06 Juni 2008

Menanti Kelahiran Anakku


Cemas, khawatir dan bahagia campur aduk menjadi satu. Sebentar lagi anakku yang pertama lahir ke dunia ini.
Aq bahagia karena sebentar lagi akan hadir pasukan perang kecilku. Sniper yang kutunggu-tunggu untuk membantuku membidik ketidakadilan yang terjadi di kota ini. Jakartaku, ibukotaku yang mulai rusuh tak kondusif. Setelah aksi besar-besaran menolak kenaikan BBM yang digelar mahasiswa dan berujung bentrok di berbagai titik dengan aparat kepolisian, muncul aksi mogok angkot besar-besaran yang membuat ribuan penumpang telantar. Para sopir menaikkan tarif angkutan seenaknya. Harga sembako pun juga ikut melonjak naik.
Belum usai penanganan kasus penyerbuan polisi ke kampus Unas, Jakarta kembali rusuh akibat ulah massa Front Pembela Islam yang menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di silang Monas.

Setiap pulang liputan dari Merdeka Selatan, aq lihat sepanjang Jalan KS Tubun atau kampung Petamburan mencekam. Ratusan massa FPI memblokir jalan. Truk polisi dan ratusan serse juga berkeliaran di seputaran kawasan tersebut. Untuk ke kantor, aq tak lagi melewati jalan itu seperti hari-hari biasanya. Aq lebih senang memutar lewat Kemanggisan, Kebon Jeruk.
Daripada saat melintas terjadi kerusuhan lagi, bakal berape jadinya. Apalagi anakku mau lahir, sementara istriku sedang menunggu harap-harap cemas di rumah. Yah, aq masih ingat betul saat ratusan massa FPI menyerang membabi buta di Monas. Tidak hanya orang dewasa yang dikejar, dipukul dan diinjak-injak. Banyak juga ibu-ibu dan anak-anak yang lari tunggang langgang. Ditetapkannya pimpinan FPI Habib Riziek dan anak buahnya menjadi tersangka tidak lantas membuat Jakarta aman. Hal itu karena perang urat syaraf via media antara Gus Dur dan Habib Riziek telah memancing daerah bergolak. Terutama massa NU yang berniat menyerang markas FPI dan mengancam akan menyerbu Jakarta.
Masya Allah, anakku akan lahir di saat situasi tidak menentu. Persis seperti nyanyian Iwan Fals saat kelahiran anaknya. Galang rambu anarkhi yang lahir saat BBM melambung tinggi. Susu tak terbeli, anakku kurang gizi. (semoga ini tak terjadi pada anakku selama aq yakin terhadap Yang di Atas).
Kekhawatiran pada saat menjelang anakku lahir juga bukan lantaran situasi tidak menentu. Setelah dokter menyatakan istriku sudah bukaan satu, pikiranku langsung pusing tujuh keliling. Soalnya uang tabungan untuk kelahiran belum ada. Di tabungan hanya ada Rp 500 ribu. Itu pun terkadang harus dipotong-potong untuk keperluan dadakan. Ini ibukota. Apa-apa mahal. Kencing aja Rp 2000, begitu kata orang. Untuk satu kelahiran, minimal dibutuhkan Rp 3,5 juta hingga Rp 5 juta. Itu pun jika kondisi normal dan tidak terjadi apa-apa. Jika terjadi sesuatu, harus siap-siap dana lebih. Hal-hal itupun masuk dalam pikiranku. Meskipun, aq tetap yakin Tuhan tahu kondisiku saat ini.

Jangankan untuk cesar, untuk kelahiran normal saja tabunganku masih kurang banyak.
Dengan siapa aq harus berharap. Doa saja tidak cukup, harus ada usaha untuk cari hutangan. Semua kolega, teman, saudara yang memungkinkan untuk kasih hutangan pun aq kontak.
Satu hari kemudian, dari Kalimantan Selatan, Mas Hatta telepon. Dari seberang terdengar kabar akan mentranfer uang untuk kelahiran anakku. Satu jam kemudian aq cek di ATM, muncul tambahan Rp 1 juta. Al Hamdulillah. Pagi tadi, dari Jogja Ida adikku yang masih kuliah juga telepon katanya akan pulang ke Tuban dan akan memberikan tambahan Rp 500 ribu. Makasih ya Allah.
Sekitar pukul 16.00, Hp ku berdering. Orang PELNI ngundang liputan ke Surabaya. Aq bilang ga bisa soalnya aq harus nungguin istri mau lahiran. Aq coba lempar ke kantor. Ternyata di kantor ga da yang bisa. Mas Tir yang ditunjuk jadi korlip bilang aq saja yang berangkat, sementara istri dibokingkan kamar di rumah sakit. Setelah berembuk, akhirnya istriku menolak dan di rumah saja menunggu kelahiran. Katanya ga apa-apa jika aq berangkat ke Surabaya. Toh cuman sehari dan Minggu pagi sudah balik ke Jakarta pakai pesawat.
Sejak Kamis lalu, aq memang sudah meliburkan diri ga liputan. Sebab, Istriku sudah khawatir ada tanda-tanda kelahiran. Tapi kalau ada tugas dadakan seperti ini, mau gimana lagi. "Ya udah berangkat aja. Besok balikkan," kata istriku menyetujui setelah para tetangga sekitar meyakinkan akan membantu jika sewaktu-waktu anakku mendadak lahir.

Sore saat harap-harap cemas menunggu kelahiran anakku, 6 Juni 2008

2 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Selamat Pagi Kawan Rob.
Saya telah membaca bagian dari tulisan ini. Saya membayangkan kesibukan kawan menjalankan tugas, di tengah-tengah kecemasan menunggu kelahiran anak pertama. Ya, anak pertama. Kelahiran anak pertama selalu bikin setiap calon ayah cemas. Ini biasa. Saya berdoa semoga kawan dapat terus beraktivitas di tengah kesibukan mengurus rumah tangga. Saya juga berdoa semoga kelahiran anak pertama ini dapat berjalan lancar.

Ibnul A'robi mengatakan...

Makasih kawan atas doanya. moga di manapun qta berada, Tuhan akan selalu memberi yang terbaik buat qta