30 Agustus 2008

Jalan Raya Itu Tempatku Berzikir


Memasuki ramadhan, ustad, kyai, tukang ceramah selalu mengumandangkan untuk beribadah sebanyak2nya pagi, siang dan malam. Karena satu bulan ramadhan, kebaikannya sama dengan seribu bulan. Terkadang aq iri terhadap mereka yang punya cukup waktu untuk bermunajat kepada-Nya. Hampir 15 jam dari pagi hingga malam waktuku tercurah untuk liputan. Lalu kapan aq bisa bersimpuh di hadapan-Nya. Jika masih ada sisa tenaga, begitu nyampe di rumah pukul 23.00, aq sempatin untuk berzikir. Tentu jika Najwa, anakku yang baru satu bulan itu tak bangun2 lagi saat tengah malam. Biasanya setelah nonton bioskop di tv satu seri sekitar pukul 01.00. Jika burung wit di atas sedang lewat dan memanggil2, tandanya aq harus segera bergegas untuk ambil air wudhu untuk kemudian sholat. Pukul 03.00 biasanya sudah selesai dan bisa langsung istirahat. Itupun jika Najwa tdk bangun. Tapi biasanya sih, pukul 04.30 anakku baru merengek-rengek tanda laper atau bosan tidur. Satu jam setengah itu aq manfaatin untuk benar2 istirahat. Sebab, jika anakku sudah bangun, kecil kemungkinan mau tidur lagi. Kalau mamanya lagi kecapaian, maka praktis aq yang harus menggendongnya hingga matahari terbit.
Sejak memasuki dunia jurnalistik, hidupku memang tidak wajar. Tidak seperti kebanyakan orang yang sudah terjadwal kapan harus berangkat kerja dan kapan harus pulang untuk bercengkerama dengan keluarga dan istirahat. Tapi itu tidak terjadi padaku. Kadang, cukup banyak waktu untuk bersantai2, kadang juga tak ada waktu sama sekali. Itu juga yang dulu sebelum anakku lahir sering menjadi penyebab pertengkaran kecil dalam rumah tanggaku.
Jika badanku sudah tak bisa diajak kompromi lantaran saking capeknya setelah tenaga, otak dan pikiran tercurah habis, mataku tak mau diajak kerjasama untuk bisa tetap standby sepanjang malam. Jika sudah begitu, aq tak lagi punya waktu untuk berzikir. Berzikir itu kata guru ngajiku untuk membersihkan diri. Orang yang banyak berzikir akan bersih hatinya. Orang yang bersih hatinya akan semakin mudah membaca tanda2. Tanda apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pendek kata, semakin bersih hati seseorang, semakin terbuka komunikasi antara manusia dan penciptanya. Terbuka pintu pengampunan, terbuka kelapangan, terbuka harapan.
Jika dulu saat di pondok atau di tempat kos, aq masih punya cukup waktu untuk bersantai ria dan berzikir. Tidak hanya malam, pagi, siang dan sore aq masih bisa membentangkan sajadah untuk kemudian memutar tasbih. Bahkan, untuk ngapelpun terpaksa aq tunda jika zikir belum selesai. Tapi sekarang kondisinya jauh berbeda. Aq harus berjuang mencari nafkah untuk keluarga.
Jika malam tiba, pikiran dan hatiku selalu mengajak untuk berzikir. Tapi tubuhku yang terkadang bandel. Tubuhku tak sekuat pikiran dan hatiku. Jika kecapaian, pasti langsung ambruk dan tahu2 sudah pagi.
Lalu kapan aq bisa seperti orang lain? bisa bekerja dan pulang tepat waktu untuk kemudian bermunajat. Mungkin orang yang punya banyak waktu tidak akan melewatkan saat-saat penting selama ramadhan. Mencari ampunan dengan bersimpuh sepanjang waktu. Mungkin, mereka yang akan bisa menikmati kemenangan saat ramadhan telah usai. Mungkin mereka yang akan mendapatkan ampunan untuk kemudian dimasukkan ke dalam surga. Tapi bagaimana dengan aq yang tidak punya waktu untuk bermunajat karena keterbatasan tenaga tubuhku?
Jika akhirnya Gusti Allah hanya memilih dan menilai mereka yang paling soleh dan beriman pun aq tidak keberatan. Jika akhirnya mereka yang masuk surga sedangkan aq harus masuk neraka pun aq tidak keberatan. Toh aq selama ini beribadah tidak untuk mencari surga atau takut kepada neraka.
Karena keterbatasan waktu itu, aq berusaha menyucikan hati dan pikiranku dengan caraku sendiri. Jika tidak berzikir saat malam tiba, maka aq pun berusaha untuk bisa tetap berzikir kapanpun aq bisa. Seperti selagi mengendarai motor bututku membelah jalanan Kota Jakarta. Justru, dengan melantunkan zikir dalam hati, aq tidak stress saat terjebak kemacetan. Bahkan, orang2 yang saat di jalan banyak memaki, mengumpat karena terjebak di kemacetan nyaris tak terdengar oleh telingaku. Termasuk raungan motor yang sengaja dibunyikan dengan nada emosi. Jika sudah larut dalam zikir, tahu2 aq sudah nyampe di tujuan. Apakah itu di kantor gubernur di jalan merdeka selatan atau sampai di rumah di kampung ulujami, pesanggrahan, jakarta selatan.
