17 September 2008

Jakarta Berlendir, Pasuruan Berdarah!


Miris sekaligus ironis. Pada saat DKI Jakarta digemparkan isu maraknya pesta tarian telanjang (striptis), di Pasuruan digemparkan kabar ribuan ibu rumah tangga rebutan zakat Rp 30 ribu dari pengusaha dermawan Haji Syaikhon, 55, dan berujung pada kematian. Sebanyak 21 ibu dinyatakan tewas setelah terinjak-injak ribuan ibu-ibu yang lain. Sementara satu orang kritis dan 12 luka-luka. Headline Harian INDOPOS, 15, 16, 17 September 2008.
Pada saat ribuan warga Pasuruan tengah berjuang meregang nyawa demi mendapatkan zakat untuk tambahan belanja itu, justru di Ibukota, ribuan warga tengah berpesta mengumbar syahwat selangkangan dengan tarian telanjang di puluhan diskotek, bar dan pub. Botol-botol miras yang harganya ratusan ribu hanya sekali teguk habis mengiringi rayuan lelaki hidung belang yang menggeliat-geliat bersama para lonte di atas ranjang empuk. Bulan Ramadhan tak menjadi halangan untuk tetap melepaskan nafsu syahwat itu. Toh mereka punya duit melimpah. Mau lonte mana tinggal tunjuk jari. Mulai dari cungkok, lonte impor dari timur tengah hingga lonte rasa lokal. Diskotek Zen di Menara Thamrin terhitung yang paling sial karena harus diobrak abrik petugas dan dicabut izinnya. Sudah menjadi rahasia umum, aparat mengamuk jika tak dapat setoran, kurang setorannya atau telat setorannya. Yang benar pun bisa jadi salah, apalagi yang jelas2 melanggar aturan. Pasti disikat habis.
Sementara tempat2 pengumbar syahwat lain yang tak kalah sialnya seperti Moon Light Bar Jalan KH Mas Mansyur, Club 36 Bar Jalan Hayam Wuruk, Puri Spa Griya Pijat Jalan Puri Kencana, Karaoke Tematik Jalan Jembatan Tiga, Griya Pijat Bamboo di Ruko Mangga Dua serta Resto & Bar Red di Plaza Senayan. Semuanya terpaksa disegel paksa karena membangkang dan menodai bulan suci Ramadhan.
Sedangkan yang masih beruntung dan hanya mendapatkan peringatan seperti Karaoke Milenium Jalan Gajah Mada, Malio Bar Jalan Gajah Mada serta Cafe Bengkel di Sudirman Center Bussiness District (SCBD).
Perbedaan ekstrim itu tentu membuat siapapun miris. Jika dilihat secara seksama, ada kesamaan modus antara kejadian pesta striptis di Ibukota dengan rebutan zakat di Pasuruan yang berujung kematian.
Jakarta mengumbar syahwat karena berlimpah rupiah hingga menerabas aturan yang ada. Sementara di Pasuruan, ribuan orang kalap lantaran mencari segelintir rupiah untuk kebutuhan rumah tangga. Dua kesamaan sekaligus perbedaan yang sangat ekstrim. Demi Rp 30 ribu rela berjuang mati-matian hingga mati beneran. Perjuangan yang begitu berat. Mungkin qta maklum. Jika tidak ikut antre sekarang, kapan lagi bisa membelikan makanan enak atau baju baru buat anaknya. Maka, tak heran jika sejak sahur pun antrean di depan rumah Haji Syaikhon sudah memanjang. Halaman rumah pengusaha dermawan itu sudah berubah menjadi terminal atau stasiun tempat berkumpulnya orang miskin yang berusaha mencari sedikit rupiah demi kelangsungan hidup keluarganya. 5 ribu warga miskin tumplek blek menunggu uluran Rp 30 ribu.
