06 Juni 2008

Ketika Banjir Menjadi Budaya


Pukul 20.00, rombongan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meluncur ke pesisir utara Jakarta. Banjir air pasang masih terus berlanjut sejak tiga hari terakhir. Sebanyak 56 ribu penduduk, tempat tinggalnya tergenang air setinggi 50 cm lebih.
Memasuki Kelurahan Penjaringan, mobil mewah B1 terpaksa dihentikan. Air laut sudah masuk di kawasan itu. Voreijder yang mengawal rombongan menyatakan perjalanan harus dihentikan dan diganti menggunakan truk TNI.
Setelah Gubernur berkumis melihat sekeliling, akhirnya seluruh rombongan dievakuasi ke dalam sebuah truk tentara. Wartawan, kepala dinas, asisten terpaksa berdesak-desakan dalam satu truk. Tampak Kepala Dinas Pekerjaan Umum Wisnu Subagyo mengambil nafas panjang setelah meloncat ke dalam truk. Disusul Kepala BPLHD Budirama Natakusumah dan Asisten Pembangunan Sarwo Handayani.
Secara perlahan, truk mulai berjalan dan menyisir ruas jalan perkampungan pesisir itu. Tidak sampai lima menit, truk sudah harus menerobos derasnya arus banjir air pasang itu.
Dari dalam truk aq lihat ada mobil yang nekad menerobos dan harus mogok di tengah jalan lantaran air sudah meninggi. Perkampungan terlihat sangat gelap. Aq kira sedang terjadi pemadaman. Ternyata tidak. Sebab, lima menit kemudian, tampak ada lampu yang juga masih menyala di tengah derasnya arus.
Dari sisi kanan dan kiri, aq lihat seorang nenek dituntun anak perempuannya untuk mengungsi. Tapi banyak juga yang tetap tinggal di rumah mereka. Meja, bangku atau apapun yang bisa menyangga dibuat untuk tempat evakuasi. Mereka berdiri di atas air sambil memandang dengan tatapan kosong saat rombongan Gubernur melintas. Ada juga yang sibuk mengamankan puluhan jirigen yang berada dalam gerobak untuk diamankan ke dalam rumah. Rupanya, jirigen berisi air bersih. Jika pada hari biasa dijual kepada warga lain, pada saat banjir untuk persediaan sendiri.
Setengah jam kemudian, seorang tentara yang mengawal rombongan turun dengan cara meloncat. Dengan suara lantang berteriak memberi aba-aba sopir truk agar bisa atret (mundur) ke belakang persis di bibir pantai.
Sejenak truk berhenti. Aq lihat air laut mengalir dengan deras. Tanggul darurat yang dibuat dengan geronjong sama sekali tidak terlihat. Anehnya, tidak jauh dari tanggul PT Pelindo tersebut masih ada bangunan warga lengkap dengan penghuninya.
"PU ga bener nih kalau cuma buat tanggul darurat. Permanen saja ga jaminan bisa bendung derasnya air," kataku dengan suara agak keras. Maksudku agar Kepala Dinas PU dengar. Kebetulan Pak Wisnu duduk persis di sampingku.
"Seharusnya daerah ini harus diuruk dulu. Reklamasi berkilo-kilo meter saja bisa kenapa untuk nguruk satu kampung ga bisa. Kalau cuma tanggul, kena abrasi juga jebol. Ini akal-akalan saja," kataku lagi.
Rekan wartawan yang berada di sampingku langsung serentak menyenggol lenganku. "Hus ada kepala dinas tuh yang ngurusi tanggul," seraya mengingatkanku.

Jebolnya tanggul sepanjang tujuh meter itu dampaknya memang luar biasa. Hampir sepanjang kawasan itu tergenang. Tak heran saat mengunjungi perkampungan, banyak warga berteriak-teriak. "Pak Gubernur, kapan dibuatin tanggul permanen. Kalau banjir kami ga bisa bekerja, anak-anak juga ga bisa sekolah," teriak perempuan paroh baya sambil menggendong anak balitanya.
Mendengar keluhan tersebut, Fauzi Bowo hanya tersenyum. "Ya nanti akan kami buatin tanggul. Tapi sebelum tanggul jadi, kami mohon warga mau mengungsi. Agar tidak terjadi korban," katanya singkat.
Memang, sepanjang perjalanan kami tidak banyak melihat ada warga yang mengungsi secara beramai-ramai. Sejumlah tempat pengungsian yang disediakan nyaris tidak berfungsi. Warga tetap memilih bertahan di rumahnya masing-masing. Ada yang naik perahu atau menumpuk meja-meja di rumahnya agar tidak tergenang.
Kekhawatiran Gubernur itu lantaran dari sejumlah titik masuknya air laut, belum seluruhnya selesai ditanggul. Bahkan, yang sudah pun ada yang jebol.
Menurut Manager Krisis Center Heru Joko Santoso, warga di kawasan pesisir utara diharapkan tetap waspada. Sebab, air pasang itu diperkirakan masih akan terjadi pada malam hari. Setelah air surut tanggal 5 Juni. Setelah itu akan kembali lagi terjadi air pasang pada 19 Juni dan berlanjut pada 28 Juni hingga 4 Juli. "Sebelum melewati masa kritis, diharapkan bisa tetap berada di tempat pengungsian. Bagi yang belum mengungsi, diharapkan cepat-cepat mengungsi," harapnya.

Menurut Walikota Jakarta Utara Effendi Anas, di antara daerah rawan itu ada delapan titik. Seperti Luar Batang ke arah utara, Pos 6 Sunda Kelapa, Pelabuhan Samudra Indonesia, Pasar Ikan, Pantai Mutiara, PLTU Pluit Karang Ayu, Jembatan Muara Angke menuju Penjaringan serta tol Sedyatmo Km 24 hingga 26.
"Selain akibat air pasang yang memang tinggi, drainase buruk serta tumpukan sampah ikut menyumbang banjir kerap terjebak di pemukiman warga," ungkapnya.
Dari perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Djawatan Oseanografi, air pasang maksimum selalu terjadi pada bulan mati atau qomariah. Kebetulan pada 4 Juni dan 5 Juni masuk salah bulan tersebut. Air pasang setinggi 1,2 meter mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00. "Kemudian, air pasang akan kembali terjadi pada tanggal 19 Juni," ungkap Kepala Meteorologi Maritim BMG DKI Ponco Nugroho.

Sendiri saat menunggu kelahiran anakku, 6 Juni 2008

Tidak ada komentar: