24 Juni 2008

Pemprov DKI Menyimpang Rp 5,26 T


16 SKPD Masuk Daftar Hitam

Hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap laporan realisasi keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2007 sungguh mengejutkan. Ditemukan indikasi penyimpangan sebesar Rp 5,26 triliun. Headline Harian INDOPOS, 25 Juni 2008. Jumlah tersebut, dari jumlah total penemuan penyimpangan sebesar Rp 5,60 triliun. Namun, Pemprov sudah mengembalikan Rp 340 miliar. Sisa kekurangan hingga saat ini Rp 5,26 triliun belum dikembalikan kepada negara.
"Penyimpangan tersebut ditemukan di 16 satuan kerja perangkat daerah (SKPD)," ungkap Kepala Perwakilan BPK RI di Jakarta I Gede Kastawa usai rapat paripurna penyerahan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun anggaran 2007 di gedung DPRD DKI kemarin.
Dari 16 SKPD yang terindikasi melakukan penyimpangan tersebut, pada pemeriksaan semester I mulai Januari hingga Juni terdapat 66 temuan yang ada di 13 SKPD. Di antara SKPD itu, Biro Keuangan, Biro Perlengkapan, Biro Hukum, Dinas Pendapatan, Dinas dan Sudin Pertamanan, Dinas Perumahan, Dinas Olah Raga dan Pemuda serta Dinas PU. Selain itu, Suku Dinas Kebersihan, Dinas Pertambangan, Dinas Pemakaman, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman serta BPM & PKUD. Indikasi kerugian daerah dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp 13,17 miliar dan administrasi Rp 5,25 triliun.
Kemudian, pada semester II terhitung mulai Juli hingga Desember, ditemukan 65 penyimpangan yang ada di tiga SKPD. Yakni Dinas dan Sudin Perhubungan serta BLU Transjakarta, Dinas Pendidikan Dasar serta Dinas Pekerjaan Umum. Kerugian daerah dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp 4,10 miliar dan administrasi Rp 334,56 miliar. "Total nilai penyimpangan Rp 5,60 triliun," beber Kastawa.
Rinciannya, indikasi kerugian daerah dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp 17,27 miliar dan temuan administrasi Rp 5,59 triliun. Dari jumlah tersebut, yang sudah ditindaklanjuti sebesar Rp 4,80 miliar atas temuan kerugian dan kekurangan penerimaan daerah. Sementara untuk administrasi yang sudah ditindaklanjuti Rp 334,56 miliar.
Sehingga, temuan yang belum ditindaklanjuti Rp 12,47 miliar untuk indikasi kerugian dan kekurangan penerimaan daerah serta Rp 5,25 untuk administrasi. "Sekarang laporannya lebih jelek daripada tahun sebelumnya," ungkapnya.
SKPD yang membuat laporan keuangan tidak bagus, Gubernur harus harus bertindak tegas. Pihaknya merekomendasikan agar kepala SKPD yang membuat laporan tidak wajar lebih baik digeser saja. "Kalau bikin laporan ga bisa gimana mau ngurusin yang lain," terangnya.
Disinggung ada indikasi tindak korupsi, Kastawa menyatakan, ada kemungkinan ke arah tersebut. Namun, pihaknya masih akan melakukan investigasi lebih lanjut.
Menurut Sekda Pemprov DKI Jakarta Muhayat, temuan BPK tersebut akan ditindaklanjuti. Pemprov akan memberikan sanksi tegas kepada sejumlah SKPD jika terbukti melakukan penyimpangan. Sehingga, seluruh SKPD yang masuk daftar melakukan penyimpangan harus membuktikan kinerjanya. "Jika tidak dapat membuktikan, tentu Gubernur tidak akan memberi kepercayaan lagi untuk menduduki jabatan itu," tegasnya.
Namun, pihaknya berjanji akan melakukan perbaikan dan penyempurnaan selama enam bulan ke depan dengan menindaklanjuti rekomendasi dan persyaratan BPK terkait laporan keuangan. "Ini menjadi persyaratan yang harus kami tegakkan. Yaitu, kontrak kinerja performance aggreement dari masing-masing kepala SKPD terkait," janjinya.(aak)