Sementara di DKI, pesta striptis melambangkan sebaliknya. Pesta membuang jutaan, miliaran rupiah hanya demi memuaskan nafsu syahwat yang berakhir di ranjang setelah muncratnya setetes sperma dari kemaluan laki2 atau mengejangnya seorang perempuan setelah berpeluh keringat dosa. Simbol kemapanan yang kebablasan tanpa moral. Sudah dapat harta, tahta, kalau bukan wanita apalagi yang dicari. Alih2 memikirkan keluarga di rumah, justru menghancurkan pondasi keluarga atau menggerogoti bahtera rumah tangga yang lambat laun menjadikan akar terjadinya broken home.
Sementara di Pasuruan, yang berjuang melawan maut untuk mendapatkan Rp 30 ribu bukanlah kaum lelaki. Tapi justru kaum perempuan. Dari balita hingga tua renta. Lalu kemana suami mereka? tentu saja kerja di sawah, kebon, pasar, cari rupiah demi sesuap nasi. Kalau hanya untuk menyambung hidup, duit darimana untuk membelikan baju baru anak2nya ketika Lebaran tiba. Apa tidak kasihan pada saat teman sebayanya pakai baju baru sementara anaknya hanya memakai baju lusuh. Meskipun agama telah mengajarkan bahwa yang disebut Lebaran bukanlah pakai baju baru, tapi hati baru, jiwa baru setelah sebulan penuh bertaubat mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Tapi siapa yang peduli. Budaya tetaplah budaya. Biarpun sebulan tak pernah puasa, begitu Lebaran datang, wajib hukumnya pakai baju baru, makanan baru.
Dua kejadian itu seharusnya menjadi cermin bagi pemegang kebijakan negeri ini. Bahwa, ketimpangan di negeri ini sudah sangat akut. Antara yang kaya dan miskin seperti bumi dan langit. Masih beruntung tidak terjadi aksi anarkhisme macam pemberontakan kaum proletariat karena kecemburuan sosial. Apa jadinya jika kelompok yang kaya itu terus mengumbar nafsu tanpa sedikitpun memperdulikan sesamanya yang kelaparan. Apakah kerusuhan 97-98 yang menjadi cermin kecemburuan sosial begitu saja terlupakan. Bukankah luka itu belum sepenuhnya sembuh! Ketika pribumi yang mewakili rakyat jelata mengamuk dan membumihanguskan kelompok cina yang diklaim mewakil dari kaya raya yang suka monopoli.
Jika tidak bisa mengentaskan kemiskinan, setidaknya, buatlah regulasi yang baik. Tepis habis jurang ketimpangan itu. Karena letupan2 kecil bukti kecemburuan itu hingga saat ini terus meluas, mengakar dan siap meledak setiap saat jika tidak buru2 dijinakkan.
Wahai pembuat kebijakan negeri ini! mana tim geganamu yang akan memutus kabel-kabel bom ketimpangan itu. Karena waktu tidak berhenti dan terus berjalan. Tik..tik..tik..tik..tik.. Buuuuuuuuum!