Berzikir dan berzikir. Hanya dengan itulah aq bisa tetap ingat kepada yang telah menciptakanku. Mensyukuri segala nikmat dan kebesaran-Nya. Saat aq belajar agama dulu di Ambarawa, pae selalu bilang, menjalankan agama itu harus dilandasi tiga hal. Ikhlas, yakin dan pasrah. Tanpa dengan itu, ibadah akan sia2. Karena biasanya, tanpa tiga hal itu, hati dan pikiran manusia akan dirasuki segala prasangka terhadap penciptanya. Prasangka kenapa sudah beribadah kok tidak diberi nikmat atau rizkinya. Atau prasangka kenapa Tuhan memberi cobaan yang tidak sanggup dipikulnya. Atau prasangka, kenapa sudah berusaha dan berdoa, Tuhan tidak mengabulkan harapannya.
Tapi bagiku, tiga landasan pokok itu masih ada yang perlu ditambah. Yakni, sabar dan menerima. Orang Jawa bilang, nrimo ing pandum. Mensyukuri nikmat yang sudah diterima dan tidak serakah. Sekecil apapun nikmat itu. Sabar berarti juga tidak putus asa. Itu yang ngajari bapak kandungku saleh jauhar. Seorang guru agama di kampung yang nyambi jadi petani untuk menghidupi keluarganya.
Aq ingat betul saat ada saudara sepupu (anaknya saudara ibu) yang bernama zulfa. Rumahnya tepat berdampingan dengan rumahku di kampung. Baru berumur 12 tahun atau baru kelas 4 SD harus sakit berbulan2 dan akhirnya harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gara2nya disantet oleh orang yang sakit hati yang kebetulan rumahnya masih satu kampung. Meninggalnya zulfa adalah rangkaian cobaan yang diterima keluargaku sejak lama. Santet seperti tak lelah oleh waktu. Bahkan sampai paklek yang di kampungku jadi guru pengajar silat setia hati terate harus meninggal karena santet jahanam itu.
Kondisi itu terus berlanjut hingga aq kelas 2 SMA di Jogja. Gara2 santet jahanam itu aq sampai tak bisa jalan sekitar 3 bulan. Tapi alhamdulillah aq bisa sembuh dan jalan lagi. Saat itu, yang ada dalam hatiku hanya dendam. "Mentang2 aq ga bisa apa2 seenaknya disantet. Apa urusannya ma aq. Toh dari SMP aq dah ga pernah menginjak kampung lagi. Urusan di kampung, ya di kampung. Ngapain aq yang sekolah di jogja dibawa2?. Awas kalau aq punya ilmu, pasti kuhabisi," kataku kesal setengah mati karena setiap jam 3 malam selalu saja datang orang berambut panjang mau mencekikku.
Tapi bapakku selalu bilang. Sabar! jangan dibalas. Gusti Allah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Pasrah saja kalau ada apa-apa. Begitu kata bapak selalu menasehatiku. Yang kemudian, ajaran sabar itu diperkuat saat aq belajar agama di Ambarawa. Pae selalu bilang: ojo dendam le! (jangan dendam anakku). Gusti Allah ngerti. Kita ga bales, nanti ada yang bales sendiri. Luwih apik njaluk ngapuro ning gusti Allah. Luwih apik ngresi'i ati nganggo sholat lan zikir. Wong sing sregep zikir kuwi koyo koco. Bening ga iso ditembus opo2. Kata pa'e tak henti2nya menasehatiku untuk bisa sabar dan menghilangkan segala dendam.
Setahun kemudian, aq dengar kabar, orang yang suka nyantet keluargaku masuk rumah sakit. Tiap menjelang magrib selalu teriak minta tolong. Katanya ada ratusan anak kecil yang akan mencekiknya. Masya Allah. Kasian juga ya. Saat orang itu sakit, ibuku yang selalu sabar menunggui di rumah sakit. Tak henti2nya ibu bilang, keluarga sudah memaafkan. Cepat sembuh dan bisa kembali pulang. Tapi orang itu selalu saja minta2 maaf. Katanya badannya menggigil kedinginan. Tapi kadang juga kepanasan.
Yakin, ihlas, pasrah dan sabar. Yakin bahwa segala sesuatu itu pasti terjadi atau tidak terjadi karena Gusti Allah. Ihlas, pasrah dan sabar bahwa segala sesuatu itu terjadi karena Gusti Allah menghendaki untuk kebaikan dan kemanfaatan kita. Jika tidak hari ini, berarti esok atau di masa yang akan datang. Empat landasan itu bagiku sangat pokok. Jika ibadah ritual kita selama bulan suci ramadhan tidak didasari empat hal itu, kita tak lebih seperti mengirimkan surat tanpa prangko.