Malam di Balaikota, 24 Juni 2008

22 Juni 2008

Nunggak Rp 3,8 Miliar, SPBG Telantar 8 Bulan

Nasib Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di DKI sangat memprihatinkan. Berhentinya operasi SPBG ternyata bukan lantaran infrastruktur rusak saja. Tingginya hutang pengelola SPBG yang nunggak pembayaran juga memicu berhentinya operasi stasiun pengisian untuk busway tersebut. Headline Harian INDOPOS, 21 Juni 2008.
Seperti yang terjadi di SPBG Daan Mogot, Jakarta Barat. Perum PPD Depo K sebagai pengelola hingga saat ini belum juga melunasi hutang kepada Pertamina. Tragisnya, kejadian tersebut sudah hampir delapan bulan sejak resmi disegel pada November 2007 lalu. Namun, Pemprov DKI Jakarta tak kunjung bertindak untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Kalau tidak dibayar, ya wajar jika ditutup oleh Pertamina," ujar Ketua DPD Organda DKI Jakarta Herry Rotty kemarin.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan mengingat operator busway telah membayar lunas pembelian BBG seharga Rp 2.562 per liter setara premium (LSP). Sementara pengelola SPBG Daan Mogot diduga tidak menyetorkan ke Pertamina. Sehingga, tidak hanya operator yang dirugikan, para penumpang juga terkena imbasnya. Sebab, operasional busway sebanyak 248 armada ikut terganggu. Seluruh armada hanya bisa mengisi bahan bakar di SPBG Pemuda dan Perintis Kemerdekaan. Itu pun harus dengan antrean panjang lantaran tidak ada tempat pengisian lain.
Seharusnya, Pemprov DKI bisa melakukan langkah sigap sejak disegelnya SPBG tersebut. Apakah ditutupnya SPBG lantaran ada unsur kenakalan pengelola atau ada faktor lain. "Jika terbukti, harusnya ditindak tegas. Agar tidak terulang di kemudian hari," ungkapnya.
Herry sendiri menyangsikan jika alasan belum dibayarnya uang tunggakan sebesar Rp 3,8 miliar lantaran tidak ada biaya. Mestinya, sesaat setelah para operator melunasi pembayaran bahan bakar gas, pihak PPD bisa langsung melunasinya ke Pertamina. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, pihaknya mendesak Pemprov DKI segera melakukan kebijakan strategis dengan cara menjadi penengah antara PPD dengan Pertamina. Jika tidak, pelayanan busway akan terus dikorbankan.
Menurut Herry, selain persoalan tunggakan hutang, Organda menilai, Pemprov juga tidak serius dalam memperbaiki kerusakan dua SPBG. Saat ini, kondisi SPBG di Jalan Pemuda, dari tiga selang hanya satu berfungsi. Sementara SPBG Jalan Perintis Kemerdekaan, dari tiga selang hanya satu yang berfungsi. Begitu juga SPBG Rawabuaya. Sebanyak dua selang juga mengalami kerusakan dan masih dalam perbaikan.
Penyegelan serta kerusakan yang terjadi pada SPBG tersebut sangat menganggu operasional busway. Jika pada hari biasa saja untuk mengisi bahan bakar hingga kembali ke tempat operasional dibutuhkan waktu hampir dua jam, saat ini bisa lima hingga enam jam. "Para operator itu sudah mengeluh minggu lalu. Tapi tak direspon oleh Pemprov," terangnya.
Menurut Direktur Operasional Petros Robbi Sukardi selalu pengelola SPBG Pemuda, Rawabuaya dan Perintis Kemerdekaan, pihaknya membantah jika SPBG Pemuda mengalami kerusakan. Empat selang seluruhnya berfungsi. Antrean panjang lantaran banyak armada yang biasanya mengisi BBG di SPBG lain dialihkan ke tempat tersebut.
Namun, pihaknya mengakui jika untuk SPBG di Rawabuaya sedang diperbaiki. Diperkirakan pekan depan baru selesai. Begitu juga SPBG di Perintis Kemerdekaan juga masih dalam perbaikan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat dikonfirmasi menyatakan, sebelum kasus SPBG mencuat jadi perbincangan publik, pihaknya mengaku tidak mendapat laporan telah terjadi kerusakan SPBG oleh Kepala Dinas Perhubungan. Namun, saat ini, antara Dinas Perhubungan dengan Dinas Pertambangan sudah diperintahkan untuk memperbaikinya. "Solusinya bagaimana. Kan diperbaiki. Kalau mengganggu pelayanan itu saya tahu. Tapi bagaimana lagi. Kalau bisa selesai hari ini, hari ini juga saya pingin selesai. Tapi kan ga bisa," kelitnya.
Sayangnya, pria yang akrab disapa Foke itu enggan berkomentar lebih lanjut kapan target perbaikan bisa diselesaikan. Begitu juga soal hutang PPD kepada Pertamina sebesar Rp 3,8 miliar yang membuat SPBG Daan Mogot disegel hingga saat ini. (aak)

SPBG Ngadat, Busway Telantar

Matinya SPBG di sejumlah titik di DKI membuat busway gandeng yang baru diluncurkan ikut telantar. Soal ini aq tulis dan terbit di Harian INDOPOS, 20 Juni 2008. Pasalnya, hingga saat ini, SPBG di Rawabuaya serta Perintis Kemerdekaan belum berfungsi seperti biasa. Praktis, hampir seluruh armada busway terpaksa antre panjang di SPBG Jalan Pemuda. Antrean panjang terlihat hingga satu kilo meter.
Menurut pengakuan sopir busway gandeng, untuk bisa mengisi armadanya, dibutuhkan waktu hingga lima jam. Antrean tersebut disebabkan adanya kerusakan di SPBG tersebut. "Katanya selangnya yang berfungsi cuma dua," aku Iwan, 25, sopir busway gandeng kemarin.
Di SPBG tersebut, ungkap dia, ada sekitar 40 bus yang sedang antre untuk mengisi bahan bakar. Akibatnya hampir setiap malam usai armada dioperasikan dan akan kembali ke pool, para sopir busway masih harus bersabar untuk bisa mendapatkan bahan bakar. "Kemarin kami mulai antre pukul 22.30 dan baru diisi pukul 03.30," ungkapnya.
Hal itu tentu saja berpengaruh terhadap bus saat akan dilakukan pengecekan mesin sebelum dioperasikan kembali. Sebab, sekitar pukul 06.00, armada sudah harus beroperasi kembali.
Menurut Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta Peni Susanti, pihaknya membenarkan adanya kendala dalam pengisian SPBG di beberapa lokasi. Namun, hal tersebut seharusnya tidak mengganggu aktivitas busway. Saat ini sudah ada program untuk melakukan pembangunan SPBG. Seperti di Tanah Merdeka, Jalan Raya Hek dan Kramat Jati, Jakarta Timur. Saat ini, SPBG tersebut masih dalam tahap penyelesaian. "kami berharap bisa selesai secepatnya," ungkapnya.
Menurut Direktur Operasi TransBatavia J Sihombing, saat ini beban SPBG di Jalan Perintis Kemerdekaan, Pemuda dan Rawa Buaya sudah tidak lagi mencukupi. Sehingga, dapat menganggu kesiapan bus untuk beroperasi. Penggunaan bahan bakar gas pada bus TransJakarta pada awalnya merupakan bagian dari program langit biru dan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seharusnya, Pemprov sudah memikirkan jauh-jauh hari untuk mengatasi persoalan tersebut. Seperti mengoperasikan SPBG baru. Akibat keterbatasan SPBG, terjadi gangguan operasional buway. Bahkan, ketika terjadi penggiliran aliran listrik yang terjadi pada Selasa lalu di SPBG Perintis Kemerdekaan ada sekitar 42 bus yang sedang mengantre. "Akibatny, ada penumpukan penumpang yang lantaran minimnya armada yang beroperasi.
Menurut Manajer Operasional Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta Rene Nunumete menjelaskan, pihaknya terpaksa harus menggiliran bus yang beroperasi. Hal tersebutr dikarenakan dari empat SPBG hanya dua yang bisa beroperasi secara normal. Yakni, SPBG di Perintis Kemerdekaan dan Rawa Buaya saat ini hanya satu selang yang berfungsi. Padahal, SPBG tersebut difungsikan untuk TransBatavia koridor 2 dan 3 dengan jumlah bus 116 bus yang harus dilayani setiap hari. Dan dalam sehari bus-bus tersebut harus melakukan pengisian sebanyak dua kali perunitnya. Sementara untuk di Jalan Pemuda, harus melakukan pengisian terhadap 122 bus ditambah 10 unit bus gandeng. Akibat penumpukan tersebut, pihaknya terpaksa menempelkan pengumumam tentang keterlambatan armada akibat adanya masalah tersebut. "Dulu headway (jarak satu bus dengan bus lain) hanya tiga menit sekali. Sekarang tambah menjadi 30 menit," akunya. (aak)