Ulujami, 17 September 2008

13 September 2008

Demi Oma, Najwa Kecilku Naik Angkot Ngebul..


Seharian kemarin aq mengajak si kecil Najwa Syifa jenguk omanya di Bekasi. Dari sejak Kamis (11/9) pagi hingga sore, telepon terus berbunyi yang mengabarkan mama sakit. Nyonya Klementin adalah mama kandung istriku Shelvia Jaflaun. Usianya kini sekitar 80 tahunan. Suaminya sendiri, ayah kandung istriku pak Arie Arche Jaflaun sudah lama dipanggil Yang Kuasa. Tepatnya setelah pak Frans Seda lengser dari Menteri Perhubungan. Kebetulan saat itu pak Arie adalah sekprinya. Sejak lengser itulah, pak Arie mulai sakit-sakitan. Tidak hanya karena usia, tapi juga karena kecapaian barangkali. Bisnis kopra yang sejak lama dirintis pun mulai ambruk karena ga ada yang ngurusi. Semasa hidupnya, pak Arie menikahi empat perempuan. Hingga saat ini, yang masih bertahan hidup hanya dua orang. Mama Bogor yang menjadi istri ketiga dan mama Bekasi yang menjadi istri keempat atau terakhir. Dari istri terakhir itulah lahir istriku Shelvia Jaflaun, Marselino Meluwar, Olivia Jaflaun dan Irene Jaflaun. Yang aq salut, dari dua perempuan istri pak Arie itu, keduanya sangat akrab.
Meskipun sudah tua renta, cintanya kepada suaminya masih terlihat menyala-nyala. "Itu pak arie arche datang," kata mama Bogor mengigau suatu waktu saat kami berkunjung ke Pagelaran, Ciomas, Bogor. Ucapan itu terus menjadi bayang2 pikirannya di saat memasuki usia uzur. Bahkan, saking cintanya, surat cinta yang dikirimkan pak arie hingga saat ini masih disimpan rapat2.
Begitu juga dengan mama Bekasi. Cintanya kepada pak Arie juga tak pernah memudar. Setiap kami datang, ingatan yang terbayang selalu lelaki kriting berwajah indo itu. Maklum, konon kabarnya, kakek istriku dari Belanda. Sedangkan istrinya dari penduduk lokal Ambon.
"Ibu harus datang ke Bekasi secepatnya. Nyonya Klementin darahnya naik terus," kata suara dari seberang lewat telepon kepada istriku. Suara pagi hari itu kembali dipertegas pada sore harinya.
Mendengar kabar mamanya sakit, istriku panik. Tapi aq bilang, ga papa ke Bekasi. Tapi harus ada temannya. "Telpon ina atau kakmino biar nemenin. Masak tega si kecil sendirian naik bus kota ke Bekasi," kataku. "Bilangin, tar qta yang ongkosin transport dan biaya obatnya mama. Cuma nemenin doang," kataku lagi. Sebab, pada hari biasa, aq belum bisa beranjak kemana2 sebelum brita beres. Biasanya sekitar pukul 18.30. Tapi ga mungkin jam segitu harus ke Bekasi nemenin istriku.

