01 November 2008

Penguasa Yang Gagap Versus Penguasa Yang Tanggap


Selama dua hari kemarin, Kamis (30/10) dan Jumat (31/10), Wagub Prijanto marah2 ke temen2 yang liputan di balaikota. Tapi aq yang menjadi sasaran. Gara2nya, temen2 mengecam Pemprov DKI yang dianggap melanggar kebebasan pers dengan dikeluarkannya kebijakan setiap pertanyaan yang diajukan kepada Gubernur, Wagub, Sekda serta jajaran di bawahnya harus melalui sms atau fax yang dikirimkan satu hari sebelumnya. Maksimal pukul 20.00 sudah harus masuk. Kontan saja arahan Wagub itu mendapat kecaman keras. Masalahnya, dalam surat edaran nomor 1993/079.32 itu, tidak dijelaskan kapan pertanyaan bisa dijawab. Esok harinya, atau harus menunggu seminggu kemudian. "Wajarlah kita protes. Justru poin itu yang seharusnya dijelaskan. Bukannya itu inti arahan dari Wagub," kata temen2 protes.
Memang, untuk menertibkan liputan di balikota, Wagub DKI menginginkan sistem seperti di Istana Presiden atau Wapres. Setiap usai kegiatan atau ada pertanyaan langsung digelar jumpa pers. Duduk satu meja dalam sebuah ruangan. Bisa 15 menit atau setengah jam. Jika Gubernur, Wagub, Sekda berhalangan bisa diwakilkan. "Tapi Kepala Biro Humas (Pak Purba) gagal menerjemahkan arahan Wagub. Wajar jika anak2 berang. Bukankah Wagub dah bilang setelah pertanyaan dikirim via sms malam harinya, lalu disepakati ketemu di mana jam berapa," kata temen2 marah besar.
Ujung2nya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo terkena imbasnya. "Maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan temen2. Dilarang humas," kata Foke lantas ngeloyor begitu saja.
Pak Purba yang berusaha memberikan klarifikasi di press room malah gagal dan justru emosi. Begitu juga Kabag Media Massa Pak Yuswil. Pak Purba bilang, tidak ada larangan door stop. Jika ada yang mau door stop silakan saja. Tapi jika benar diperbolehkan, kenapa Gubernur jadi bersikap ketus seperti itu. "Barangkali saja Gubernur lagi sakit perut. Jadi enggan untuk menjawab pertanyaan," kata Pak Purba gelagapan menjawab sekenanya. Tentu saja jawaban Pak Purba dianggap bukan sebuah solusi dan tidak menjawab inti persoalan.

Gara2 sikap itu, Pemprov dikecam habis2an. Semua ikut mengecam. Mulai pengamat hingga praktisi pers. Termasuk Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara. Sikap itu dianggap melanggar UU Pers no 40. Pasal 18 menyebutkan, barang siapa yang menghalangi atau melarang kinerja wartawan untuk memperoleh informasi dapat dikenakan hukuman pidana penjara selama dua tahun atau denda sebesar Rp 500 juta.
Rabu (29/10), atau keesokan harinya, temen2 mencoba yang terakhir kalinya untuk tetap door stop Gubernur. Jika tetap ditolak, siap2 saja untuk diboikot. Tapi niat baik temen2 disambut Gubernur. Usai melantik pengurus lembaga tilawah DKI, temen2 menunggu di depan ruang Balai Agung. Dengan langkah pelan, Foke mendekati kami. "Bagaimana! apa yang bisa saya jawab," katanya dengan suara pelan. Suasana pagi itu terasa sangat kaku. Baik Pak Fauzi Bowo maupun temen2 terasa ada jarak. Masing2 takut2 kalau2 menyinggung satu sama lain. Setelah selesai menjawab seluruh pertanyaan, Foke nyeletuk. "Ga usah lewat sms juga ga papa. Kalau mau tanya, tanya aja. Saya sih ga masalah kalau ada yang mo tanya langsung," katanya seraya melirik Pak Purba yang berada di sampingnya. Nah Lo...? kok bisa beda antara Gubernur dan Kepala Biro Humas..
Usai rapat paripurna di DPRD, Wagub Prijanto akhirnya mengambil inisiatif agar temen2 ke ruang rapat BPUT. Di ruang itu, semua diam. Lalu aq berinisiatif mengawali pertanyaan seputar revisi perda hasil hutan. Setelah suasana agak cair, temen2 pun mulai ikut mengajukan pertanyaan satu per satu.
"Kalau seperti ini kan enak. Ngobrol di ruang AC, dijawab dengan jelas, lengkap. Enak ga Ak!," kata Wagub tiba2 bertanya kepadaku. Spontan aq jawab. "Enak Pak Wagub," kataku singkat. "Kalau enak kenapa kmrn ditolak. Melanggar kebebasan pers lah. Kita itu niatnya baik. Biar kalian tidak keleleran di tangga. Biar elit dikit kayak di Istana Presiden. Kalian itu bukan wartawan kecamatan yang duduk lesehan di lantai. Ini Ibukota!," kata Wagub menerangkan panjang lebar. "Siap Pak Wagub. Kmrn salah paham. Soalnya Pak Purba tidak menjelaskan ada jadwal pertemuan seperti ini. Temen2 tahunya hanya suruh kirim pertanyaan via sms tanpa tahu kapan akan dijawab," jawabku.
Sebelumnya, kesalahpahaman memang pernah terjadi. Saat Kepala Humas masih dipegang Pak Arie Budiman. Aq sempat dilabrak habis. Katanya dia ditelpon sekda sambil marah2. "Kamu dibayar berapa sama orang belakang mau2nya ngutip," kata pak arie membuyarkan hari liburku. Saat itu aq menulis soal dugaan korupsi Rp 800 miliar di Dispenda. Kebetulan yang ngasih data pak Dani Anwar orang PKS. Sementara PKS merupakan lawan seteru Fauzi Bowo-Prijanto saat Pilkada. Kontan saja dibilang begitu aq marah besar. "Kalau gue dibayar, silakan cek ke Pak Dani. Kalau dia benar ngasih duit, saya bayar bapak dua kali lipat dibanding gaji kepala biro yang bapak terima," kataku kesal. "Saya nulis soal dugaan korupsi karena itu program pak fauzi bowo. Transparansi dan keterbukaan. Bukankah itu yang gubernur inginkan. Kalau Pak Arie marah, besok saya akan bilang ke gubernur kalau pak arie tidak mendukung program gubernur," kataku kesal.
Memang, sejak kepemimpinan DKI dipegang Foke, semua jadi sangat sensitif. Tidak seperti dulu saat Bang Yos. Yah, ga papa.. namanya juga pejabat.. angkuh itu biasa. Aji mumpung, mumpung lagi pegang kekuasaan...sementara gue ni siapa? tak lebih hanya rakyat jelata..yang mencoba cari tahu masih ada keadilankah di negeri ini..

Ulujami, 1 November 2008

3 komentar:

LonelyWanderer mengatakan...

wah, serius ak, pak arie pernah marah2?

tp emang bener, baek gubernur ato humas gak bisa nerjemahin maksud wagub. dan kondisi saat ini emang sepertinya disengaja untuk memberi jarak antara wartawan dan pejabat. dibuat acara konpers resmi agar anak2 gak bisa kritis.

tp begitulah. aneh.

samsulbahri mengatakan...

Wajar, kawan. Biro HUMASnya itu loh biang masalahnya. Namanya aja Pak Purba, pikiran jadul, gak up to date, jadi gagal menerjemahkan perintah..

LonelyWanderer mengatakan...

hahaha.. pak purba=jadul. dasar..