17 Juni 2008

Listrik Halte Busway Diputus Paksa

BLU Nunggak Rp 88,2 Juta

Fasilitas angkutan masal busway sangat memprihatinkan. Peningkatan jumlah penumpang yang diklaim Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta ternyata tidak diikuti dengan peningkatan pelayanan yang ada. Bahkan, hanya gara-gara BLU nunggak bayar tagihan listrik Rp 88,2 juta, listrik di halte busway terpaksa diputus paksa oleh PLN. Headline Harian INDOPOS, 17 Juni 2008.
Menurut Juru Bicara BLU Transjakarta Yuliani Evta, di antara halte yang diputus paksa tersebut, halte Monas, Sawah Besar serta halte Mangga Besar.
Sebelum listrik halte diputus, PLN melayangkan surat peringatan untuk melunasi tagihan dengan denda di halte Monas sebanyak 44 bulan. Mulai Januari 2007 hingga September 2007. Khusus untuk halte Monas tersebut ada dua tagihan. Monas 1 serta Monas 2. Jumlah tagihan masing-masing sebesar Rp 44.190.432. "Karena belum dilunasi, aliran listrik ke halte bus Transjakarta diputus PLN. Bahkan, di halte Monas dioutus sejak Oktober 2007," ungkapnya saat dihubungi kemarin.
Meskipun telah diputus paksa, pihaknya membantah jika menunggak membayar tagihan. Sebab, tagihan sebelumnya telah dibayar. Tagihan tersebut baru diketahui ketika BLU mengurus pembayaran listrik. Saat itu PLN meminta agar tagihan dan denda sebelumnya harus dilunasi terlebihdahulu. "Kami menolak karena nanti jadi melanggar aturan. Sebab, itu bukan tanggungjawab kami," ungkapnya.
Penolakan itu dilakukan lantaran yang bertanggungjawab terhadap listrik di koridor I pada awalnya ditangani Dinas Penerangan Jalan Umum dan Sarana Jaringan Utilitas (PJU dan SJU). Dinas tersebut bertanggungjawab terhadap pemakaian listrik sejak koridor I dibangun pada 2004 hingga Desember 2006. Kemudian, pada Januari 2007, tanggungjawab dialihkan ke BLU Transjakarta.
Keruwetan tersebut semakin dipicu dengan tidak adanya meteran di setiap halte busway. Akibatnya, pencatatan pemakaian listrik murni dari internal PLN dan baru diketahui saat akan dilakukan pembayaran. "Setiap bulan kami hanya dapat rekening dari PLN. Kami minta pakai meteran atas nama BLU. Tapi, PLN minta denda harus dilunasi," bebernya.
Atas tagihan tersebut, BLU Transjakarta telah berusaha membicarakan masalah dengan Dinas PJU dan SJU. Namun, belum ada hasilnya. Sebab, jika persoalan itu bisa cepat diselesaikan, halte bisa segera dipasang meteran dan biaya pemakaian bisa diketahui secara pasti.
Akibat pemutusan tersebut, selain halte rawan kejahatan, sistem tiketing juga terganggu. Pada saat listrik berfungsi, tiketing bisa secara otomatis. Namun, sejak listrik diputus paksa, tiketing menggunakan sistem manual. "Ini jelas membuat penumpang terganggu," ungkapnya.
Menurut Manager Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Distribusi Jakarta Raya Azwar Lubis, tindakan tegas tersebut hanya dilakukan jika para pelanggan PLN melakukan penunggakan. Termasuk BLU Transjakarta. Keputusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PLN. "Kalau tidak menunggak tidak mungkin kami putus. Jika satu bulan hanya kami putus sementara. Namun, jika lebih dari tiga bulan, maka meterannya harus kami cabut," katanya tegas. (aak)