Tapi apa mau dikata. Dari hasil percakapan di telepon, kakmino katanya ga bisa karena harus masuk pagi mpe sore. Irene alias ina gendut juga bilang ga da waktu karena lagi syuting jadi figuran di Puncak karena nutup biaya kontrak rumahnya. Sementara Opi sangat ga mungkin karena baru saja melahirkan. "Trus piye, kalau anaknya ga ada yang punya waktu, saudara-saudara kandungnya ga ada yang peduli, ya siapa lagi kalau bukan qta yang harus ke sana," kataku singkat. Awalnya istriku mau nekad berangkat ke Bekasi sendirian ditemani si kecilku Najwa Syifa yang baru berumur 1,5 bulan. Tapi aq bilang jangan. "Tar ayah usahain. Habis door stop gubernur ato wagub langsung qta mluncur ke Bekasi," kataku mencoba mencarikan solusi.
Sialnya, Jumat pagi itu, semua pejabat Pemprov DKI lagi pergi ke Pulau Seribu. Dari Pak Kumis (sebutan gubernur), wagub hingga sekda. Balaikota sepi melompong. Trus piye?
Kuputuskan untuk menunggu seraya memilah2 isu apa yang teraktual hari ini yang bisa dirunning tanpa menunggu mereka. Pukul 14.00, semua bahan brita sudah beres. Aq langsung meluncur balik arah ke Ulujami untuk jemput istriku. Kami memutuskan naik bus metromini 609 jurusan Meruya-Blok M. Bus melaju sangat pelan dengan suara yang cukup bersik. Tidak hanya karena jalan yang bergelombang, tapi juga karena sejumlah komponen bus yang menurutku sudah banyak yang tidak layak. Sebentar-bentar bus berhenti. Sopir pun begitu cuek berhenti di tengah jalan sambil mencari2 penumpang seraya mengobrol dengan orang yang duduk di bangku paling depan. Sementara di belakang bus, sepeda motor, mobil terus mengklakson kesal. Dalam bus, aq sendiri juga ingin emosi. Oh seperti ini kelakuan para sopir bus kota atau angkot yang tiap hari bikin macet Jakarta itu. Inginku mengumpat, tapi kutahan. Aq mencoba menengok Najwa Syifa anakku. Dari balik gendongan tertidur pulas. Istriku hanya ketawa kecil. "Ini namanya bus kota anakku. Berisik, berasap, panas dan berdesakan," katanya.
Sepanjang perjalanan menyusuri jalan raya Ciledug-Blok M, kemacetan seperti tak pernah henti2nya. Yang membuat jengkel, begitu sampai di flyover Pasar Kebayoran Lama, semua penumpang disuruh turun dan dioper dengan bus di belakangnya. Tidak hanya aq atau istriku yang tambah kesal, seluruh penumpang juga pada protes. Pukul 15.00, kami sampai di terminal Blok M. Bau asap bus kota mulai tercium. Dari paling belakang hingga di ujung paling depan, semua bus saling berlomba mengeluarkan asap tebal diiringi raungan suara bus yang memekakkan telinga. Dari trotoar, kami berlari2 kecil mencoba menghindari asap, berhasil melewati satu bus, di depan bus sudah menunggu dengan asap menyengat. Jika dihitung ada sekitar 30 barisan bus di sisi kanan yang semuanya mengeluarkan suara bising dan asap tebal.
Kulihat sekeliling, para calon penumpang lain yang juga tengah berjalan kaki mencari bus tujuannya juga pada tutup hidung. Aq langsung menegur istriku untuk mempercepat jalannya seraya menutup rapat wajah anakku. Rambut anakku juga terlihat basah dengan keringat. Aq hanya mengusapnya dengan tangan. Tapi tampaknya Najwa kecilku tak terganggu dengan berantakannya Kota Jakarta. Setelah naik bus besar, perasaan sedikit lega. Tapi baru 5 menit perjalanan, dua orang preman masuk ke dalam bus. Tangannya bertato, suaranya cadel. Bukan untuk mengamen, tapi menurutku untuk merampok secara halus. "Saya tidak ingin ada penumpang di bus ini yang menyombongkan diri. Saya tidak mau mengemis, tapi saya meminta kerelaan para penumpang sekalian menyisihkan recehannya," katanya dengan diselingi racauan tak jelas. "Daripada saya merampok bapak ibu sekalian, lebih baik saya meminta baik2," katanya lagi setengah mengancam.
Emosiku mendadak naik drastis mendengar ancaman itu. Inginku berdiri untuk menggampar wajah dua preman itu. Kalau perlu kutikam biar mampus. Tapi niat itu aq urungkan setelah melihat Najwa kecilku terengah2 kepanasan dalam bus. Istriku yang mengalah dengan memberinya uang ribuan. "Kemana Pak Chairul(Kapolres Jaksel). Mahasiswa demo aj dibabat, preman2 setan seperti ini dibiarkan berkeliaran. Ato jangan2 die takut.. ato justru emang dipelihara!, " kataku dalam hati geram. Satu jam perjalanan, sekitar pukul 16.30, kami sampai di Bekasi. Di kamar, mama terlihat sangat lemas. Istriku langsung menubruk mamanya dan menciuminya. Anakku juga langsung didekatkan ke wajah omanya yang sedang terbaring di atas ranjang. Senyum mulai mengembang di bibir perempuan rambut putih itu. Istriku langsung menyerahkan uang untuk beli obat kepada perempuan yang merawatnya. Sementara Najwa aq gendong dan bercanda2 dengan omanya. "Rambutnya keliting kayak omanya...persis banget...," kata istriku memecah suasana.

