21 November 2008

Gemericik Air yang Menakutkan


Tengah malam pukul 23.28, maskoko cawang sms. "Kondisi cawang mencapai 1 m lebih.pintu air katulampa 16O .depok 24O manggarai 75O.kemungkinan banjir lebih dari kemarin,". Pagi buta, Najwa malaikat kecilku teriak-teriak meracau tak jelas. Ternyata bangunin qta yang masih terlelap.
Tiba2 dari luar rumah terdengar suara teriak memanggil2 najwa. "Najwa bangun, banjir..banjir..,". Aq langsung terbangun. Karena itu suara bude rasimin yang punya kontrakan. Aq langsung bangun keluar rumah untuk mengecek halaman belakang. Air mengalir dengan deras. Suara gemericik tak henti2nya menabrak dinding2 batu drainase yang dibangun di belakang rumah persis. Air terus mengalir memenuhi pelataran halaman belakang rumah sebelah.
Shelvia Jaflaun istriku langsung aq suruh ajak Najwa keluar. Sementara aq langsung mengemasi seluruh barang yang ada dalam rumah. Smua diangkatin ke tempat yang lebih tinggi. Yang ga mungkin diangkat ke atas kayak lemari, kasur, mesin cuci langsung aq seret kluar rumah satu per satu. Kabel listrik langsung aq cabut, meja ditinggiin agar tv tidak sampai kena air. Hampir sharian aq kemas2, jam menunjukkan pukul 12 siang. Air mulai deras mengalir ke dalam rumah melewati dapur. Lambat tapi pasti.
Rumahnya rendi yang di sebelah masih juga tertutup. Setelah airnya mulai beranjak baru datang dan mulai bingung untuk angkat2 barang. Suaminya sendiri tak jelas kemana perginya. Bersama pakde, aq bantu2 angkat2 sembari ngecek di belakang rumah. Air terus mengeluarkan suara gemiricik. Tanah kosong yang berada di samping rumah telah penuh air dan mulai masuk di dapur rumah sebelah.
Setelah memastikan semua barang aman, aq langsung mencarikan taksi untuk mengevakuasi Najwa kecilku ama istriku ke Cawang untuk berlindung sementara di rumah kakaknya. Hampir tiga hari aq mondar mandir balaikota-cawang untuk liputan dan jenguk anak dan istriku. Setelah ga pulang dua hari, aq putuskan untuk pulang. Bude bilang banjir sudah surut. Apalagi ada pae ambarawa yang datang ke jakarta, ga mungkin aq ajak nginap di rumah orang. Terpaksa malam itu aq putuskan pulang. Smua tampak lusuh dan berantakan.
Banjir yang menimpa kontraanku memang sudah tak terhitung lagi. Sejak Desember 2007 lalu hingga April 2008, hampir setiap Jumat sore selalu saja Sungai Pesanggrahan meluap. Baru surut Sabtu sorenya. Praktis, waktu liburku hanya untuk membantu istriku evakuasi. Kebetulan saat itu Najwa belum lahir. Jadi, meski ada beban, tidak seperti saat ini. Jika dihitung, satu bulan bisa banjir sampai empat kali.
Entah berapa kali aq bilang ke Gubernur DKI Fauzi Bowo. Jika banjir di kampung Ulujami karena ada bangunan elit di bantaran kali. Akibatnya, rawa-rawa yang dulunya jadi daerah resapan, kini berubah menjadi perumahan elit. "Nanti akan saya cek. Kalau benar melanggar pasti dibongkar," katanya.
Entah berapa lama, setelah banjir tak pernah datang lagi dan terlupakan, tiba-tiba ada telepon berdering yang menanyakan di mana letak perumahan elit di bantaran Sungai Pesanggrahan. "Bapak siapa," tanyaku. "Saya petugas P2B kecamatan mas. Saya disuruh ngecek katanya ada bangunan di bantaran kali," jawabnya. "Tapi setelah saya cari-cari kok ga ada,". "Loh, bapak kan petugas kecamatan situ. Kok sampe ga tahu di daerahnya ada bangunan elit. Izinnya bagaimana," jawabku lagi setengah protes. Lalu, melalui telepon, aq pandu petugas itu sampai di lokasi. "Ya mas, ada. dah ketemu," katanya kemudian.
Telepon pun langsung diputus. Setahun sejak kejadian itu, kabar aksi yang mau membongkar bangunan elit di bantaran kali pun hanya isapan jempol belaka. Justru yang ada klarifikasi. "Saya sudah cek. ternyata izinnya lengkap," kata Kepala Dinas P2B Hari Sasongko.
Loh kok?....(jangan bilang ada tikus berkeliaran..)
Sesuai peraturan, bantaran kali harus bebas dari bangunan. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua bangunan di DKI. Apakah itu bangunan elit atau bangunan biasa. Idealnya, lebar sungai antara 55 meter hingga 60 meter. Tapi saat ini tinggal 6 meter. Lalu apakah dibenarkan jika lantas DIBETON!..Sebenarnya, warga ikhlas kebanjiran jika aturan itu ditegakkan. Jika bangunan elit di bantaran kali sudah dihancurkan, tapi masih tetap banjir, bolehlah pejabat berkilah 'itu karena mereka tinggal di dataran rendah'.
Sesuai Permen PU no 63 tahun 1993 tentang
Garis Sepadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai dinyatakan, sungai yang memiliki tanggul tengah kota harus mempunyai sepadan sungai 3 meter yang diukur dari kaki tanggul. Sungai yang memiliki tanggul di luar kota harus mempunyai sepadan sungai 5 meter dari kaki tanggul. Sungai besar tanpa pengaman memiliki sepadan sungai 100 meter serta Sungai kecil tanpa pengaman memiliki sepadan sungai 50 meter. "Tidak hanya di bantaran Kali Pesanggrahan bangunan elit berdiri, di bantaran Kali Krukut juga banyak. Aneh, kok bisa ya mereka dapat izin," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Slamet Daroyni.
Karena untuk menyelamatkan malaikat kecilku, aq terpaksa hengkang dari Kampung Ulujami dan pindah kontrakan di Cawang, Jakarta Timur. Memang, terkadang apapun bisa dikalahkan dengan segepok rupiah. Barangkali, keadilan pun kini sudah menjadi barang yang murah meriah karena diperjualbelikan.
Bagi kalian yang menjadi korban ketidakadilan, angkatlah tangan kiri ke atas sambil mengepal. Lalu mari kita lantunkan lagu perjuangan itu. "Mereka dirampas haknya..tergusur dan lapar..Tuhan, relakan darah juang kami...