Balaikota, 17 Juni 2008

Sepekan Air PAM Mati, Warga Konsumsi Air Hujan

Krisis air di DKI sejak sepekan terakhir membuat warga kelabakan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga terpaksa memanfaatkan air hujan. Soal ini aq tulis dan menjadi headline di Harian INDOPOS, 16 Juni 2008. Untungnya, sejak krisis melanda, hujan masih terus mengguyur Ibu Kota. Sebab, jika harus membeli air bersih dari penjual air keliling, minimal warga harus mengeluarkan kocek Rp 50 ribu untuk satu gerobak. Itu pun habis untuk keperluan satu hari saja.
Tidak diketahui pasti kapan pasokan akan kembali normal. Sebab, pada saat terjadi krisis air, PAM Jaya dan operator air justru sibuk berpolemik dengan menuding hal itu akibat adanya pengurasan air di Tarum Barat oleh Perum Jasa Tirta (PJT) II. Sementara, pihak Perum Jasa Tirta membantah telah melakukan pengurasan yang menyebabkan menurunnya pasokan.
Menurut Camat Tanjung Priok Darwis M Aji, pasokan air sudah terganggu sejak sepekan terakhir. Bahkan seperti di Kompleks Setneg Kelurahan Sunter Agung RW 09, air sama sekali tidak keluar dari saluran pipa PAM. Kondisi tersebut sangat merepotkan warga. Bagi yang mampu, warga masih bisa membeli air bersih yang ditawarkan penjual air keliling melalui gerobak dorong. Namun, bagi warga golongan kelas menengah ke bawah, banyak di antaranya yang memanfaatkan air hujan yang mengguyur akhir-akhir ini. Seperti yang terjadi di Sunter Agung.
Sebenarnya, sejak krisis air bersih pekan lalu, warga langsung melayangklan surat kepada aparat pemerintah setempat. Kemudian diteruskan kepada PAM Jaya. Namun, hingga saat ini belum ada respon untuk mengatasi persoalan tersebut. "Kalau begini, kami yang repot. Tidak betul kalau PAM sudah menormalisasi aliran air. Dirut PAM Jaya turun ke lapangan dong, jangan ngomong saja. Selama ini PAM jarang koordinasi," ungkapnya sedih lantaran banyak dikomplain warganya.
Menurut Direktur Utama PT PAM Jaya Hariadi Priyohutomo, pasokan air ke DKI memang sempat terganggu beberapa hari terakhir. Hal itu akibat adanya pengurasan air di Tarum Barat untuk meminimalisasi terjadinya kekeruhan lantaran banyak lumpur. Akibatnya, pasokan air baku ke instalasi pengolahan air bersih di Pulogadung turun hingga 30 persen. Namun, saat ini pasokan air sudah kembali normal. "Memang sempat ada hambatan minggu lalu. Tapi sudah langsung diperbaiki dan sekarang sudah normal," ungkapnya singkat.
Sayangnya, pria yang akrab disapa Didiet itu tidak menjelaskan apakah membaiknya pasokan air itu untuk seluruh jaringan atau hanya sebagian kecil saja. Pihaknya juga tidak menyebut apakah sudah melakukan survey ke lapangan atau belum. Sebab, seperti kondisi pasokan di Tanjung Priok, pernyataan Didiet tersebut sangat bertolak belakang.
Menurut Direktur Komunikasi dan Hubungan Eksternal PT Aetra Rhamses Simanjuntak, hingga saat ini pihaknya belum menerima keluhan dari para pelanggan di kawasan Jakarta Utara terkait terganggunya pasokan air bersih. Jika memang ada gangguan, pihaknya akan mengecek ke lokasi untuk kemudian akan menyalurkan air bersih ke para pelanggan melalui mobil-mobil tangki. "Saya belum tahu persis, akan saya cek ke bagian operasional dulu," katanya singkat.

Satu hari Kemudian

Pasokan Air Ditolak Warga, Petugas Diduga Mau Pungli

Krisis air yang melanda kawasan Jakarta Utara masih terus berlanjut. Harian INDOPOS, 17 Juni 2008. Upaya perbaikan yang dilakukan PAM Jaya belum dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Operator air terpaksa mengirim air bantuan melalui mobil tangki. Terutama bagi para pelanggan air yang tidak mampu membeli air yang dijual gerobak keliling.
Sayangnya, bantuan air tersebut justru ditolak warga lantaran diduga ada pungli. Praktis mobil tangki air yang dikirim PT Aetra kembali dengan tangan hampa.
"Kami sudah suplai air bantuan melalui mobil tangki. Tapi ditolak warga," ujar Direktur Komunikasi dan Hubungan Eksternal PT Aetra Rhamses Simanjuntak kemarin.
Sebenarnya, pasokan air via mobil tangki tersebut akan dikirim ke Kompleks Setneg Kelurahan Sunter Agung RW 09 sesaat setelah PT Aetra mendapat laporan pasokan air PAM di kawasan tersebut mati sama sekali. Bantuan pasokan air itu diberikan sambil menunggu membaiknya aliran air ke warga. "Karena ditolak, ya sudah. Tapi kami yakin aliran akan membaik," ungkapnya.
Para petugas pemasok air sendiri sebelum menyalurkan air ke warga sempat kebingungan. Mereka mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas pengiriman. Bahkan petugas sempat bertanya kepada wartawan dan kemudian diarahkan untuk menemui Camat Tanjung Priok atau Lurah Sunter Agung atau ketua RW setempat. Tidak diketahui pasti apa yang dilakukan petugas di lapangan. Sesaat kemudian muncul kabar pasokan air mobil tangki ditolak warga.
Camat Tanjung Priok Darwis M Aji saat dikonfirmasi mengaku belum mengetahui jika ada pengiriman bantuan air. Pihaknya juga tidak pernah merasa diajak koordinasi. "Tidak ada itu pengiriman bantuan air. Tidak ada pihak operator yang berkoordinasi dengan kecamatan," terangnya.
Disinggung pasokan air ditolak warga, hal itu tidak mungkin. Warga hanya menolak bantuan jika dipungut biaya. "Seperti dulu-dulu juga begitu. Kalau disuruh bayar, warga pasti menolak. Kalau gratis, ya jelas diterima. Itu biasa ulah petugas di lapangan," ungkapnya.
Menurut pengakuan warga, aliran air di wilayah Sunter Agung memang kerap tersendat. Tidak hanya saat terjadi krisis air. Pada hari biasa pun, air mengucur hanya malam hari. Sementara siang hari praktis macet. Hanya warga yang memiliki pompa yang bisa menikmati air secara lancar. "Itu sudah lama terjadi. Ga sekarang, dulu-dulu juga begitu," aku Puspita.
Seperti diberitakan sebelumnya, krisis air di DKI sejak sepekan terakhir membuat warga kelabakan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, warga terpaksa memanfaatkan air hujan. Untungnya, sejak krisis melanda, hujan masih terus mengguyur Ibu Kota. Sebab, jika harus membeli air bersih dari penjual air keliling, minimal warga harus mengeluarkan kocek Rp 50 ribu untuk satu gerobak. Itu pun habis untuk keperluan satu hari saja.
Tidak diketahui pasti kapan pasokan akan kembali normal. Sebab, pada saat terjadi krisis air, PAM Jaya dan operator air justru sibuk berpolemik dengan menuding hal itu akibat adanya pengurasan air di Tarum Barat oleh Perum Jasa Tirta (PJT) II. Sementara, pihak Perum Jasa Tirta membantah telah melakukan pengurasan yang menyebabkan menurunnya pasokan.
Sejak terjadinya krisis air selama sepekan terakhir, pasokan air dari operator PT Aetra menurun hingga 30 persen. Dari pasokan 3.660 liter per detik menjadi 2.562 liter per detik. Sedangkan pasokan air dari operator PT Palyja menurun sekitar 10 persen. Dari pasokan 6.200 liter per detik menjadi 5.580 liter per detik. (aak)