Kami pun gantian, selama istri dan anakku bersenda gurau dengan omanya, aq keluar untuk menuntaskan brita yang belum aq ketik. Begitu azan magrib tiba, aq hanya minum air mineral dan mengambil sebatang rokok untuk kemudian melanjutkan ngetik via hp kembali. Pukul 20.00, kami memutuskan untuk pamit kembali ke Jakarta. Bergantian kami pamitan dengan mama. Istriku mendekatkan anakku di dada omanya. Anakku tidak banyak bergerak dengan menendang2kan kakinya seperti biasa. Omanya memeluk dengan erat. Dari bibir mungil anakku terdengar suara meracau seperti mengatakan sesuatu. Setelah pamitan, kami terpaksa ke terminal naik ojek. Soalnya, jam segitu angkot sudah tak ada yang lewat. Berbeda dengan saat berangkat, saat pulang itu, suasana terasa sangat nyaman. Para pengamen yang datang silih berganti terlihat sangat sopan. Lagu2 yang dinyanyikan juga banyak yang hit. Salah satu lagu yang aq suka dan dinyanyikan oleh pengamen lagunya ST 12. Kontan para penumpang tak henti2nya mengulurkan recehannya seraya memberi komentar. "Untungnya bukan Aris (indonesian idol)...coba kalo aris, gw kasih lebih dech," kata salah seorang penumpang. Dengan suara mendayu2 dan penuh penghayatan, membuat anganku melayang. Perempuan cantik yang duduk di depanku yang sedang bercakap2 dengan pacarnya semakin menambah warna dalam lamunanku. Teringat saat jatuh cinta dulu. Begitu syahdu, bahagia, senang bukan kepalang, sedih banget atau putus asa.
Tak terasa, bus sudah sampai di terminal Blok M. Kami turun dan kembali berjalan menuju tempat pintu keluar bus. Kali ini, asap bus lebih ganas. Baunya sangat menyengat, kebulannya terlihat di mana2. Hampir satu jam lebih kami harus berkubang dengan asap hitam itu. Pukul 22.00, kami baru dapet bus 609 jurusan Meruya. Buru2 kami masuk dan mencari tempat duduk. Bukannya lebih nyaman, justru di dalam bus kami semakin tersisa. Bus hanya melaju beberapa jengkal dan berhenti lagi. Asap tebal mengepul ke sisi kanan dan kiri bus yang kami tumpangi. Saking banyaknya, mata terasa sangat pedih. Para penumpang yang berada di dalam bus atau yang baru masuk bus juga menutup hidungnya dengan sampu tangan seraya mengernyitkan matanya atau sesekali mengusap matanya. Ada juga yang batuk2.
"Keterlaluan...terminal apa ini!" kataku mulai emosi lagi karena aq lihat anakku mulai rewel karena mungkin matanya ikut terasa pedih. "Katanya Dishub udah uji kir. Semua angkutan umum sudah lolos, bulshit...boooooong besaaaaaaaaaaar!...ngedabus, pejabat tukang tipu," kataku dalam hati marah besar.
Ada kurang lebih setengah jam kami harus bersabar dalam suasana yang sangat menjengkelkan itu. Apalagi ditambah perilaku sopir yang sengaja mengulur2 keberangkatan meski sudah gilirannya. Pukul 23.00 kami sampai rumah. Badan terasa pegal semua. Anakku masih tertidur pulas. Aq cium dan kubisikkan di telingannya. Jangan pernah lagi naik angkot atu bis kota nak. Jakarta sudah rusak. Rusak semuanya. Rusak bus kotanya, rusak pengusaha busnya, rusak juga pejabat yang mengeluarkan izin busnya. Astagfirullah hal adzim..kenapa aq ingin mengumpat terus. Maafkan aq ya Allah. Aq marah karena melihat bumi-Mu di rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab..

