21 November 2008

Gemericik Air yang Menakutkan


Tengah malam pukul 23.28, maskoko cawang sms. "Kondisi cawang mencapai 1 m lebih.pintu air katulampa 16O .depok 24O manggarai 75O.kemungkinan banjir lebih dari kemarin,". Pagi buta, Najwa malaikat kecilku teriak-teriak meracau tak jelas. Ternyata bangunin qta yang masih terlelap.
Tiba2 dari luar rumah terdengar suara teriak memanggil2 najwa. "Najwa bangun, banjir..banjir..,". Aq langsung terbangun. Karena itu suara bude rasimin yang punya kontrakan. Aq langsung bangun keluar rumah untuk mengecek halaman belakang. Air mengalir dengan deras. Suara gemericik tak henti2nya menabrak dinding2 batu drainase yang dibangun di belakang rumah persis. Air terus mengalir memenuhi pelataran halaman belakang rumah sebelah.
Shelvia Jaflaun istriku langsung aq suruh ajak Najwa keluar. Sementara aq langsung mengemasi seluruh barang yang ada dalam rumah. Smua diangkatin ke tempat yang lebih tinggi. Yang ga mungkin diangkat ke atas kayak lemari, kasur, mesin cuci langsung aq seret kluar rumah satu per satu. Kabel listrik langsung aq cabut, meja ditinggiin agar tv tidak sampai kena air. Hampir sharian aq kemas2, jam menunjukkan pukul 12 siang. Air mulai deras mengalir ke dalam rumah melewati dapur. Lambat tapi pasti.
Rumahnya rendi yang di sebelah masih juga tertutup. Setelah airnya mulai beranjak baru datang dan mulai bingung untuk angkat2 barang. Suaminya sendiri tak jelas kemana perginya. Bersama pakde, aq bantu2 angkat2 sembari ngecek di belakang rumah. Air terus mengeluarkan suara gemiricik. Tanah kosong yang berada di samping rumah telah penuh air dan mulai masuk di dapur rumah sebelah.
Setelah memastikan semua barang aman, aq langsung mencarikan taksi untuk mengevakuasi Najwa kecilku ama istriku ke Cawang untuk berlindung sementara di rumah kakaknya. Hampir tiga hari aq mondar mandir balaikota-cawang untuk liputan dan jenguk anak dan istriku. Setelah ga pulang dua hari, aq putuskan untuk pulang. Bude bilang banjir sudah surut. Apalagi ada pae ambarawa yang datang ke jakarta, ga mungkin aq ajak nginap di rumah orang. Terpaksa malam itu aq putuskan pulang. Smua tampak lusuh dan berantakan.
Banjir yang menimpa kontraanku memang sudah tak terhitung lagi. Sejak Desember 2007 lalu hingga April 2008, hampir setiap Jumat sore selalu saja Sungai Pesanggrahan meluap. Baru surut Sabtu sorenya. Praktis, waktu liburku hanya untuk membantu istriku evakuasi. Kebetulan saat itu Najwa belum lahir. Jadi, meski ada beban, tidak seperti saat ini. Jika dihitung, satu bulan bisa banjir sampai empat kali.
Entah berapa kali aq bilang ke Gubernur DKI Fauzi Bowo. Jika banjir di kampung Ulujami karena ada bangunan elit di bantaran kali. Akibatnya, rawa-rawa yang dulunya jadi daerah resapan, kini berubah menjadi perumahan elit. "Nanti akan saya cek. Kalau benar melanggar pasti dibongkar," katanya.
Entah berapa lama, setelah banjir tak pernah datang lagi dan terlupakan, tiba-tiba ada telepon berdering yang menanyakan di mana letak perumahan elit di bantaran Sungai Pesanggrahan. "Bapak siapa," tanyaku. "Saya petugas P2B kecamatan mas. Saya disuruh ngecek katanya ada bangunan di bantaran kali," jawabnya. "Tapi setelah saya cari-cari kok ga ada,". "Loh, bapak kan petugas kecamatan situ. Kok sampe ga tahu di daerahnya ada bangunan elit. Izinnya bagaimana," jawabku lagi setengah protes. Lalu, melalui telepon, aq pandu petugas itu sampai di lokasi. "Ya mas, ada. dah ketemu," katanya kemudian.
Telepon pun langsung diputus. Setahun sejak kejadian itu, kabar aksi yang mau membongkar bangunan elit di bantaran kali pun hanya isapan jempol belaka. Justru yang ada klarifikasi. "Saya sudah cek. ternyata izinnya lengkap," kata Kepala Dinas P2B Hari Sasongko.
Loh kok?....(jangan bilang ada tikus berkeliaran..)
Sesuai peraturan, bantaran kali harus bebas dari bangunan. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua bangunan di DKI. Apakah itu bangunan elit atau bangunan biasa. Idealnya, lebar sungai antara 55 meter hingga 60 meter. Tapi saat ini tinggal 6 meter. Lalu apakah dibenarkan jika lantas DIBETON!..Sebenarnya, warga ikhlas kebanjiran jika aturan itu ditegakkan. Jika bangunan elit di bantaran kali sudah dihancurkan, tapi masih tetap banjir, bolehlah pejabat berkilah 'itu karena mereka tinggal di dataran rendah'.
Sesuai Permen PU no 63 tahun 1993 tentang
Garis Sepadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai dinyatakan, sungai yang memiliki tanggul tengah kota harus mempunyai sepadan sungai 3 meter yang diukur dari kaki tanggul. Sungai yang memiliki tanggul di luar kota harus mempunyai sepadan sungai 5 meter dari kaki tanggul. Sungai besar tanpa pengaman memiliki sepadan sungai 100 meter serta Sungai kecil tanpa pengaman memiliki sepadan sungai 50 meter. "Tidak hanya di bantaran Kali Pesanggrahan bangunan elit berdiri, di bantaran Kali Krukut juga banyak. Aneh, kok bisa ya mereka dapat izin," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Slamet Daroyni.
Karena untuk menyelamatkan malaikat kecilku, aq terpaksa hengkang dari Kampung Ulujami dan pindah kontrakan di Cawang, Jakarta Timur. Memang, terkadang apapun bisa dikalahkan dengan segepok rupiah. Barangkali, keadilan pun kini sudah menjadi barang yang murah meriah karena diperjualbelikan.
Bagi kalian yang menjadi korban ketidakadilan, angkatlah tangan kiri ke atas sambil mengepal. Lalu mari kita lantunkan lagu perjuangan itu. "Mereka dirampas haknya..tergusur dan lapar..Tuhan, relakan darah juang kami...