Pojok Balaikota, 17 Juni 2008

09 Juni 2008

Semalam Bersama KM Labobar


Jadwal menunggu kelahiran anakku akhirnya terpaksa aq batalkan. Dari kantor ada tugas dadakan untuk pergi ke Surabaya. Pagi-pagi KM Labobar jurusan Jakarta-Ambon sudah menunggu.
Setelah naik kapal, aq menjelajahi ruang nahkoda yang terletak di deck paling atas. Aq membayangkan jika itu kapal Titanic yang akhirnya tenggelam setelah menjadi saksi bisu romantisme dua anak manusia. Sangat berbeda. Tidak ada menara pengintai. Hanya ada satu teropong, kompas, alat peluncur sinyal yang bisa memantulkan ke satelit jika kapal tersesat atau tenggelam serta radar pendeteksi jika ada kapal ada segala segala rintangan saat kapal melintas. Sebuah jarum terus memutar dan menyisir segala yang dilihatnya. Terlihat bintik-bintik warna kuning yang menyebar. Nahkoda bilang itu adalah kapal yang melintas.
Jika dalam radar kedetek ada sesuatu yang menghalangi, bisa langsung diteropong untuk kemudian nahkoda akan memberikan komando untuk menggeser kemudi.
Pukul 11.30, kami istirahat di kabin kelas satu. Tepatnya 6017 A. Ruangan berukuran 3x5 meter itu berisi fasilitas sangat lengkap. Tepat di samping pintu ada lemari dua pintu yang menyatu dengan meja tempat minuman. Di atasnya ada TV 14 inci. Sementara, depannya persis toilet lengkap dengan showernya. Kemudian dekat cendela kaca terdapat dua dipan kecil yang dilengkapi kasur, bantal dan guling.
Pukul 12.00, suara azan terdengar dari speaker. Setengah jam kemudian, pengumuman terdengar lagi. Para penumpang dipersilahkan makan siang di ruang pantri. Saat kami beranjak, layar TV persis sedang memberitakan Komandan Laskar FPI Munarman tewas di Batujajar.
Hanya lima menit kami memperhatikan berita tersebut untuk kemudian beranjak ke ruang pantri untuk makan siang.
Ruangannya sangat sederhana. Tapi bagiku sangat elit. Semua penumpang makan dengan prasmanan. Menu yang disediakan juga cukup mewah. Ada ayam goreng, ikan laut, tempe dan sayur. Usai makan, para petugas langsung menyodorkan pencuci mulut berupa agar-agar dan segelas air putih.
Usai makan siang, kami kembali ke kabin untuk istirahat. TV yang menyala buram semua. Persis seperti di kampung dulu. Aq memutuskan lihat suasana luar dari cendela kaca. Aq lihat kapal sudah meninggalkan jauh dari pelabuhan. Hanya hamparan laut biru di sana yang diwarnai kapal-kapal kecil berseliweran. Aq coba menghubungi istriku di rumah untuk menanyakan apakah anakku sudah lahir atau belum. Ternyata HP Simpatiku ga ada sinyal. Aneh, padahal barusan diluncurkan sistem BTS di atas kapal. Di seluruh koridor juga tertulis di kapal ini ada sinyal. "Ah itu cuma promosi," kataku putus asa. Setelah merebahkan badan ke kasur, tanpa sadar aq terlelap. Begitu bangun sudah menunjukkan pukul 16.30.
Aq coba keluar kabin untuk menyusuri deck atas untuk melihat suasana sore di atas lautan. Setelah sholat ashar di masjid as safinah, sms istriku masuk. "Yah coba naik ke deck belakang ada kafetaria. Makan pop mie enak situ," begitu bunyi sms istriku.
Aq menyusuri koridor. Hanya 100 meter sudah sampai di tempat yang ditunjukkan istriku. Maklum, sebagai putri kelahiran Ambon, istriku terhitung sering naik kapal KM Labobar jika akan pulang kampung di Ambon. Aq sendiri punya cita-cita mengunjungi kampung halaman mertuaku jika anakku sudah lahir kelak.