Ulujami, 13 September 2008

08 September 2008

Selamat Jalan Pak Tri !


Pukul 22.30 tadi ada sms yang masuk. Bunyinya sungguh mengejutkan. "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Pak Tri Semarang telah dipanggil Yang Kuasa siang tadi karena kecelakaan. Jasadnya langsung dikubur di Semarang,". Aq langsung lemas. Sejurus kemudian aq langsung telpon pae Ambarawa. Dari balik telepon aq dengar pae juga ikut lemas. "Mau diapain lagi le. Ancen wis wayahe,". (mau diapain lagi, kalau sudah waktunya). Kata pae singkat. Usaha pun tetap saja tak mampu menghentikan takdir Gusti Allah itu. Pak Tri harus menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah kecelakaan di tol Semarang siang tadi. Gara-garanya, sopir yang mengemudikan mobil dinasnya ngantuk. Pak Tri gagal diselamatkan dan langsung meninggal di tempat kejadian. Mobil ambulance yang membawanya ke rumah sakit hanya membawa kabar duka dengan mengangkut jasad tak bernyawa yang berlumuran darah. Sementara sopirnya hingga saat ini masih koma di rumah sakit.
Aq sungguh sangat menyesal belum sempat ketemu lagi sejak pertemuan terakhir di rumahnya saat lebaran 2006 lalu. Saat itu aq mau memperkenalkan Shelvia Jaflaun ke keluarga Tuban. Tapi karena Pae Ambarawa menyuruh mampir di Ambarawa, kami berdua terpaksa turun Stasiun Tawang. Saat itu azan subuh baru berkumandang. Hujan rintik-rintik menyapa stasiun tua itu. Penghuni stasiun juga terlihat masih banyak yang meringkuk di sejumlah bangku stasiun. Hanya mak tua di pintu keluar yang terlihat aktiv berjualan nasi gudek dengan lauk ayam kampung. Kata mak, kami cukup bayar Rp 18 ribu untuk berdua. Setelah makan, kami jalan buru-buru mencari komplek perumahan pegawai kereta api. Hanya berjalan beberapa blok ke arah selatan, persis di belakang masjid, rumah Pak Tri berada. "Patokannya ada kijang warna coklat le," kata pae waktu itu.
Dengan mata masih ngantuk, Pak Tri membukakan pintu dan menerima kami dengan hangat. Setelah menunggu subuh selesai, kami diantar ke Ambarawa tempat pae tinggal. Karena buru2, kami menolak untuk menunggu dibuatkan sarapan. Dalam perjalanan menunju Ambarawa, kami sempat makan ketan dan soto gading di warung di dekat pematang sawah. Kami saling berebut menghabiskan sate usus dan sate daging. Waktu itu aq bilang kalau aq mau memperistri Shelvia Jaflaun. Tapi sebelum menikah, aq bilang biar perempuan Ambon itu belajar agama di Ambarawa dulu. Setelah menguasai agama biar pae yang memperkenalkan kepada orangtuaku di Tuban. Saat itu Pak Tri hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya mengelus2 jenggkot tiga biji kesayangannya. "Ya, bagus itu," katanya singkat.
Untuk memberikan support atas niatku, Pak Tri bahkan sempat cerita bagaimana dia ditentang mertuanya selama bertahun2. Bahkan, karena perkawinannya, musibah datang silih berganti. Pasti ada saja yang meninggal atau sakit2an tak wajar. Gara2 mo nemui calon istri pernah nyaris mau digilas kereta api. Tapi selamat karena terpeleset. Tuturnya saat itu.
Sosok Pak Tri memang sangat sederhana. Dia selalu menyebut dirinya kiai gatak. Atau orang yang suka keluyuran. Dia juga suka menyebut dirinya sunan kalijogo versi baru. Di antara murid2 pae yang ada, Pak Tri termasuk senior. Atau sahabat dekatnya pae bersama Pak Zaenal. Bersama Pak Zaenal, Pak Tri selalu mendampingi perjuangan pae menyebarkan agama kepada orang-orang yang dulu rata-rata mantan tahanan yang baru keluar dari penjara. Pak Tri termasuk murid yang paling cerdas, paling rajin dan memiliki loyalitas yang cukup tinggi. Rasa pasrahnya kepada Yang di Atas melebihi murid2 pae yang lain. Yang aq salut dari Pak Tri, mudah membaca tanda2 alam. "Kalau begini, itu artinya seperti ini".Contoh, kalau kemana2 lihat mobil merek nissan, atau kok sering mau menabrak mobil nissan saat di jalan, itu artinya suruh hati2. Peringatan, kalau bepergian dilarang jauh2. Karena, jika tidak akan menemui nissan di kuburan. Yang berarti meninggal.