Menara Saidah, 21 November 2008

09 November 2008

Kemenangan Obama dan Eksekusi Amrozi Cs

Aq hanya ingin ngasih judul itu karena dua peristiwa itu berlangsung dalam satu rangkaian bersamaan. Kemenangan Obama yang jadi simbol kemenangan kaum minoritas. Sekaligus harapan baru bagi perubahan iklim perpolitikan dan kebijakan Amerika dan dunia di masa mendatang. Karena juga munculnya aksi terorisme di Indonesia tak lepas dari aksi untuk menentang kebijakan Amerika yang dianggap timpang dan selalu mengekspansi negara2 Islam dan menganggap ajaran Islam telah menciptakan para teroris.

***
Kemenangan Obama menuju Gedung Putih yang disambut meriah jutaan warga dunia. Tak terkecuali anak2 sekolah di berbagai kota di Indonesia. Seperti SD Menteng yang karena saking meriahnya hingga dikutip New York Time headline halaman utama. Maklum saja, kemenangan kaum "the black skin" yang tertindas selama ratusan tahun dianggap kemenangan bagi semua. Dunia sudah bosan dengan aksi2 rejim Bush yang selalu menebarkan teror. Ribuan bahkan jutaan umat manusia tewas sia2 akibat kebijakan yang tidak pro kemanusiaan itu. Palestina, Afganistan, Lebanon dan seluruh negara timur tengah pernah merasakan betapa menyakitkan imbas dari perang yang diklaim untuk menjaga perdamaian dunia itu. Tidak hanya negara Islam yang akhirnya menjadi benci, tapi juga negara2 komunis macam Rusia ato negara2 Eropa. Bahkan, paska penyerbuan Irak, warga Amerika sendiri semakin sadar bahwa peperangan yang ditebarkan Bush adalah sebuah kesalahan. Dan rame2 mereka mengutuk elit pemegang kebijakan negeri Paman Sam itu. Apalagi staf ahli gedung putih membeberkan fakta bahwa penyerbuan ke Irak ternyata bukan karena di negeri seribu malam itu telah ditemukan senjata pemusnah umat manusia. Alasan yang digembor2kan Bush di hadapan senat dan negara2 sekutunya itu tak lebih hanya kebohongan belaka. Senjata pemusnah itu tak benar2 ada. Tapi ribuan tentara telah dikirimkan. Ribuan peluru kendali telah diluncurkan. Ribuan umat manusia akhirnya menjadi korban. Tak terkecuali juga para tentara yang dikirimkan. Ribuan perempuan Amerika menjadi janda. Ribuan anak2 menjadi yatim piatu hanya karena orangtuanya menjadi bagian dari tim eksekutor kebijakan yang salah. "Stop war in Irak". Kata2 itu tak pernah lekang disuarakan ribuan aktivis pecinta kedamaian. Termasuk para janda yang suaminya meninggal di medan perang dan anak2 yatim yang kehilangan ayahnya. Peperangan hanya menebarkan kebencian, peperangan hanya menabur penderitaan tak ada habisnya.
Akhirnya, setelah sekian lama keluarga Bush menguasai Gedung Putih, masyarakat dunia menjadi lelah. Warga Amerika menjadi lelah. Tampilnya sosok Obama dianggap angin baru bagi perubahan Amerika dan dunia. Tapi apa benar begitu? pada saat semua orang histeris keadilan bakal datang, kedamaian bakal tiba setelah pria kulit hitam itu menguasai gedung putih, aq justru bertanya sekali lagi. Apa benar?
