17 September 2008

Jakarta Berlendir, Pasuruan Berdarah!


Miris sekaligus ironis. Pada saat DKI Jakarta digemparkan isu maraknya pesta tarian telanjang (striptis), di Pasuruan digemparkan kabar ribuan ibu rumah tangga rebutan zakat Rp 30 ribu dari pengusaha dermawan Haji Syaikhon, 55, dan berujung pada kematian. Sebanyak 21 ibu dinyatakan tewas setelah terinjak-injak ribuan ibu-ibu yang lain. Sementara satu orang kritis dan 12 luka-luka. Headline Harian INDOPOS, 15, 16, 17 September 2008.
Pada saat ribuan warga Pasuruan tengah berjuang meregang nyawa demi mendapatkan zakat untuk tambahan belanja itu, justru di Ibukota, ribuan warga tengah berpesta mengumbar syahwat selangkangan dengan tarian telanjang di puluhan diskotek, bar dan pub. Botol-botol miras yang harganya ratusan ribu hanya sekali teguk habis mengiringi rayuan lelaki hidung belang yang menggeliat-geliat bersama para lonte di atas ranjang empuk. Bulan Ramadhan tak menjadi halangan untuk tetap melepaskan nafsu syahwat itu. Toh mereka punya duit melimpah. Mau lonte mana tinggal tunjuk jari. Mulai dari cungkok, lonte impor dari timur tengah hingga lonte rasa lokal. Diskotek Zen di Menara Thamrin terhitung yang paling sial karena harus diobrak abrik petugas dan dicabut izinnya. Sudah menjadi rahasia umum, aparat mengamuk jika tak dapat setoran, kurang setorannya atau telat setorannya. Yang benar pun bisa jadi salah, apalagi yang jelas2 melanggar aturan. Pasti disikat habis.
Sementara tempat2 pengumbar syahwat lain yang tak kalah sialnya seperti Moon Light Bar Jalan KH Mas Mansyur, Club 36 Bar Jalan Hayam Wuruk, Puri Spa Griya Pijat Jalan Puri Kencana, Karaoke Tematik Jalan Jembatan Tiga, Griya Pijat Bamboo di Ruko Mangga Dua serta Resto & Bar Red di Plaza Senayan. Semuanya terpaksa disegel paksa karena membangkang dan menodai bulan suci Ramadhan.
Sedangkan yang masih beruntung dan hanya mendapatkan peringatan seperti Karaoke Milenium Jalan Gajah Mada, Malio Bar Jalan Gajah Mada serta Cafe Bengkel di Sudirman Center Bussiness District (SCBD).
Perbedaan ekstrim itu tentu membuat siapapun miris. Jika dilihat secara seksama, ada kesamaan modus antara kejadian pesta striptis di Ibukota dengan rebutan zakat di Pasuruan yang berujung kematian.
Jakarta mengumbar syahwat karena berlimpah rupiah hingga menerabas aturan yang ada. Sementara di Pasuruan, ribuan orang kalap lantaran mencari segelintir rupiah untuk kebutuhan rumah tangga. Dua kesamaan sekaligus perbedaan yang sangat ekstrim. Demi Rp 30 ribu rela berjuang mati-matian hingga mati beneran. Perjuangan yang begitu berat. Mungkin qta maklum. Jika tidak ikut antre sekarang, kapan lagi bisa membelikan makanan enak atau baju baru buat anaknya. Maka, tak heran jika sejak sahur pun antrean di depan rumah Haji Syaikhon sudah memanjang. Halaman rumah pengusaha dermawan itu sudah berubah menjadi terminal atau stasiun tempat berkumpulnya orang miskin yang berusaha mencari sedikit rupiah demi kelangsungan hidup keluarganya. 5 ribu warga miskin tumplek blek menunggu uluran Rp 30 ribu.
Sementara di DKI, pesta striptis melambangkan sebaliknya. Pesta membuang jutaan, miliaran rupiah hanya demi memuaskan nafsu syahwat yang berakhir di ranjang setelah muncratnya setetes sperma dari kemaluan laki2 atau mengejangnya seorang perempuan setelah berpeluh keringat dosa. Simbol kemapanan yang kebablasan tanpa moral. Sudah dapat harta, tahta, kalau bukan wanita apalagi yang dicari. Alih2 memikirkan keluarga di rumah, justru menghancurkan pondasi keluarga atau menggerogoti bahtera rumah tangga yang lambat laun menjadikan akar terjadinya broken home.
Sementara di Pasuruan, yang berjuang melawan maut untuk mendapatkan Rp 30 ribu bukanlah kaum lelaki. Tapi justru kaum perempuan. Dari balita hingga tua renta. Lalu kemana suami mereka? tentu saja kerja di sawah, kebon, pasar, cari rupiah demi sesuap nasi. Kalau hanya untuk menyambung hidup, duit darimana untuk membelikan baju baru anak2nya ketika Lebaran tiba. Apa tidak kasihan pada saat teman sebayanya pakai baju baru sementara anaknya hanya memakai baju lusuh. Meskipun agama telah mengajarkan bahwa yang disebut Lebaran bukanlah pakai baju baru, tapi hati baru, jiwa baru setelah sebulan penuh bertaubat mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Tapi siapa yang peduli. Budaya tetaplah budaya. Biarpun sebulan tak pernah puasa, begitu Lebaran datang, wajib hukumnya pakai baju baru, makanan baru.
Dua kejadian itu seharusnya menjadi cermin bagi pemegang kebijakan negeri ini. Bahwa, ketimpangan di negeri ini sudah sangat akut. Antara yang kaya dan miskin seperti bumi dan langit. Masih beruntung tidak terjadi aksi anarkhisme macam pemberontakan kaum proletariat karena kecemburuan sosial. Apa jadinya jika kelompok yang kaya itu terus mengumbar nafsu tanpa sedikitpun memperdulikan sesamanya yang kelaparan. Apakah kerusuhan 97-98 yang menjadi cermin kecemburuan sosial begitu saja terlupakan. Bukankah luka itu belum sepenuhnya sembuh! Ketika pribumi yang mewakili rakyat jelata mengamuk dan membumihanguskan kelompok cina yang diklaim mewakil dari kaya raya yang suka monopoli.
Jika tidak bisa mengentaskan kemiskinan, setidaknya, buatlah regulasi yang baik. Tepis habis jurang ketimpangan itu. Karena letupan2 kecil bukti kecemburuan itu hingga saat ini terus meluas, mengakar dan siap meledak setiap saat jika tidak buru2 dijinakkan.
Wahai pembuat kebijakan negeri ini! mana tim geganamu yang akan memutus kabel-kabel bom ketimpangan itu. Karena waktu tidak berhenti dan terus berjalan. Tik..tik..tik..tik..tik.. Buuuuuuuuum!

Ulujami, 17 September 2008

3 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Selalu ada sisi lain di dunia ini, kawan.

Ibnul A'robi mengatakan...

Yup, so..? what ju gona do

samsulbahri mengatakan...

tentu saja berpihak kepada yang 'dikalahkan'...