuanya saling bertentangan. Satu sisi ingin mengiba kepada Gusti Allah dengan pertanyaan standar, kenapa tidak Kau beri rizki keluargaku hari ini ya Allah (dengan nada protes). Atau, dengan nada kerendahan, ya Allah, lapangkanlah rizkiku hari ini untuk bisa memenuhi kebutuhan keluargaku.

Di sisi lain, ada juga pertanyaan, kenapa harus mengiba, kenapa harus meminta. Tidakkah kau bercermin, bahwa dirimu masih begitu kotor untuk diberi rizki melimpah. Apa yang telah kau lakukan untuk berterimasih atas segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya (dalam bahasa sufi). Atau dalam bahasa kapitalis, wajar saja kau kelaparan hari ini karena tak pernah berusaha. Gunakan otak, pikiran, tenaga dan segala kemampuan yang kau miliki dong! jangan hanya bermalas2an.
Barangkali, pertanyaan2 yang muncul dalam diriku menjadi cerminan apa sebenarnya manusia itu. Bagaimana manusia bersikap kepada Penciptanya. Ada yang beribadah karena bersyukur, ada yang beribadah karena ingin mendapat imbalan atau ada juga yang mengabaikan ibadah dan hanya mengejar segala keinginan. Untuk yang terakhir, jika tidak terkontrol, maka timbullah apa yang dinamakan keserakahan dan keangkaramurkaan. Di balik kejadian itu, aq ingin mencoba merefleksi apa sebenarnya ibadah itu? kenapa orang beribadah? (maklum jelang puasa coy, ikut2an latah ngomong soal ibadah).
Ibadah bagiku adalah sadar diri. Sadar kalau kita telah diberi berbagai kenikmatan oleh-Nya. Sadar kalau kita takkan bisa apa-apa tanpa pertolongan-Nya.
Konkretnya, orang disebut sadar ketika tanpa paksaan, ancaman atau perintah dari luar melaksanakan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Sadar berarti menjiwai, sadar berarti tergerak hati.
Seperangkat norma agama terpaksa hadir ke dunia karena manusia banyak yang tidak sadar. Keserakahan, keangkaramurkaan merajalela. Manusia lupa kalau telah diciptakan oleh-Nya. Manusia lupa kalau kumpulan daging, tulang, otot, darah, itu bukanlah apa-apa. Tanpa tiupan roh-Nya, sekumpulan organ itu hanya akan terbujur kaku, tidak berguna. Ada dua hal yang membuat keserakahan dan keangkaramurkaan itu terjadi. Karena ketidaktahuan atau karena ketidaksadaran.
Sudah menjadi dasar instink manusia, jika pemenuhan perut, selangkangan serta kekuasaan adalah instrumen yang melekat dalam diri. Semua itu akan menyeruak jika kesadaran terhadap Yang di Atas itu sirna. Kemudian, diturunkanlah norma agama yang dilengkapi sanksi dan imbalan. Dalam bahasa budaya arab, iming-iming itu dikonkretkan dalam bentuk surga yang digambarkan di bawahnya mengalir air yang jernih. (tajri min tahtihal anhar). Mengapa surga digambarkan seperti itu? karena bagi orang arab saat itu, mendapatkan air yang melimpah adalah sebuah kenikmatan yang paling tinggi. Maka muncul pulalah gambaran surga dipenuhi bidadari. Karena orang arab saat itu sangat mengemari wanita menjadi selir, gundik dan pelengkap kenikmatan. Dalam bahasa kawan Sam S Bahri, intelektual muda Jogja, gambaran itu tidak lebih hanya sebuah mitos. Mitos yang berarti cara penyampaian agar bisa dimengerti ketika sesuatu itu tidak bisa dicerna oleh akal. Kemudian neraka digambarkan api yang menyala-nyala karena dianggap hukuman yang paling keras saat itu.

Sebenarnya, ketika manusia itu sadar, norma agama itu tidak perlu ada. Neraka dan surga itu tidak perlu diperkenalkan kepada manusia. Jika manusia sadar kepada Penciptanya, secara otomatis akan melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. Atau melakukan sesuatu karena sangat berterimakasih kepada-Nya. Atau melakukan sesuatu karena mencintai-Nya. Cinta yang tulus tanpa dibayang-bayangi harapan akan mendapat imbalan ketika telah melakukan sesuatu.
Surga dan neraka biarlah menjadi milik orang yang tidak sadar itu. Tapi bagi kita yang sadar, surga dan neraka bukanlah tujuan. Kita telah diberi nikmat, maka sudah selayaknya kita bersyukur, berterimakasih kepada-Nya dengan hati yang ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan imbalan baliknya.
Lalu apakah salah berharap mendapat pahala? jawabannya jelas tidak salah. Karena itu bagian dari kompensasi kita menjalankan norma.
Justru yang kita pertanyakan, kenapa bagi mereka yang sudah mengaku beragama tapi masih berbuat angkara murka? jawabannya karena mereka telah membohongi agama. Agama tak lebih hanya kuda troya untuk mencapai pemenuhan insting dasar manusia. Harta, tahta dan selangkangan.
Jika kita tidak sadar, seharusnya minimal kita tidak bohongi agama.

Kebayoran Lama, 29 Agustus 2008

2 komentar:

samsulbahri mengatakan...

ilustrasi tulisan ini oke bgt...

Ibnul A'robi mengatakan...

cermin dari kebingungan dan kebimbangan kawan..