Boleh dong beda pendapat. Keraguan itu muncul karena ada kata2 Obama yang menjadi slilit. "Saya memang akan menarik pasukan dari Irak. Tapi saya akan menambah pasukan ke Afganistan,". What the hell is this?.. Tidaklah disebut perubahan jika pemimpin Amerika hanya berganti kulit. Perubahan hanya akan terjadi jika ada paradigma baru pemimpin Amerika. Begitu kata Ketua Parlemen Iran Ali Larijani yang dirilis sejumlah media internasional seperti AP, AFP dan CNN.
Obama memang jagonya pasar modal. Anjloknya ekonomi Amerika yang berimbas pada ekonomi dunia banyak yang optimistis bakal selesai setelah Obama naik ke Gedung Putih. Tapi bagaimana dengan kebijakan perang...perang...perang...yang dibenci semua orang itu, yang ternyata masih belum akan berhenti itu?..bagi yang tahu jawaban ini, silakan jawab...boleh dong qta berpikir beda.

***
Mari sejenak kita tinggalkan soal Obama. Eksekusi Amrozi CS. Tadi pukul 00.00, TV One dan Global TV live soal eksekusi trio bomber Bali I 12 Oktober 2002 itu. Lapas Nusakambangan, Serang, Banten tempatnya Imam Samudra dan Lamongan tempatnya Amrozi menjadi perhatian utama sorotan kamera. Dari layar kaca TV seorang reporter melaporkan Amrozi CS telah dibawa keluar dari Lapas pukul 23.00 untuk dieksekusi. Tapi hingga pukul 00.30 belum ada kabar apakah benar sudah dieksekusi atau belum lantaran jasad kaku para bomber belum sampai di klinik lapas yang sudah disiapkan. Di Serang, simpatisan Amrozi CS dari JI berduyun2 datang dengan meneriakkan kata2 kecaman yang diiringi gema suara takbir. Sementara di Lamongan, ribuan aparat kepolisian dari Polwil Bojonegoro tengah malam didatangkan untuk menjaga rumah Amrozi dan seluruh titik rawan di Lamongan. Malam itu, suasana rumah Amrozi sendiri sunyi senyap. Ponpes sendiri telah dinyatakan tertutup bagi kalangan wartawan. Sehari sebelumnya, para tetangga, simpatisan, kiai, ulama hingga tokoh partai datang silih berganti ke rumah bomber Bali I yang menunggu ajal untuk memberi dukungan moril kepada keluarganya.
Belum juga laporan dari TV memastikan Amrozi CS sudah dieksekusi atau belum, sebuah pesan singkat masuk di HP bututku. Jam dinding aq lihat sudah pukul 02.15 dini hari. Isinya begini: "Teman2, pagi ini jam 9 akan ada doa bersama dr teman2 Yayasan Anand Ashram,serentak d beberapa kota,atas eksekusi mati amrozi cs.Doa ini brtujuan agar arwah mrk d ampuni & d terima Tuhan Yang Maha Kuasa & agar tindakan seperti mereka tdk trulang lagi d Indonesia tercinta.Kt jg mndoakn bg para korban agar tenang & damai.tks,". Sms itu ga aq edit biar persis seperti aslinya yang dikirim. Begitu bangun tidur, hampir seluruh stasiun TV menyiarkan Amrozi CS telah dieksekusi pukul 00.15 dinihari. Jasadnya langsung diterbangkan ke rumah duka di Serang dan Lamongan. Suasana riuh menyambut jasad bomber tersebut. Teriakan takbir para simpatisan tak henti2nya diselingi kata2 trio bomber bukan teroris tapi mujahid.

