01 Desember 2008

Perempuan dari Tanah Seberang

Perempuan dari Tanah Seberang

Kehidupan malam di Ibukota kembali menggeliat begitu sang surya kembali ke peraduannya. Sisi lain kehidupan malam di kota besar mulai tampak. Di sebuah tempat karaoke yang terletak di bilangan Jakarta Pusat, mobil-mobil mewah mulai berdatangan. Setiap mobil datang di pintu masuk, rata-rata yang turun anak usia tanggung. Mereka rombongan lebih dari dua orang. Dengan gaya perlente namun santai, remaja-remaja itu terlihat dari kelas atas. Pakai celana pendek, t-shirt warna cerah dan bersepatu. Di tangan kanannya menggenggam sebuah telepon selular. Model-model N 90 atao experia keluaran terbaru.
Begitu tiba, mereka langsung masuk ke lobi dan terus naik ke lantai dua. Perkiraanku, mereka telah sering datang ke tempat tersebut. Itu terlihat dari sikapnya yang tak terlihat canggung. Seorang petugas keamanan menegur. Rupannya, salah satu dari mereka ada yang membawa tas. "Mas dititipkan di pos keamanan saja tasnya," kata pria berbadan tegap sambil menenteng HT. "Tar langsung ke atas ye. Room dah diboking," kata salah satu dari mereka yang berjalan paling depan memberi aba-aba temennya yang harus turun kembali ke bawah untuk menitipkan tasnya. Sejenak, petugas keamanan menyuruh membuka isi tasnya. "Isinya apa mas," kata petugas keamanan. Setelah memastikan isi dalam tas bukan barang yang membahayakan, tas langsung diletakkan di ruang keamanan yang letaknya persis di pintu masuk. Lantas, remaja tanggung itu menyusul kawan-kawannya di lantai atas. Jakarta memang rawan usai eksekusi Amrozi Cs beberapa waktu lalu. Ancaman bom memang tak pernah berhenti. Mulai dari hotel, apartemen, mall, kedutaan, kantor pemerintah hingga fasilitas publik.
Di pintu masuk lantai atas, sebuah lorong panjang terlihat membujur. Lampu redup menghiasai sepanjang koridor tersebut. Di pintu masuk, sisi kanan dan kiri terpasang sebuah meja dan kursi tempat untuk transaksi. Seperti model kasir jika di pusat perbelanjaan. Perempuan-perempuan muda yang jumlahnya sekitar lima orang berdiri di samping kiri kanan pintu mengeluarkan senyum ramah sedikit nakal. Perempuan-perempuan itu menggunakan pakaian yang sangat seksi. Rok hanya sampai pangkal paha. Sementara belahan dadanya seperti didesain agar sedikit terlihat. Putih mulus dan menyembul mengundang gairah. "Silakan mas," sapa manja salah satu perempuan. Jika setiap tamu yang datang belum boking room terlebihdahulu, begitu sampai di pintu lantai atas itu akan langsung melakukan transaksi. Sewa room sekaligus pesan perempuan pendamping jika menginginkan.
Menyusuri sepanjang koridor, setiap room berdiri seorang perempuan. Dari baju yang dipakai, perempuan ini sepertinya mendapat tugas yang berbeda. Bukan sebagai penghibur, tapi service room jika ada tamu yang pesan minuman, makanan atau keperluan lainnya.
Memasuki salah satu room, ruangan ukuran 7x5 meter menghampar. Kursi dipasang memutar bentuk huruf U. Di tengahnya meja kecil berjajar. Di barisan paling depan, 3 unit TV terpasang berikut asesorisnya. TV yang paling tengah ukurannya paling besar. Di samping kiri dan kanannya hanya ukuran 21 inci. Dari layar tampak stasiun HBO tengah memutar sebuah film action. Sementara yang satunya life report CNN. "Disamain aj mas. Buat karaoke semuanya," salah salah sorang tamu meminta kepada operator. Di tempat itu, tamu tidak memilih lagu sendiri lewat keyboard di meja atau remote kontrol. Tapi melalui reques kepada operator.