Ruangan kafetaria sore itu sangat ramai. Para penumpang, terlihat sedang santai duduk di bangku-bangku yang berjajar di pinggir pagar pembatas. Angin menyapu dengan kerasnya. Aq putuskan pesan kopi panas bersama Anzar, kawan sesama reporter indopos yang saat ini telah pindah di koran jakarta.
Sungguh indah pemandangan laut sore itu. Laju kapal terlihat membelah hamparan air laut yang tenang. Sejauh mata memandang hanya hamparan air laut. Di belakang terlihat matahari sudah memerah tanda akan tenggelam. Suara adzan magrib kembali terdengar. Tidak lama kemudian, petugas kembali mengumumkan santap malam sudah siap.
Usai makan malam, bersama petugas kami kembali diajak menjelajah ruang mesin yang terletak di deck paling dasar. Suara di ruang mesin sangat bising. Melewati tangga yang sangat curam, akhirnya kami sampai di ruang kendali mesin. Sepanjang dinding dipenuhi jarum jam.

Dari jarum jam terlihat kapal dengan melaju dengan kecepatan 500 rpm atau setara 1,8 mil per jam. "Kalau di bawah itu bisa merusak mesin. Minimal 300 rpm. Meskipun konsekuensinya bisa boros bahan bakar," terang petugas.
Usai meninjau ruang mesin, kami menyusur ruang penumpang ekonomi. Lusuh persis di kereta api. Tapi bedanya di kapal masih ada dipan dengan kasur. Bau khas kapal terasa menyengat. Anganku langsung menerawang mengingat saat tenggelamnya kapal Levina tahun lalu. Sebab, bau seperti itu selalu aq cium saat kapal pasukan katak TNI AL merapat di pelabuhan Tanjung Priok dengan membawa mayat korban KM Levina yang tenggelam. Aq langsung keluar khawatir muntah.
Jarum jam aq lihat sudah menunjukkan pukul 19.30. Kawan wartawan mengajak karaoke sambil makan pop mie di kafetaria deck yang sore tadi aq kunjungi. Lagu kenangan terus didendangkan. Untuk bisa nyanyi, kami harus membayar Rp 5 ribu untuk dua lagu.
Syair lagu Celindion terdengar dinyanyikan dengan syahdu. Aq bersandar di bangku sambil memandang gelap di sana. Angin menerpa dengan kerasnya. Lampu-lampu kelap kelip terlihat betebaran dari jauh. Kapal nelayan sedang mencari ikan.
Pak Edy dari Pelni memberikan intruksi untuk turun ke ruang pantri untuk meneruskan karaoke live. Dari lagu kenangan berganti dengan lagu dangdut. Semua berjingkrak berjoged ria. Termasuk kapten kapal. Semua larut dalam ketawa. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dari karaoke berganti dengan obrolan ringan ngalor ngidul. Mulai dari gosip artis hingga guyonan dewasa. Sebentar bentar ledakan tawa memecahkan kesunyian malam. Asap rokok terus mengepul tak putus-putusnya.

Pukul 07.00, kami dibangunkan untuk diajak ke ruang nahkoda. Seluruh mualim standby di posisi masing-masing. Ada yang memelototi peta, ada yang memantau radar, ada yang berjaga di kemudi. Sementara nahkoda kapal terus melihat ke depan. Sesekali memegang teropong lalu geleng-geleng kemana. "Mau kemana itu kapal. Kayaknya geser kanan-kanan," kata Kapten Arifudin yang pagi itu menjadi nahkoda tegang.
Memang, memasuki Pulau Karangjamuang, sebelum masuk pelabuhan Tanjung Perak, banyak kapal tanker berseliweran. Belum lagi perahu-perahu nelayan.
Kemudian terdengar kata-kata nahkoda memberi aba-aba. "130.135. Putaran setengah. 160," kata nahkoda diikuti mualim pemegang kendali kapal.
Mendekati papasan dengan kapal tanker dan perahu nelayan, terdengar klakson kencang dilanjutkan dengan aba-aba berikutnya.
Usai lepas satu kapal, dari jauh sudah tampak lagi kapal tanker yang melaju dengan cara menyilang. Suara radio panggil tak henti-hentinya berbunyi. "Kapal masuk boeng 23 Labobar mohon melintas. Mohon identitas kapal apa di depan," kata suara mualim meminta konfirmasi kapal yang menghadang di depan.
Jika melihat aktifitas di ruang nahkoda, aq teringat film titanic yang menabrak gunung es karena kesalahan atau keterlambatan mengarahkan kemudi kapal. Itu juga persis film Steven Siegel saat perang di kapal selam. Satu kesalahan memberi aba-aba, kapal akan menjadi bidikan empuk dan seluruh ABK beserta penumpangnya dipastikan hanya tinggal nama. Atau kesalahan mengidentifikasi rintangan di depan seperti kapal titanic yang berujung tewasnya ribuan penumpang. Ternyata, di manapun, kewaspadaan, ketepatan, kecerdikan dan kecerdasan melihat kondisi akan menentukan nasib kita selanjutnya.
Mungkin, banyaknya kecelakaan, baik itu kapal seperti KM Levina atau Adam Air akibat keteledoran itu. Wallahu A'lam.