Karena barangkali, Gusti Allah tidak hanya melihat seberapa besar kuantitas kita beribadah, tapi barangkali juga Gusti Allah menilai seberapa besar kualitas kita beribadah. Jadi, bagi kalian yang tidak punya waktu saat pagi, siang atau malam untuk beribadah, kapanpun itu, sekecil apapun itu, jika masih ada kebaikan, Gusti Allah tak pernah lengah mencatatnya. (waman yakmal misqola zarrotin khoiroy yarroh. waman yakmal misqola zarrotin sarroy yaroh).

Cawang, 30 Agustus 2008.

3 komentar:

samsulbahri mengatakan...

"Kemanapun kau hadapkan wajahmu, di situ ada wajah-Nya." Tak perlu tasbih untuk mengingatNya, kawan. Cukuplah keyboard komputer itu saja yang jadi tasbihmu. Selamat Puasa. Hidup di jalanan dengan tugasmu terlalu keras, kawan. Apalagi bulan puasa begini. Tetaplah kuat,,, Jika tidak kuat, Allah memberi keringanan membatalkan puasa. Bisa diganti di lain hari. "Faman kana min kum maridh au 'ala safar... fa'iddatun min ayyamin ukhar.."

Ibnul A'robi mengatakan...

Thanks kawan. Andai qta tahu cara berpikir Tuhan, mungkin qta akan berdialog, via blog barangkali. Jika qta terjepit pada kondisi seperti itu, apakah cara seperti bisa dibenarkan untuk mencapai jalan-Nya menuju ridho-Nya. Atau barangkali, Tuhan masih tetap ekstrim dengan tetap mengacu hukum2 syariat. Wallahu a'lam bissowab

samsulbahri mengatakan...

Tuhan selalu bertindak menurut apa yang kita pikirkan tentangNya, kawan.