Para tamu mulai memesan kudapan beserta minuman yang tertera di daftar yang diletakkan dalam meja. "Tiga picher mbak, kentang, rokok malboro, jarum ama sampoerna. Jangan lupa air mineralnya," kata salah satu tamu. Usai perempuan service room meninggalkan ruangan, musik mulai berdentum. Lampu ruangan mulai diganti yang redup. Asap rokok mulai mengepul. Habis satu lagu, perempuan service room sudah masuk kembali membawa pesanan. Gelas-gelas yang berisi es mulai dituang minuman. Teriakan salah seorang tamu yang tengah menyanyikan lagu membahana. Tampak begitu menghayati terlihat dari gerakan tubuhnya. Jika melihat ekspresinya, barangkali nyanyian, tamu tersebut tengah mengeluarkan kegundahan hatinya. Stres akibat kerjaan di kantor, bertengkar ama bininya di rumah atao barangkali habis putus ama pacarnya. Raut muka kegundahan itu semakin terlihat ketika menyanyikan lagi bintang di langit padi. Begitu lagu usai, sepuluh perempuan muda bertubuh seksi masuk ruangan. Satu orang yang dipanggil mami ira menyuruh perempuan-perempuan dibalut pakaian seksi itu berjajar di depan para tamu. Kaki jenjang, kulit putih mulus tanpa ada bekas luka sedikitpun terlihat hingga pangkal paha. Sebagaian ada yang memperlihatkan belahan payudaranya. Di pinggangnya sebelah kanan tertulis nomor urut dengan huruf besar. Ada 350, 200, 300, 400, 575. "Silakan mas mo pilih yang mana," kata mami ira. Para tamu memelototkan matanya memandangi satu per satu perempuan penghibur tersebut tanpa berkedip. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pemandangan itu persis di tempat pelacuran gang dolly Surabaya. Bedanya, jika di gang dolly, perempuan dipajang di sebuah ruangan persis aquarium yang dilapisi kaca riben. Para tamu bisa melihat secara leluasa perempuan mana yang akan dipilih. Tapi si perempuan tidak bisa melihat tamunya. Di tempat karaoke itu, antara tamu dan perempuan penghibur saling berhadap-hadapan secara langsung. "300...350..400..," kata para tamu memberi aba-aba pilihannya. Tiga perempuan muda seksi yang dipilih langsung menghampiri pria yang menunjuknya. Sementara perempuan-perempuan yang tidak dipilih para tamu langsung keluar ruangan.
Malam semakin larut. Dari musik syahdu berganti musik yang menimbulkan hasrat berjingkrak. Semua turun melantai. Perempuan yang dipilih para tamu langsung berkenalan sekadar basa basi. Musik terus berdentum. Kepulan asap rokok membumbung memenuhi ruangan seperti tak mampu disedot exhaus yang tertempel di dinding paling ujung. Suara tawa lepas menghiasi setiap minuman keras yang dituang dan beradu menimbulkan suara benturan kecil. Tiga perempuan muda yang masing-masing bernama Nia, Fany dan Dewi itu sudah terlelap bersama pelukan mesra para tamu. "Kalau belum puas di sini bisa dilanjut di luar mas. Syaratnya tinggalkan bon dikasir. Cuma Rp 400 ribu. Kalau tips kencan di luar tergantung kesepakatan aj," kata perempuan yang dipanggil temen2nya Fany itu to the point.
Itu lantaran jika hanya mengandalkan menemani para tamu di tempat karaoke, pemasukan dianggap tidak cukup. Berbeda jika ada yang boking ke luar, dari bos besar dapat bonus, dari pelanggan dapat tips hasil servisnya. Dalam satu malam, maksimal bisa menemani tujuh orang tamu. Itupun dari persaingan yang cukup ketat. Jika dalam semalam, setelah berulang-ulang dipajang tapi tak laku, omelan bos akan menjadi menu dini hari sebelum perempuan malam itu diizinkan meninggalkan lokasi. "Saya sih baru mas di sini. Baru dua bulan. Tapi karena setiap hari selalu tertekan, rasanya seperti sudah bertahun-tahun," kata Fany.
Tekanan yang dirasakan perempuan asal Padang itu bukan hanya dari bos. Tapi juga sesama perempuan penghibur lainnya. Untuk bisa "nyambi" bersama tamu terkadang harus makan hati. Jika satu cewek diboking sementara yang lain tidak, adu urat syaraf bakal terjadi. "Baru kemarin malam kami bentrok gara2 ada tamu yang boking salah satu dari kami. Tapi yang lain ga diajak. Daripada ada yang iri, akhirnya dibatalin," tuturnya.