Jika qta lagi ngumpul2, Pak Tri banyak membagi ilmunya kepada kami. Bagaimana cara membaca tanda yang dikirimkan Gusti Allah. Karena, dalam keyakinan Pak Tri, tanda yang dikirimkan itu bentuknya sangat konkret. Melalui malaikatnya. Malaikat dalam bentuk nyata. Bagi Pak Tri, malaikat itu bukan hanya seperti yang sering diajarkan di pesantren2 atau mushola2. Bahkan, di alam nyata pun, banyak malaikat betebaran. Yang disebutkan dalam pelajaran agama itu malaikat yang memiliki derajat yang paling tinggi. Sementara malaikat yang memiliki derajat di bawahnya ada di dunia ini. Apakah itu, pohon, tumbuh2an, binatang, hujan, angin, batu dan apapun yang ada di dunia ini. "Maka jangan dikira mereka itu tidak bisa bicara. Mereka juga hidup dengan caranya sendiri. Moko soko iku, ojo pernah ngremehno," katanya menasehati.
Pak Tri selalu menasehati, Gusti Allah itu ga akan menyesatkan hambanya. Semakin bersih hati seseorang, akan semakin mudah membaca pesan yang dikirim Gusti Allah. Jika qta bisa membaca tanda2, insya allah kita akan selamat. Begitu kata Pak Tri.
Waktu masih tugas di Bogor tahun 2005 dulu, semalaman aq sama Pak Tri begadang belajar memahami tanda2 alam. Saat itu dia bercerita kalau aq sedang dicari seorang perempuan paroh baya bersama putrinya. Mereka dari keluarga keraton yang memiliki rumah panggung. Kata Pak Tri, mereka telah mencariku sejak lama. Dia tahu aq, tapi aq ga tahu dia. Begitu kata Pak Tri bikin aq pusing. Belakangan aq ketahui, yang dimaksud keluarga keraton itu adalah keluarga istriku yang di Ambon masih ada darah keraton dengan wilayah kekuasaannya key kecil. Istriku juga pernah bercerita saat kali pertama menginjakkan kakinya di kampung halamannya dulu, langsung disambut hujan petir. Padahal, langit sedang terik2nya. Itu kata orang sana, hanya terjadi ketika ada orang baru masuk kampung ada keturunan keraton.
.
Pak Tri pernah berpesan, suatu saat aq pasti juga akan mengemban beban berat untuk menjadi penyebar agama. Tentunya dengan cara yang berbeda. Mbah Ran, gurunya maskin juga bilang begitu. Tapi berulang2 aq bilang, seumur2 aq ga bakalan mau jadi kiai. Aq cuma mau jadi diriku sendiri. Bisa mendekatkan diri dengan Gusti Allah, menjadi orang yang bersih, kaya raya, bisa membantu orang lain, punya panti asuhan dan sekolahan, tapi yang mengelola orang lain. Sementara aq sebagai donatur utamanya. Itu juga yang pernah aq ucapkan ke Udin, adik sepupuku yang jebolan pesantren. "Besok kalau aq kaya raya, kamu aq buatin pesantren tapi kamu yang jadi kiainya ya Din," kataku saat itu. Khayalanku selalu aq setting seperti itu karena banyak orang bilang ada darah dalam diriku menjadi seorang ulama besar. Tapi setiap ada orang bilang, aq selalu menjawab, no way!.
Kini Pak Tri telah tiada. Banyak kenangan yang tertinggal. Banyak pelajaran yang belum sempat aq serap. Banyak pelajaran yang belum aq mengerti. Tapi sesal tiada guna. Aq harus bisa meneruskan amanat perjuangannya.
Terima kasih Pak Tri atas rokok Djarum 76-nya. Di akherat kelak nanti kita akan nyete (rokok yang diolesi ampas kopi) bareng lagi. Tapi saat ini, doakanlah aq bisa hidup seribu tahun lagi. Agar perjuangan yang belum tertuntaskan bisa segera dibereskan. Terima kasih Pak Tri atas nasehatnya and jok2 religinya. Terima kasih Pak Tri atas dukungannya. Semoga engkau bahagia di sisi-Nya. Amin.