Malam saat baru balik dari Surabaya menumpang KM Labobar, 8 Juni 2008

06 Juni 2008

Menanti Kelahiran Anakku


Cemas, khawatir dan bahagia campur aduk menjadi satu. Sebentar lagi anakku yang pertama lahir ke dunia ini.
Aq bahagia karena sebentar lagi akan hadir pasukan perang kecilku. Sniper yang kutunggu-tunggu untuk membantuku membidik ketidakadilan yang terjadi di kota ini. Jakartaku, ibukotaku yang mulai rusuh tak kondusif. Setelah aksi besar-besaran menolak kenaikan BBM yang digelar mahasiswa dan berujung bentrok di berbagai titik dengan aparat kepolisian, muncul aksi mogok angkot besar-besaran yang membuat ribuan penumpang telantar. Para sopir menaikkan tarif angkutan seenaknya. Harga sembako pun juga ikut melonjak naik.
Belum usai penanganan kasus penyerbuan polisi ke kampus Unas, Jakarta kembali rusuh akibat ulah massa Front Pembela Islam yang menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di silang Monas.

Setiap pulang liputan dari Merdeka Selatan, aq lihat sepanjang Jalan KS Tubun atau kampung Petamburan mencekam. Ratusan massa FPI memblokir jalan. Truk polisi dan ratusan serse juga berkeliaran di seputaran kawasan tersebut. Untuk ke kantor, aq tak lagi melewati jalan itu seperti hari-hari biasanya. Aq lebih senang memutar lewat Kemanggisan, Kebon Jeruk.
Daripada saat melintas terjadi kerusuhan lagi, bakal berape jadinya. Apalagi anakku mau lahir, sementara istriku sedang menunggu harap-harap cemas di rumah. Yah, aq masih ingat betul saat ratusan massa FPI menyerang membabi buta di Monas. Tidak hanya orang dewasa yang dikejar, dipukul dan diinjak-injak. Banyak juga ibu-ibu dan anak-anak yang lari tunggang langgang. Ditetapkannya pimpinan FPI Habib Riziek dan anak buahnya menjadi tersangka tidak lantas membuat Jakarta aman. Hal itu karena perang urat syaraf via media antara Gus Dur dan Habib Riziek telah memancing daerah bergolak. Terutama massa NU yang berniat menyerang markas FPI dan mengancam akan menyerbu Jakarta.
Masya Allah, anakku akan lahir di saat situasi tidak menentu. Persis seperti nyanyian Iwan Fals saat kelahiran anaknya. Galang rambu anarkhi yang lahir saat BBM melambung tinggi. Susu tak terbeli, anakku kurang gizi. (semoga ini tak terjadi pada anakku selama aq yakin terhadap Yang di Atas).
Kekhawatiran pada saat menjelang anakku lahir juga bukan lantaran situasi tidak menentu. Setelah dokter menyatakan istriku sudah bukaan satu, pikiranku langsung pusing tujuh keliling. Soalnya uang tabungan untuk kelahiran belum ada. Di tabungan hanya ada Rp 500 ribu. Itu pun terkadang harus dipotong-potong untuk keperluan dadakan. Ini ibukota. Apa-apa mahal. Kencing aja Rp 2000, begitu kata orang. Untuk satu kelahiran, minimal dibutuhkan Rp 3,5 juta hingga Rp 5 juta. Itu pun jika kondisi normal dan tidak terjadi apa-apa. Jika terjadi sesuatu, harus siap-siap dana lebih. Hal-hal itupun masuk dalam pikiranku. Meskipun, aq tetap yakin Tuhan tahu kondisiku saat ini.

Jangankan untuk cesar, untuk kelahiran normal saja tabunganku masih kurang banyak.
Dengan siapa aq harus berharap. Doa saja tidak cukup, harus ada usaha untuk cari hutangan. Semua kolega, teman, saudara yang memungkinkan untuk kasih hutangan pun aq kontak.
Satu hari kemudian, dari Kalimantan Selatan, Mas Hatta telepon. Dari seberang terdengar kabar akan mentranfer uang untuk kelahiran anakku. Satu jam kemudian aq cek di ATM, muncul tambahan Rp 1 juta. Al Hamdulillah. Pagi tadi, dari Jogja Ida adikku yang masih kuliah juga telepon katanya akan pulang ke Tuban dan akan memberikan tambahan Rp 500 ribu. Makasih ya Allah.
Sekitar pukul 16.00, Hp ku berdering. Orang PELNI ngundang liputan ke Surabaya. Aq bilang ga bisa soalnya aq harus nungguin istri mau lahiran. Aq coba lempar ke kantor. Ternyata di kantor ga da yang bisa. Mas Tir yang ditunjuk jadi korlip bilang aq saja yang berangkat, sementara istri dibokingkan kamar di rumah sakit. Setelah berembuk, akhirnya istriku menolak dan di rumah saja menunggu kelahiran. Katanya ga apa-apa jika aq berangkat ke Surabaya. Toh cuman sehari dan Minggu pagi sudah balik ke Jakarta pakai pesawat.
Sejak Kamis lalu, aq memang sudah meliburkan diri ga liputan. Sebab, Istriku sudah khawatir ada tanda-tanda kelahiran. Tapi kalau ada tugas dadakan seperti ini, mau gimana lagi. "Ya udah berangkat aja. Besok balikkan," kata istriku menyetujui setelah para tetangga sekitar meyakinkan akan membantu jika sewaktu-waktu anakku mendadak lahir.