***
Jika melihat suasana tersebut dan tidak tahu latarbelakang kenapa ketiganya dieksekusi mati, orang akan bertanya2. Mereka itu sebenarnya siapa sih. Pahlawan atau penghianat? bukankah tujuannya memborbardir Amerika. Tapi kenapa yang jadi korban warga setempat. Jika yang jadi korban turis asing, toh mereka juga tidak tahu menahu dan tidak ada kaitannya dengan kebijakan politik. Lalu kenapa harus dikorbankan? Apakah mereka tidak berpikir bagaimana nasib para anak yatim piatu yang orangtuanya tewas akibat bom yang mereka ledakkan. Siapa yang akan mengurus mereka, bagaimana masa depan anak2 tak berdosa itu tumbuh tanpa orangtua? wahai para martir, di mana hati nuranimu? bukankah Alquran dan ucapan Nabi Muhammad SAW telah sangat jelas. "Tidaklah diterima sholat seseorang jika menyia-nyiakan anak yatim". Lalu bagaimana dengan anak yatim di Bali? akibat bom, mereka tidak saja diciptakan menjadi yatim, tapi juga disia-siakan setelah menjadi yatim. Jihadul akbar, jihadun nafsi. Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Nafsu untuk membunuh, merusak, atau menebar teror. Justru, disebut jihad jika seseorang mampu menebar kedamaian. Afsus salam bainakum. Sebarkanlah salam di antara sesamamu. Salam bukan hanya diartikan secara sempit dengan mengucapkan assalamualaikum. Salam lebih diartikan bagaimana seseorang bisa menjaga keselamatan sesamanya. Menjaga dan membantu. Mengentaskan kemiskinan, memberantas pengangguran, menjaga anak yatim, menularkan ilmu pengetahuan atau skill. Bukankah agama itu rahmatan lil alamin!

***
Ada dua kelompok besar ketika Amrozi CS dieksekusi mati. Pertama para korban. Jelas mereka mengecam keras aksi pengeboman itu dan menuntut agar trio bomber segera dihukum mati. Jika tidak, pemerintah dianggap lelet, ga punya sikap, ga pro kemanusiaan dan sebagainya. Kelompok lainnya, tindakan eksekusi mati yang dijatuhkan kepada trio bomber salah kaprah. Pemerintah dianggap kaki tangan Amerika. Ato kepanjangan tangan negara kafir. Isu teroris tak lebih hanya pesanan politik Amerika. Agar Indonesia tidak diembargo atau tidak diblacklist oleh Amerika layaknya Irak yang berujung munculnya klaim sahnya sebuah penyerbuan. Mengorbankan segelintir orang demi menjaga hubungan dengan Amerika (untuk tidak menyebut dunia) dianggap lebih nasionalis. Bahkan, ada kabar yang beredar, setiap ada penangkapan, Amerika bakal memberi bonus 100 juta US dolar. Tapi bukankah itu zaman Bush yang menyatakan Islam telah menciptakan para teroris. Tapi bagaimana jika kepemimpinan telah berganti kepada Obama yang dianggap kemenangan kaum minoritas, kemenangan kaum tertindas? wahai para martir, haruskah kalian tetap akan menebarkan teror sementara elit Amerika telah berganti? kebijakan politiknya barangkali? semoga jawabannya TIDAK alias cukup sudah pengeboman itu.
Dua sisi itu selalu muncul di dua kelompok yang bersebarangan. Para korban bom dan para simpatisan bomber yang dieksekusi mati. Dua2nya tak lebih hanya menebarkan kebencian satu sama lain. Jika mata dibalas dengan mata, yang ada hanya dendam. Lalu jika begitu, kapan negeriku ini akan damai?..

