09 Juni 2008

Semalam Bersama KM Labobar


Jadwal menunggu kelahiran anakku akhirnya terpaksa aq batalkan. Dari kantor ada tugas dadakan untuk pergi ke Surabaya. Pagi-pagi KM Labobar jurusan Jakarta-Ambon sudah menunggu.
Setelah naik kapal, aq menjelajahi ruang nahkoda yang terletak di deck paling atas. Aq membayangkan jika itu kapal Titanic yang akhirnya tenggelam setelah menjadi saksi bisu romantisme dua anak manusia. Sangat berbeda. Tidak ada menara pengintai. Hanya ada satu teropong, kompas, alat peluncur sinyal yang bisa memantulkan ke satelit jika kapal tersesat atau tenggelam serta radar pendeteksi jika ada kapal ada segala segala rintangan saat kapal melintas. Sebuah jarum terus memutar dan menyisir segala yang dilihatnya. Terlihat bintik-bintik warna kuning yang menyebar. Nahkoda bilang itu adalah kapal yang melintas.
Jika dalam radar kedetek ada sesuatu yang menghalangi, bisa langsung diteropong untuk kemudian nahkoda akan memberikan komando untuk menggeser kemudi.
Pukul 11.30, kami istirahat di kabin kelas satu. Tepatnya 6017 A. Ruangan berukuran 3x5 meter itu berisi fasilitas sangat lengkap. Tepat di samping pintu ada lemari dua pintu yang menyatu dengan meja tempat minuman. Di atasnya ada TV 14 inci. Sementara, depannya persis toilet lengkap dengan showernya. Kemudian dekat cendela kaca terdapat dua dipan kecil yang dilengkapi kasur, bantal dan guling.
Pukul 12.00, suara azan terdengar dari speaker. Setengah jam kemudian, pengumuman terdengar lagi. Para penumpang dipersilahkan makan siang di ruang pantri. Saat kami beranjak, layar TV persis sedang memberitakan Komandan Laskar FPI Munarman tewas di Batujajar.
Hanya lima menit kami memperhatikan berita tersebut untuk kemudian beranjak ke ruang pantri untuk makan siang.
Ruangannya sangat sederhana. Tapi bagiku sangat elit. Semua penumpang makan dengan prasmanan. Menu yang disediakan juga cukup mewah. Ada ayam goreng, ikan laut, tempe dan sayur. Usai makan, para petugas langsung menyodorkan pencuci mulut berupa agar-agar dan segelas air putih.
Usai makan siang, kami kembali ke kabin untuk istirahat. TV yang menyala buram semua. Persis seperti di kampung dulu. Aq memutuskan lihat suasana luar dari cendela kaca. Aq lihat kapal sudah meninggalkan jauh dari pelabuhan. Hanya hamparan laut biru di sana yang diwarnai kapal-kapal kecil berseliweran. Aq coba menghubungi istriku di rumah untuk menanyakan apakah anakku sudah lahir atau belum. Ternyata HP Simpatiku ga ada sinyal. Aneh, padahal barusan diluncurkan sistem BTS di atas kapal. Di seluruh koridor juga tertulis di kapal ini ada sinyal. "Ah itu cuma promosi," kataku putus asa. Setelah merebahkan badan ke kasur, tanpa sadar aq terlelap. Begitu bangun sudah menunjukkan pukul 16.30.
Aq coba keluar kabin untuk menyusuri deck atas untuk melihat suasana sore di atas lautan. Setelah sholat ashar di masjid as safinah, sms istriku masuk. "Yah coba naik ke deck belakang ada kafetaria. Makan pop mie enak situ," begitu bunyi sms istriku.
Aq menyusuri koridor. Hanya 100 meter sudah sampai di tempat yang ditunjukkan istriku. Maklum, sebagai putri kelahiran Ambon, istriku terhitung sering naik kapal KM Labobar jika akan pulang kampung di Ambon. Aq sendiri punya cita-cita mengunjungi kampung halaman mertuaku jika anakku sudah lahir kelak.

Ruangan kafetaria sore itu sangat ramai. Para penumpang, terlihat sedang santai duduk di bangku-bangku yang berjajar di pinggir pagar pembatas. Angin menyapu dengan kerasnya. Aq putuskan pesan kopi panas bersama Anzar, kawan sesama reporter indopos yang saat ini telah pindah di koran jakarta.
Sungguh indah pemandangan laut sore itu. Laju kapal terlihat membelah hamparan air laut yang tenang. Sejauh mata memandang hanya hamparan air laut. Di belakang terlihat matahari sudah memerah tanda akan tenggelam. Suara adzan magrib kembali terdengar. Tidak lama kemudian, petugas kembali mengumumkan santap malam sudah siap.
Usai makan malam, bersama petugas kami kembali diajak menjelajah ruang mesin yang terletak di deck paling dasar. Suara di ruang mesin sangat bising. Melewati tangga yang sangat curam, akhirnya kami sampai di ruang kendali mesin. Sepanjang dinding dipenuhi jarum jam.