Menara Saidah, 21 November 2008

4 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Saya kaget baca bagian depan tulisan kawan. Saya pikir itu banjir terjadi di rumah kontrak baru.. Oke sekarang lupakan Ulujami, kawan. Banjir itu sudah jauh,,, takdir orang-orang kalah memang harus terpinggirkan.

Keadilan itu mahal, kawan. Memang pemerintah sekarang tengah mendapat pujian atas keberhasilan memberantas korupsi,,, tapi nun di tempat-tempat orang-orang kecil itu, hak asasi tidak lagi punya arti.

Ibnul A'robi mengatakan...

Saat aq tanya soal bangunan elit yang menjadi pemicu banjir di kampung ulujami kepada Gubernur DKI Fauzi Bowo, usai berjanji akan membongkar bangunan elit itu. Dia nyeletuk. "rumahmu di bangunan elit itu?. KKN juga lo," katanya. Spontan aq jawab. "Ga pak gubernur. rumahku bukan di perumahan elit. Tapi di belakangnya. Membaur ama orang kampung. Makanya aq tahu apa yang mereka rasakan. Karena keluargaku juga kebanjiran,". Setelah aq jawab begitu, Fauzi Bowo lalu hanya bisa diam. "Yah, nanti saya cek dulu," katanya kemudian. Setelah itu, tak ada kabar lagi realisasi ucapan gubernur berkumis itu. Apa dia dikibulin anak buahnya (ABS) atau memang perintahnya tak pernah didengar atau tak pernah dilaksanakan, aq ga tahu persis.
Yah, keadilan memang mahal. Bagi pejabat, untuk membongkar bangunan elit memang dilematis. Bagaimana jika keadilan itu telah ditukar segepok rupiah. Apa harus menjilat ludah sendiri. Maka, pilihan mereka hanya satu. Biarlah rakyat kecil yang dikorbankan. Termasuk aq dan keluargaku. Entah berapa puluh kali aq menulis soal diskriminasi itu. Termasuk kawan2 media lainnya. Sampai jari kecil ini kelelahan menuangkan protes keadilan via keyboard kecil di hp bututku. Tapi pejabat2 itu tetap saja bebal.."Ya, saya akan bongkar..ya saya akan bongkar,". Hanya itu kata2 yang keluar dr mulut gubernur, wagub ataupun sekda. Tapi tak pernah jelas realisasinya.
Kawan2 sendiri selalu bilang, jika keadilan diperjualbelikan, hanya ada satu kata: LAWAN..!
Bahkan, saking frustasinya bahwa keadilan tak akan ditegakkan, karena uang masih didewakan, sempat keluar kata2. "Terserah..mau korupsi asal tidak merugikan masyarakat banyak..".
Temen2 bilang, "kok kamu pindah ak? brarti ga nulis lagi dong soal perumahan elit pemicu banjir?,". Spontan aq jawab. "Tidak..tempat boleh berjauhan. Tapi rasa itu tetap akan ada. Aq tak akan lelah menyuarakan protes ketidakadilan itu. Aq teriak bukan lantaran keluargaku menjadi korban. Tapi lebih karena di belakangku ada ribuan keluarga yang harap2 cemas bertanya2 apakah keadilan bagi mereka akan datang,".

Ibnul A'robi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Lagafure mengatakan...

Pak Ketua kayanya fotonya sama bayinya lagi bahagia nih....oooo saya kira kawan roby telah tinggal lama di jakarta, banjir dan jakarta kan memang sudah identik. tata kota yang semrawut yah kaya gitu hasilnya generasi dibelakang yang menerima akibatnya. Pemerintah kaya buah simalakama. digusur salah tidah di gusur juga salah. cari aja tempat yang tinggi cak...Ok salam sama najwa syifa n nyonya. kawan sam n de' tatok SHI