Ulujami, saat terkenang seorang guru, kawan, sahabat dan orangtua yang telah dipanggil oleh-Nya, 7 September 2008.

05 September 2008

Susahnya Bisa Mudik


Bagi para pendatang, memasuki bulan puasa, rasa senang dan susah campur aduk menjadi satu. Ada kebahagiaan karena sebentar lagi akan mudik pulang kampung bertemu sanak keluarga yang telah lama ditinggalkan. Namun, rasa kebahagiaan itu juga bercampur rasa susah mengingat mudik masih manjadi tradisi tahunan yang sudah mengakar. Jika tidak mudik, banyak pertanyaan yang akan muncul. "Anakku kenek opo kae ning Jakarta kok ga mulih". atau "coba kangmasmu telponen kok gak mulih kenek opo kae". Kata-kata itu akan selalu muncul jika saat lebaran tiba ada anggota keluarga yang pergi jauh berkelana tak pulang kampung. Maka, tak heran, mudik akhirnya menjadi tradisi yang terus turun temurun. Karena, mudik sekaligus juga sebagai ajang ngumpulno balung pisah. Ajang silaturahim dan kumpul2 bersama keluarga. Dari manapun asalnya, sejauh apapun mencari nafkahnya, begitu lebaran tiba harus pulang untuk kumpul bersama keluarga. Karena mudik juga sebagai titik nadir setelah kita lelah bekerja. Maka, setiap akan libur tahunan, momen mudik akan selalu menjadi incaran. "Ce'e kebangeten pyan iku. Sekali setahun ae ga mulih rek," kata orang malang.
Praktis, mudik bagi siapapun yang berkelana memiliki arti penting untuk menjaga sebuah hubungan kekerabatan. Mengobati rasa kangen yang begitu lama terpendam. Sekaligus sebagai ajang untuk saling bertukar cerita selama setahun merantau dengan orangtua, saudara kandung, nenek, kakek, paklek, bulek dan sebagainya.
Maka, karena itu pula, bagi para perantau, mudik memiliki beban berat. Kenapa? karena pulang ke kampung halaman berarti harus membawa kabar baik. Kabar kesuksesan di negeri rantau. Bagi yang sukses, seribu cerita akan terdengar hingga satu kampung yang tertular dari mulut ke mulut. Bagi yang terprovokasi imbasnya usai lebaran akan nekad ikut pergi ke kota untuk mengadu nasib. Urbanisasi besar-besaran pun terjadi. Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya dari tahun ke tahun terus kedatangan orang kampung yang terprovokasi kesuksesan itu. Padahal, mereka tidak tahu, betapa berat hidup di Ibu Kota. Betapa berat hidup di kota besar tanpa jaminan dan kepastian pekerjaan yang mapan. Atas dasar itu pula, banyak di antara para perantau yang malu untuk pulang kampung karena belum sukses (untuk tidak menyebut tidak suskes).
Aq teringat saat kecil dulu. Setiap lebaran tiba, orang-orang kampungku yang merantau di Surabaya pulang ke desa mendapat sambutan hangat. "tas mudun..tas mudun..". Begitu orang kampungku menyebut bagi warga perantau yang baru kembali. Mereka berbondong-bondong turun dari bis lalu naik becak menuju kampung. Ciri-cirinya, mereka berpakaian necis dengan menenteng kardus bertumpuk-tumpuk entah apa isinya. Begitu lebaran tiba, sambil berkeliling kampung bersalam-salaman, cerita wah seputar kota besar mulai terdengar. Di gang-gang atau tempat tongkrongan selalu menjadi pusat bercerita seputar kesuksesan di kota besar. Tidak hanya pemudik, orangtua pemudik juga ikut menjadi penyebar kesuksesan itu dengan menunjukkan kalung, gelang berlian yang bergelantungan di tubuhnya.
Setelah besar, selidik punya selidik, aq mencoba mencari tahu apa sebenarnya pekerjaan para perantau di kampungku itu. Ternyata, mereka tak lebih hanya buruh bangunan, sopir atau pembantu rumah tangga. Meskipun ada juga yang memiliki pekerjaan mapan.
Saat main ke Tangerang beberapa bulan yang lalu, aq ketemu tetangga sekampung. Roni alias Congek orang2 menyebutnya. Dia teman sebayaku saat di kampung yang juga adik kelasku satu tingkat saat SD dulu. Rumah orangtuanya di kampung hanya beberapa blok dari rumahku. Sejak kali pertama merantau, hanya tiga bulan mendapat pekerjaan di pabrik kertas. Setelah itu kontrak diputus dan seterusnya menganggur. Untuk bisa hidup sehari2 terpaksa mengamen. Saat itu aq tanya kenapa tidak mudik, jawabannya persis seperti yang aq duga. Malu ama keluarga katanya. Ga bisa bawa apa-apa untuk diberikan orangtua. Jika terpaksa mudik pun terpaksa berbohong dengan mengarang cerita apapun untuk tidak membuat malu keluarga di kampung.
Di balik mudik memang ada beban berat yang harus dipikul. Jangankan memikirkan sukses atau tidak selama merantau di kota besar, untuk cari tiket saja susah. Pagi, siang, malam banting tulang untuk ngumpulin duit untuk biaya transport. Eh, begitu terkumpul kebingungan cari angkutan. Semua ludes. Pesawat, kereta api, bus, kapal laut tak ada yang tersisa. Jika adapun untuk bisa mendapatkannya harus antre berjam2 dengan harga selangit.
Tiap hari aq pantau, seluruh stasiun di Jakarta seperti Gambir, Senen, Jakarta Kota penuh sesak antrean calon pemudik yang antre mau beli tiket. Bahkan, cerita kekecewaan sudah menjadi sangat biasa. Usai antre berjam2, begitu sampai depan loket, tiket sudah ludes. Begitu juga di Pelabuhan Tanjung Priok. Ribuan pemudik yang akan menuju luar jawa juga membanjiri seluruh lorong. Sejumlah terminal seperti Pulogadung, Kampung Rambutan juga tak henti2nya diserbu para pemudik. Calo yang mengumbar tiket dengan harga semau dengkulnya juga menjadi cerita pemanis yang bikin hati semakin pilu. Sementara maskapai penerbangan di Bandara Soekarno Hatta tak mau kalah sibuk bersaing menaikkan harga tiket tinggi2an.
Mudik memang unik. Menyimpan sejuta rahasia, asa dan putus asa.

Karena, mudik bagi para perantau adalah perjuangan. Terutama bagi para buruh, pekerja yang penghasilannya pas pasan. Bagi kalangan ini, mungkin Tuhan akan menilai lain. Mudik bukan hanya sekadar mudik. Tapi sebuah ibadah.

Ulujami, 5 September 2008