Dari jarum jam terlihat kapal dengan melaju dengan kecepatan 500 rpm atau setara 1,8 mil per jam. "Kalau di bawah itu bisa merusak mesin. Minimal 300 rpm. Meskipun konsekuensinya bisa boros bahan bakar," terang petugas.
Usai meninjau ruang mesin, kami menyusur ruang penumpang ekonomi. Lusuh persis di kereta api. Tapi bedanya di kapal masih ada dipan dengan kasur. Bau khas kapal terasa menyengat. Anganku langsung menerawang mengingat saat tenggelamnya kapal Levina tahun lalu. Sebab, bau seperti itu selalu aq cium saat kapal pasukan katak TNI AL merapat di pelabuhan Tanjung Priok dengan membawa mayat korban KM Levina yang tenggelam. Aq langsung keluar khawatir muntah.
Jarum jam aq lihat sudah menunjukkan pukul 19.30. Kawan wartawan mengajak karaoke sambil makan pop mie di kafetaria deck yang sore tadi aq kunjungi. Lagu kenangan terus didendangkan. Untuk bisa nyanyi, kami harus membayar Rp 5 ribu untuk dua lagu.
Syair lagu Celindion terdengar dinyanyikan dengan syahdu. Aq bersandar di bangku sambil memandang gelap di sana. Angin menerpa dengan kerasnya. Lampu-lampu kelap kelip terlihat betebaran dari jauh. Kapal nelayan sedang mencari ikan.
Pak Edy dari Pelni memberikan intruksi untuk turun ke ruang pantri untuk meneruskan karaoke live. Dari lagu kenangan berganti dengan lagu dangdut. Semua berjingkrak berjoged ria. Termasuk kapten kapal. Semua larut dalam ketawa. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dari karaoke berganti dengan obrolan ringan ngalor ngidul. Mulai dari gosip artis hingga guyonan dewasa. Sebentar bentar ledakan tawa memecahkan kesunyian malam. Asap rokok terus mengepul tak putus-putusnya.

Pukul 07.00, kami dibangunkan untuk diajak ke ruang nahkoda. Seluruh mualim standby di posisi masing-masing. Ada yang memelototi peta, ada yang memantau radar, ada yang berjaga di kemudi. Sementara nahkoda kapal terus melihat ke depan. Sesekali memegang teropong lalu geleng-geleng kemana. "Mau kemana itu kapal. Kayaknya geser kanan-kanan," kata Kapten Arifudin yang pagi itu menjadi nahkoda tegang.
Memang, memasuki Pulau Karangjamuang, sebelum masuk pelabuhan Tanjung Perak, banyak kapal tanker berseliweran. Belum lagi perahu-perahu nelayan.
Kemudian terdengar kata-kata nahkoda memberi aba-aba. "130.135. Putaran setengah. 160," kata nahkoda diikuti mualim pemegang kendali kapal.
Mendekati papasan dengan kapal tanker dan perahu nelayan, terdengar klakson kencang dilanjutkan dengan aba-aba berikutnya.
Usai lepas satu kapal, dari jauh sudah tampak lagi kapal tanker yang melaju dengan cara menyilang. Suara radio panggil tak henti-hentinya berbunyi. "Kapal masuk boeng 23 Labobar mohon melintas. Mohon identitas kapal apa di depan," kata suara mualim meminta konfirmasi kapal yang menghadang di depan.
Jika melihat aktifitas di ruang nahkoda, aq teringat film titanic yang menabrak gunung es karena kesalahan atau keterlambatan mengarahkan kemudi kapal. Itu juga persis film Steven Siegel saat perang di kapal selam. Satu kesalahan memberi aba-aba, kapal akan menjadi bidikan empuk dan seluruh ABK beserta penumpangnya dipastikan hanya tinggal nama. Atau kesalahan mengidentifikasi rintangan di depan seperti kapal titanic yang berujung tewasnya ribuan penumpang. Ternyata, di manapun, kewaspadaan, ketepatan, kecerdikan dan kecerdasan melihat kondisi akan menentukan nasib kita selanjutnya.
Mungkin, banyaknya kecelakaan, baik itu kapal seperti KM Levina atau Adam Air akibat keteledoran itu. Wallahu A'lam.

Malam saat baru balik dari Surabaya menumpang KM Labobar, 8 Juni 2008

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sinyal Telkomsel di Labobar memang sudah di instalasi mas, tapi kapasitasnya memang terbatas, sedang diupayakan penambahan kapasitas.
Telkomsel telah hadir di Kapal Labobar , KM Kelud dan KM Dempo
silahkan melakukan inspeksi dan menerbitkan tulisan untuk 2 kapal yang belum anda kunjungi tersebut