Dituturkan Nia, di tempat karaoke tersebut ada 30 perempuan penghibur. Jika masih baru, kupu-kupu malam itu akan dipelihara dengan baik. Tinggal di apartemen mewah dan digaji tinggi. Rata-rata, satu malam Fany dan sejawatnya yang masih baru bisa mengantongi Rp 2 juta. Itu belum termasuk jika ada tamu yang boking keluar. Untuk tetap menjaga kecantikan para perempuan penghibur yang baru tersebut, tiap usai pulang dari tempat karaoke pukul 05.00 pagi, bos besar yang dipanggil mami Ira akan melakukan absen. Memastikan "stok" barunya kembali ke kandang. Petugas keamanan yang disewa mami Ira juga akan memeloloti apakah piaraan bosnya itu aman sampai penjara emasnya atau belum. Jika ada yang terlihat layu, mami Ira langsung mengeluarkan perintah dadakan. "Seringnya habis kerja gini, bos menyuruh kami ke rumahnya. Kami tidak bisa menolak. Karena kalau tidak didamprat habis," akunya. Lalu di rumah mami tersebut, daun muda itu dimandiin, dilulur, dipijat agar kecantikan dan kemulusan tubuh tetap terjaga. Untuk urusan satu ini, mami Ira memang tak mau kelewatan. Sebab, besar kecilnya omset tergantung kiprah stok-stok baru tersebut.
Perlakuan itu sangat berbeda dengan perempuan lain yang yang telah lama direkrut. Mereka diberi kebebasan asal tetap menyetor kepada bos. "Kalau kami yang baru-baru ini kayak dipenjara. Kemana-mana tidak boleh. Gerak-gerik selalu diawasi. Pulang kerja harus langsung pulang ke apartemen. Emang sih sewa apartemen sudah dibayar bos, tapi tetap saja rasannya seperti dipenjara," keluhnya lalu menghisap rokok di tangan kanannya dalam-dalam.
Setelah menenggak satu gelas minuman, Fany kembali bertutur. Dia bersama tiga temannya termasuk stok baru. Mereka "disekap" di sebuah apartemen "M" di Jakarta Barat. Tidak hanya dalam bergaul dengan orang luar yang dilarang keras, untuk bisa sekadar refresing keluar jalan-jalan di luar jam kerja juga dilarang. Jika libur hari Minggu, tetap saja harus mengkal di tempat karaoke meskipun tidak melayani tamu.
Perasaan untuk memberontak bisa lepas dari tempat tersebut terkadang muncul jika perlakuan sang bos sudah keterlaluan. Namun, niat itu kembali pupus jika teringat bahwa untuk kembali pada kehidupan normal sudah tidak mungkin. Apalagi, kehidupan malam yang ditekuninya itu awalnya sebagai pelarian setelah dijodohkan orangtuanya dengan orang yang tidak dicintai di kampung halamannya.
Lari dari kampung halaman di Padang, Fany mencoba mengadu nasib di Jakarta. Suatu ketika di sebuah mall di bilangan Jakarta Pusat, Fany bertemu dengan mami Ira yang menawarkan pekerjaan sebagai pelayanan di tempat karaoke. Lantaran terdesak kebutuhan hidup setelah lama menganggur, tawaran itu akhirnya diterima. "Jadi dengan kondisi terpenjara seperti itu kami hanya bisa pasrah aj mas. Jangan untuk cek kesehatan untuk memastikan positif atau ga, untuk sekedar menghirup udara segar saja kami dilarang. Apalagi persaingan di antara perempuan di sini juga sangat ketat. Salah menempatkan diri dikit bisa berabe," katanya.
Dari hati yang paling dalam, Fany tetap berharap suatu ketika bisa keluar dari kehidupan malam. Itu setelah cukup mampu mandiri untuk membuka usaha sendiri atau dapat pekerjaan baru yang lebih baik. Lantaran untuk menekuni kehidupan malam, banyak resiko yang harus diambil. Tidak hanya rawan dari sisi kesehatan rentan tertular penyakit HIV/AIDS atau penyakit seksual lainnya, tapi juga rentan dari sisi keamanan.

