05 September 2008

Susahnya Bisa Mudik


Bagi para pendatang, memasuki bulan puasa, rasa senang dan susah campur aduk menjadi satu. Ada kebahagiaan karena sebentar lagi akan mudik pulang kampung bertemu sanak keluarga yang telah lama ditinggalkan. Namun, rasa kebahagiaan itu juga bercampur rasa susah mengingat mudik masih manjadi tradisi tahunan yang sudah mengakar. Jika tidak mudik, banyak pertanyaan yang akan muncul. "Anakku kenek opo kae ning Jakarta kok ga mulih". atau "coba kangmasmu telponen kok gak mulih kenek opo kae". Kata-kata itu akan selalu muncul jika saat lebaran tiba ada anggota keluarga yang pergi jauh berkelana tak pulang kampung. Maka, tak heran, mudik akhirnya menjadi tradisi yang terus turun temurun. Karena, mudik sekaligus juga sebagai ajang ngumpulno balung pisah. Ajang silaturahim dan kumpul2 bersama keluarga. Dari manapun asalnya, sejauh apapun mencari nafkahnya, begitu lebaran tiba harus pulang untuk kumpul bersama keluarga. Karena mudik juga sebagai titik nadir setelah kita lelah bekerja. Maka, setiap akan libur tahunan, momen mudik akan selalu menjadi incaran. "Ce'e kebangeten pyan iku. Sekali setahun ae ga mulih rek," kata orang malang.
Praktis, mudik bagi siapapun yang berkelana memiliki arti penting untuk menjaga sebuah hubungan kekerabatan. Mengobati rasa kangen yang begitu lama terpendam. Sekaligus sebagai ajang untuk saling bertukar cerita selama setahun merantau dengan orangtua, saudara kandung, nenek, kakek, paklek, bulek dan sebagainya.
Maka, karena itu pula, bagi para perantau, mudik memiliki beban berat. Kenapa? karena pulang ke kampung halaman berarti harus membawa kabar baik. Kabar kesuksesan di negeri rantau. Bagi yang sukses, seribu cerita akan terdengar hingga satu kampung yang tertular dari mulut ke mulut. Bagi yang terprovokasi imbasnya usai lebaran akan nekad ikut pergi ke kota untuk mengadu nasib. Urbanisasi besar-besaran pun terjadi. Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya dari tahun ke tahun terus kedatangan orang kampung yang terprovokasi kesuksesan itu. Padahal, mereka tidak tahu, betapa berat hidup di Ibu Kota. Betapa berat hidup di kota besar tanpa jaminan dan kepastian pekerjaan yang mapan. Atas dasar itu pula, banyak di antara para perantau yang malu untuk pulang kampung karena belum sukses (untuk tidak menyebut tidak suskes).
Aq teringat saat kecil dulu. Setiap lebaran tiba, orang-orang kampungku yang merantau di Surabaya pulang ke desa mendapat sambutan hangat. "tas mudun..tas mudun..". Begitu orang kampungku menyebut bagi warga perantau yang baru kembali. Mereka berbondong-bondong turun dari bis lalu naik becak menuju kampung. Ciri-cirinya, mereka berpakaian necis dengan menenteng kardus bertumpuk-tumpuk entah apa isinya. Begitu lebaran tiba, sambil berkeliling kampung bersalam-salaman, cerita wah seputar kota besar mulai terdengar. Di gang-gang atau tempat tongkrongan selalu menjadi pusat bercerita seputar kesuksesan di kota besar. Tidak hanya pemudik, orangtua pemudik juga ikut menjadi penyebar kesuksesan itu dengan menunjukkan kalung, gelang berlian yang bergelantungan di tubuhnya.
Setelah besar, selidik punya selidik, aq mencoba mencari tahu apa sebenarnya pekerjaan para perantau di kampungku itu. Ternyata, mereka tak lebih hanya buruh bangunan, sopir atau pembantu rumah tangga. Meskipun ada juga yang memiliki pekerjaan mapan.
Saat main ke Tangerang beberapa bulan yang lalu, aq ketemu tetangga sekampung. Roni alias Congek orang2 menyebutnya. Dia teman sebayaku saat di kampung yang juga adik kelasku satu tingkat saat SD dulu. Rumah orangtuanya di kampung hanya beberapa blok dari rumahku. Sejak kali pertama merantau, hanya tiga bulan mendapat pekerjaan di pabrik kertas. Setelah itu kontrak diputus dan seterusnya menganggur. Untuk bisa hidup sehari2 terpaksa mengamen. Saat itu aq tanya kenapa tidak mudik, jawabannya persis seperti yang aq duga. Malu ama keluarga katanya. Ga bisa bawa apa-apa untuk diberikan orangtua. Jika terpaksa mudik pun terpaksa berbohong dengan mengarang cerita apapun untuk tidak membuat malu keluarga di kampung.
Di balik mudik memang ada beban berat yang harus dipikul. Jangankan memikirkan sukses atau tidak selama merantau di kota besar, untuk cari tiket saja susah. Pagi, siang, malam banting tulang untuk ngumpulin duit untuk biaya transport. Eh, begitu terkumpul kebingungan cari angkutan. Semua ludes. Pesawat, kereta api, bus, kapal laut tak ada yang tersisa. Jika adapun untuk bisa mendapatkannya harus antre berjam2 dengan harga selangit.
Tiap hari aq pantau, seluruh stasiun di Jakarta seperti Gambir, Senen, Jakarta Kota penuh sesak antrean calon pemudik yang antre mau beli tiket. Bahkan, cerita kekecewaan sudah menjadi sangat biasa. Usai antre berjam2, begitu sampai depan loket, tiket sudah ludes. Begitu juga di Pelabuhan Tanjung Priok. Ribuan pemudik yang akan menuju luar jawa juga membanjiri seluruh lorong. Sejumlah terminal seperti Pulogadung, Kampung Rambutan juga tak henti2nya diserbu para pemudik. Calo yang mengumbar tiket dengan harga semau dengkulnya juga menjadi cerita pemanis yang bikin hati semakin pilu. Sementara maskapai penerbangan di Bandara Soekarno Hatta tak mau kalah sibuk bersaing menaikkan harga tiket tinggi2an.
Mudik memang unik. Menyimpan sejuta rahasia, asa dan putus asa.

Karena, mudik bagi para perantau adalah perjuangan. Terutama bagi para buruh, pekerja yang penghasilannya pas pasan. Bagi kalangan ini, mungkin Tuhan akan menilai lain. Mudik bukan hanya sekadar mudik. Tapi sebuah ibadah.

Ulujami, 5 September 2008

2 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Saya heran, sejak kapan kita punya tradisi pulang kampung massal macam mudik begini. Apa sejak orang-orang desa pada mulai migrasi ke kota...? tahun berapa kira-kira tuh?

Ibnul A'robi mengatakan...

kalo qta sih memulai tradisi mudik tahun 2006 lalu pak. Soale 2005 harus piket, he..he..