***
Aq sebenarnya ingin berpikir, eksekusi mati yang dilakukan pemerintah bukannya memutus mata rantai para teroris. Justru, eksekusi mati itu semakin mengobarkan dendam para simpatisan atau pengikut Amrozi CS. Eksekusi mati dianggap luka yang harus dibalas. Apalagi, media memblow up besar-besaran. Jika anda melihat suasana di rumah Imam Samudera di Serang atau Amrozi di Lamongan akan tampak betapa eksekusi itu telah memancing emosi. Teriakan takbir yang tak henti2nya, blokade pengikut Amrozi di pintu gerbang masjid atau pemakaman dengan tidak mengizinkan aparat memasuki areal tersebut adalah bukti nyata yang betapa amarah itu telah tersulut.
Sinyal itu jelas terlihat dari pernyataan Menlu Australia Stephen Smith yang melarang warganya berkunjung ke Indonesia dengan alasan dikhawatirkan ada aksi balasan dari kelompok atau simpatisan Amrozi CS. Bahkan sejak kabar Amrozi CS akan dieksekusi, para pengikutnya sudah berancang2 akan meledakkan sejumlah gedung yang menjadi pusat keramaian. Bukti nyata pada 23 Oktober lalu dengan ditemukannya 3 kg bahan peledak beserta alat2 lain di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pelakunya yang bernama Wahyu itu siap akan meledakkan depo pertamina dan membalas elit negeri ini yang memerangi terorisme. Lagi2, kekerasan akan selalu dibalas dengan kekerasan. Teori spiral kekerasan itu memang tak pernah lekang oleh waktu.
Bagiku, untuk menghentikan terorisme di negeri ini tidak perlu ada hukuman mati yang bisa menyulut amarah para martir2 lain. Atau justru menciptakan martir2 baru. Apalagi tayangan media memblow up tak henti2nya. Justru, jika mau menghentikan terorisme, setelah pelaku ditangkap, hukumlah seumur hidup. Diasingkan ke tempat terpencil jauh dari jangkauan media dan masyarakat dan dijaga ketat. Dengan begitu, para teroris telah mati secara sosial. Terputus hubungan komunikasi dengan pengikutnya dan masyarakat luas. Tidak ada ekspose besar2an oleh media yang bisa menyulut amarah para pengikutnya atau menciptakan para martir2 baru.
Sementara untuk pencegahan dini, seluruh pemuka agama, rohaniwan harus bergerak secara intensif ke masyarakat menjelaskan apa sebenarnya inti agama itu. Termasuk menggandeng sejumlah ponpes yang ditengarai berhaluan garis keras agar secara sadar elit agama setempat juga bersedia memberi pemahaman kepada santrinya bahwa tidak ada agama yang mengizinkan adanya kekerasan. Jika itu dilakukan secara terus menerus, massal dan massif, bisa menjadi alat rekayasa sosial pencegah terorisme secara ampuh. Untuk bisa mencegah terorisme bukan dengan cara hukuman mati, tapi bagaimana mencuci kembali otak mereka, pikiran mereka dengan ajaran yang pro kemanusiaan, ajaran yang pro terhadap kedamaian. Ajaran tanpa kekerasan.
Dan kunci terakhir yang juga sangat menentukan, pemerintah juga harus konsisten dalam menegakkan keadilan. Jangan hanya kaum miskin, kelompok bawah di luar sistem yang diberangus, tapi juga elit2 politik jika terbukti bersalah juga harus dibabat habis. Intinya, jangan lagi ada diskriminasi.
Kemudian, dari sisi sosial, pemerintah harus memprioritaskan bagaimana memperkecil jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Pemberian kesempatan kerja seluas2nya bagi warga miskin, minoritas harus diutamakan. Pemberdayaan masyarakat bagi kelompok yang tidak mampu harus terus dilakukan hingga mereka bisa mandiri dari segi ekonomi. Yang lebih penting lagi, kebijakan yang tidak berpihak masyarakat banyak harus dihentikan.
Karena, kesenjangan itu juga bisa memicu tumbuh suburnya bom2 waktu yang bisa menjelma menjadi apapun. Apakah itu terorisme, premanisme hingga kerusuhan sosial.
Bukankah itu yang telah diterapkan Eropa. Buktinya mereka mampu mencegah munculnya aksi terorisme meskipun hukuman mati telah dihapuskan. Karena hukuman mati itu sendiri juga dianggap budaya jahiliyah yang mengebiri hak asasi manusia yang paling dasar. Yakni hak untuk hidup. Maka, negara yang pro kemanusiaan pun tak heran jika menghapuskannya. Karena, itu juga bisa mencegah aksi balas dendam atau aksi kekerasan susulan jika yang ditangkap merupakan pemimpin yang memiliki massa dalam jumlah besar. "Mencegah itu lebih baik daripada mengobati".