Sore saat harap-harap cemas menunggu kelahiran anakku, 6 Juni 2008

Ketika Banjir Menjadi Budaya


Pukul 20.00, rombongan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meluncur ke pesisir utara Jakarta. Banjir air pasang masih terus berlanjut sejak tiga hari terakhir. Sebanyak 56 ribu penduduk, tempat tinggalnya tergenang air setinggi 50 cm lebih.
Memasuki Kelurahan Penjaringan, mobil mewah B1 terpaksa dihentikan. Air laut sudah masuk di kawasan itu. Voreijder yang mengawal rombongan menyatakan perjalanan harus dihentikan dan diganti menggunakan truk TNI.
Setelah Gubernur berkumis melihat sekeliling, akhirnya seluruh rombongan dievakuasi ke dalam sebuah truk tentara. Wartawan, kepala dinas, asisten terpaksa berdesak-desakan dalam satu truk. Tampak Kepala Dinas Pekerjaan Umum Wisnu Subagyo mengambil nafas panjang setelah meloncat ke dalam truk. Disusul Kepala BPLHD Budirama Natakusumah dan Asisten Pembangunan Sarwo Handayani.
Secara perlahan, truk mulai berjalan dan menyisir ruas jalan perkampungan pesisir itu. Tidak sampai lima menit, truk sudah harus menerobos derasnya arus banjir air pasang itu.
Dari dalam truk aq lihat ada mobil yang nekad menerobos dan harus mogok di tengah jalan lantaran air sudah meninggi. Perkampungan terlihat sangat gelap. Aq kira sedang terjadi pemadaman. Ternyata tidak. Sebab, lima menit kemudian, tampak ada lampu yang juga masih menyala di tengah derasnya arus.
Dari sisi kanan dan kiri, aq lihat seorang nenek dituntun anak perempuannya untuk mengungsi. Tapi banyak juga yang tetap tinggal di rumah mereka. Meja, bangku atau apapun yang bisa menyangga dibuat untuk tempat evakuasi. Mereka berdiri di atas air sambil memandang dengan tatapan kosong saat rombongan Gubernur melintas. Ada juga yang sibuk mengamankan puluhan jirigen yang berada dalam gerobak untuk diamankan ke dalam rumah. Rupanya, jirigen berisi air bersih. Jika pada hari biasa dijual kepada warga lain, pada saat banjir untuk persediaan sendiri.
Setengah jam kemudian, seorang tentara yang mengawal rombongan turun dengan cara meloncat. Dengan suara lantang berteriak memberi aba-aba sopir truk agar bisa atret (mundur) ke belakang persis di bibir pantai.
Sejenak truk berhenti. Aq lihat air laut mengalir dengan deras. Tanggul darurat yang dibuat dengan geronjong sama sekali tidak terlihat. Anehnya, tidak jauh dari tanggul PT Pelindo tersebut masih ada bangunan warga lengkap dengan penghuninya.
"PU ga bener nih kalau cuma buat tanggul darurat. Permanen saja ga jaminan bisa bendung derasnya air," kataku dengan suara agak keras. Maksudku agar Kepala Dinas PU dengar. Kebetulan Pak Wisnu duduk persis di sampingku.
"Seharusnya daerah ini harus diuruk dulu. Reklamasi berkilo-kilo meter saja bisa kenapa untuk nguruk satu kampung ga bisa. Kalau cuma tanggul, kena abrasi juga jebol. Ini akal-akalan saja," kataku lagi.
Rekan wartawan yang berada di sampingku langsung serentak menyenggol lenganku. "Hus ada kepala dinas tuh yang ngurusi tanggul," seraya mengingatkanku.

Jebolnya tanggul sepanjang tujuh meter itu dampaknya memang luar biasa. Hampir sepanjang kawasan itu tergenang. Tak heran saat mengunjungi perkampungan, banyak warga berteriak-teriak. "Pak Gubernur, kapan dibuatin tanggul permanen. Kalau banjir kami ga bisa bekerja, anak-anak juga ga bisa sekolah," teriak perempuan paroh baya sambil menggendong anak balitanya.
Mendengar keluhan tersebut, Fauzi Bowo hanya tersenyum. "Ya nanti akan kami buatin tanggul. Tapi sebelum tanggul jadi, kami mohon warga mau mengungsi. Agar tidak terjadi korban," katanya singkat.
Memang, sepanjang perjalanan kami tidak banyak melihat ada warga yang mengungsi secara beramai-ramai. Sejumlah tempat pengungsian yang disediakan nyaris tidak berfungsi. Warga tetap memilih bertahan di rumahnya masing-masing. Ada yang naik perahu atau menumpuk meja-meja di rumahnya agar tidak tergenang.
Kekhawatiran Gubernur itu lantaran dari sejumlah titik masuknya air laut, belum seluruhnya selesai ditanggul. Bahkan, yang sudah pun ada yang jebol.
Menurut Manager Krisis Center Heru Joko Santoso, warga di kawasan pesisir utara diharapkan tetap waspada. Sebab, air pasang itu diperkirakan masih akan terjadi pada malam hari. Setelah air surut tanggal 5 Juni. Setelah itu akan kembali lagi terjadi air pasang pada 19 Juni dan berlanjut pada 28 Juni hingga 4 Juli. "Sebelum melewati masa kritis, diharapkan bisa tetap berada di tempat pengungsian. Bagi yang belum mengungsi, diharapkan cepat-cepat mengungsi," harapnya.

Menurut Walikota Jakarta Utara Effendi Anas, di antara daerah rawan itu ada delapan titik. Seperti Luar Batang ke arah utara, Pos 6 Sunda Kelapa, Pelabuhan Samudra Indonesia, Pasar Ikan, Pantai Mutiara, PLTU Pluit Karang Ayu, Jembatan Muara Angke menuju Penjaringan serta tol Sedyatmo Km 24 hingga 26.
"Selain akibat air pasang yang memang tinggi, drainase buruk serta tumpukan sampah ikut menyumbang banjir kerap terjebak di pemukiman warga," ungkapnya.
Dari perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Djawatan Oseanografi, air pasang maksimum selalu terjadi pada bulan mati atau qomariah. Kebetulan pada 4 Juni dan 5 Juni masuk salah bulan tersebut. Air pasang setinggi 1,2 meter mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00. "Kemudian, air pasang akan kembali terjadi pada tanggal 19 Juni," ungkap Kepala Meteorologi Maritim BMG DKI Ponco Nugroho.

Sendiri saat menunggu kelahiran anakku, 6 Juni 2008