(Tulisan ini aq terbitin di Indopos untuk menyambut hari HIV/AIDS se-dunia yang jatuh pada 1 Desember. Versi koran setelah diedit aq beri judul: Melihat Sisi Terdalam Perempuan Malam yang Dituding Penyebar HIV/AIDS: Disekap di Apartemen, Usai Kerja Dimandikan dan Dilulur)

Saat hujan mengguyur, Menara Saidah, 1 Desember 2008

3 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Kawan..
Ini barangkali yang disebut the other side of human life.. sebuah sisi lain dari hidup manusia...

Ada bagian dalam tulisan ini yang mengesankan saya. Perempuan dengan banderol harga..300, 350, 400..

Perempuan dibanderol?? Manusiakah dia?? atau hanya benda??

Saya teringat satu hal, meski ini di luar konteks.. tentang tawanan Yahudi di kamp konsentrasi pada masa kekuasaan Nazi di Jerman.

Setiap tawanan diberi nomer. Jadi, yang dikenal bukan nama si Ishak, si Bauman, si Jakobus,, melainkan angka.. 201, 202, 203 dst..

Ketika manusia diganti nomer, ato angka, maka pada saat yang sama hilang arti kemanusiaan yang ada pada dirinya..

Mereka hanya angka-angka..
Begitulah cara Nazi mereduksi arti kemanusiaan pada diri musuh-musuh 'ideologi'nya. Sehingga mereka merasa semakin mudah untuk misalkan menarik pelatuk senjata tepat di kening tawanan tersebut..

Mereka menganggap,, yang mereka lenyapkan bukan manusia.. tapi angka..

Nah,, bagaimana dengan perempuan yang dibanderol itu..?? Manusiakah dia?? Fany, Dewi, Nia?? atau hanya angka..300, 350, 400..??

Ibnul A'robi mengatakan...

Jika kawan pernah baca buku one night stand, kisah kupu2 malam itu tak jauh berbeda. Persis bahkan lebih tragis nasibnya. Bergelimangan harta namun terpenjara. Ini jakarta bung. Kehidupan terasa sangat kejam bagi siapapun yang tidak berdaya. Apalagi jika uang masih menjadi dewa. Apapapun bisa diperjualbelikan. Siapa berhak membeli apa/siapa. Yang kuat semakin kuat menindas yang lemah. Yang lemah hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi seraya memaki2, mengutuk, menyumpah2 atas ketidakberdayaannya.
Seperti Fany atau yang lain, terjun dalam kehidupan malam adalah sebuah pilihan. Sebuah pilihan ada konsekuensi yang harus ditanggung.
Dalam tulisan yang dimuat indopos, 1 Desember, aq sebenarnya ingin menyampaikan, bahwa menuding kupu2 malam penyebar HIV/AIDS bukan sikap yang bijak. Karena siapapun tidak mau mengambil resiko terkena penyakit yang mematikan itu. Tapi bagaimana jadinya jika kondisi yang menjerumuskan mereka. Memberi pilihan2 yang sangat sulit. Terkungkung tanpa bisa bergerak. Mata-mata garang petugas keamanan sewaan yang selalu melotot, mata-mata mami yang tak pernah bersahabat selalu menjadi duri dalam daging yang menyumbat sendi2 pernafasan untuk hidup normal. Pilihan yang sulit untuk dipilih atau tidak layak dipilih.
Pesanku untuk aktivis HIV/AIDS, justru bukan mereka yang dibidik, tapi mami-mami yang rakus akan rupiah hingga gelap mata itu yang harus dikikis. Karena sebenarnya, mereka akar permasalahan maraknya HIV/AIDS. Buktinya, kenapa stok baru yang disekap, kenapa yang telah lama direkrut dilepas? lalu apa bedanya..
Yang jelas, kebebasan itu mahal.. untuk menjadi merdeka itu mahal..

Lagafure mengatakan...

Hahaha Selamat pagi pak gubernur DKI, Manusia dengan angka, kesannya singkat saja melihat manusia kaittannya dengan budaya ada 3 hal yang menarik yang 1. manusia dilihat dari sisi value kebudayaan, 2. Manusia Community kebudayaan 3. Manusia sebagai Symbol kebudayaan udah dulu yanh aku kebelet cak