01 November 2008

Penguasa Yang Gagap Versus Penguasa Yang Tanggap


Selama dua hari kemarin, Kamis (30/10) dan Jumat (31/10), Wagub Prijanto marah2 ke temen2 yang liputan di balaikota. Tapi aq yang menjadi sasaran. Gara2nya, temen2 mengecam Pemprov DKI yang dianggap melanggar kebebasan pers dengan dikeluarkannya kebijakan setiap pertanyaan yang diajukan kepada Gubernur, Wagub, Sekda serta jajaran di bawahnya harus melalui sms atau fax yang dikirimkan satu hari sebelumnya. Maksimal pukul 20.00 sudah harus masuk. Kontan saja arahan Wagub itu mendapat kecaman keras. Masalahnya, dalam surat edaran nomor 1993/079.32 itu, tidak dijelaskan kapan pertanyaan bisa dijawab. Esok harinya, atau harus menunggu seminggu kemudian. "Wajarlah kita protes. Justru poin itu yang seharusnya dijelaskan. Bukannya itu inti arahan dari Wagub," kata temen2 protes.
Memang, untuk menertibkan liputan di balikota, Wagub DKI menginginkan sistem seperti di Istana Presiden atau Wapres. Setiap usai kegiatan atau ada pertanyaan langsung digelar jumpa pers. Duduk satu meja dalam sebuah ruangan. Bisa 15 menit atau setengah jam. Jika Gubernur, Wagub, Sekda berhalangan bisa diwakilkan. "Tapi Kepala Biro Humas (Pak Purba) gagal menerjemahkan arahan Wagub. Wajar jika anak2 berang. Bukankah Wagub dah bilang setelah pertanyaan dikirim via sms malam harinya, lalu disepakati ketemu di mana jam berapa," kata temen2 marah besar.
Ujung2nya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo terkena imbasnya. "Maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan temen2. Dilarang humas," kata Foke lantas ngeloyor begitu saja.
Pak Purba yang berusaha memberikan klarifikasi di press room malah gagal dan justru emosi. Begitu juga Kabag Media Massa Pak Yuswil. Pak Purba bilang, tidak ada larangan door stop. Jika ada yang mau door stop silakan saja. Tapi jika benar diperbolehkan, kenapa Gubernur jadi bersikap ketus seperti itu. "Barangkali saja Gubernur lagi sakit perut. Jadi enggan untuk menjawab pertanyaan," kata Pak Purba gelagapan menjawab sekenanya. Tentu saja jawaban Pak Purba dianggap bukan sebuah solusi dan tidak menjawab inti persoalan.

Gara2 sikap itu, Pemprov dikecam habis2an. Semua ikut mengecam. Mulai pengamat hingga praktisi pers. Termasuk Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara. Sikap itu dianggap melanggar UU Pers no 40. Pasal 18 menyebutkan, barang siapa yang menghalangi atau melarang kinerja wartawan untuk memperoleh informasi dapat dikenakan hukuman pidana penjara selama dua tahun atau denda sebesar Rp 500 juta.
Rabu (29/10), atau keesokan harinya, temen2 mencoba yang terakhir kalinya untuk tetap door stop Gubernur. Jika tetap ditolak, siap2 saja untuk diboikot. Tapi niat baik temen2 disambut Gubernur. Usai melantik pengurus lembaga tilawah DKI, temen2 menunggu di depan ruang Balai Agung. Dengan langkah pelan, Foke mendekati kami. "Bagaimana! apa yang bisa saya jawab," katanya dengan suara pelan. Suasana pagi itu terasa sangat kaku. Baik Pak Fauzi Bowo maupun temen2 terasa ada jarak. Masing2 takut2 kalau2 menyinggung satu sama lain. Setelah selesai menjawab seluruh pertanyaan, Foke nyeletuk. "Ga usah lewat sms juga ga papa. Kalau mau tanya, tanya aja. Saya sih ga masalah kalau ada yang mo tanya langsung," katanya seraya melirik Pak Purba yang berada di sampingnya. Nah Lo...? kok bisa beda antara Gubernur dan Kepala Biro Humas..
Usai rapat paripurna di DPRD, Wagub Prijanto akhirnya mengambil inisiatif agar temen2 ke ruang rapat BPUT. Di ruang itu, semua diam. Lalu aq berinisiatif mengawali pertanyaan seputar revisi perda hasil hutan. Setelah suasana agak cair, temen2 pun mulai ikut mengajukan pertanyaan satu per satu.
"Kalau seperti ini kan enak. Ngobrol di ruang AC, dijawab dengan jelas, lengkap. Enak ga Ak!," kata Wagub tiba2 bertanya kepadaku. Spontan aq jawab. "Enak Pak Wagub," kataku singkat. "Kalau enak kenapa kmrn ditolak. Melanggar kebebasan pers lah. Kita itu niatnya baik. Biar kalian tidak keleleran di tangga. Biar elit dikit kayak di Istana Presiden. Kalian itu bukan wartawan kecamatan yang duduk lesehan di lantai. Ini Ibukota!," kata Wagub menerangkan panjang lebar. "Siap Pak Wagub. Kmrn salah paham. Soalnya Pak Purba tidak menjelaskan ada jadwal pertemuan seperti ini. Temen2 tahunya hanya suruh kirim pertanyaan via sms tanpa tahu kapan akan dijawab," jawabku.
Sebelumnya, kesalahpahaman memang pernah terjadi. Saat Kepala Humas masih dipegang Pak Arie Budiman. Aq sempat dilabrak habis. Katanya dia ditelpon sekda sambil marah2. "Kamu dibayar berapa sama orang belakang mau2nya ngutip," kata pak arie membuyarkan hari liburku. Saat itu aq menulis soal dugaan korupsi Rp 800 miliar di Dispenda. Kebetulan yang ngasih data pak Dani Anwar orang PKS. Sementara PKS merupakan lawan seteru Fauzi Bowo-Prijanto saat Pilkada. Kontan saja dibilang begitu aq marah besar. "Kalau gue dibayar, silakan cek ke Pak Dani. Kalau dia benar ngasih duit, saya bayar bapak dua kali lipat dibanding gaji kepala biro yang bapak terima," kataku kesal. "Saya nulis soal dugaan korupsi karena itu program pak fauzi bowo. Transparansi dan keterbukaan. Bukankah itu yang gubernur inginkan. Kalau Pak Arie marah, besok saya akan bilang ke gubernur kalau pak arie tidak mendukung program gubernur," kataku kesal.
Memang, sejak kepemimpinan DKI dipegang Foke, semua jadi sangat sensitif. Tidak seperti dulu saat Bang Yos. Yah, ga papa.. namanya juga pejabat.. angkuh itu biasa. Aji mumpung, mumpung lagi pegang kekuasaan...sementara gue ni siapa? tak lebih hanya rakyat jelata..yang mencoba cari tahu masih ada keadilankah di negeri ini..

Ulujami, 1 November 2008