06 Oktober 2008

Perjalanan Panjang Malaikat Kecilku


Sejak kelahiran anakku yang pertama, istriku Shelvia Jaflaun gembira luar biasa. Setelah lama ditunggu, akhirnya malaikat kecil yang didambakan lahir juga ke dunia. Saking bangganya, sejak anakku mulai bisa berumur satu bulan, mamanya terus merengek-rengek ngajak bepergian dengan membawa malaikat kecilku.Terutama untuk berkunjung ke sejumlah sanak keluarga dekat. Mulai dari Cawang, Jakarta Timur, Ciledug hingga Bekasi. Maklum, sejak kami menikah 2006 lalu, aq hanya bilang setelah satu tahun baru akan punya anak. Tahun 2007, istriku kembali menagih kenapa tak kunjung punya anak. Istriku semakin sedih saat periksa ke dokter dinyatakan kandungannya lemah. Tapi aq bilang dokter hanya manusia. Anak itu pemberian Tuhan. Jika Dia menghendaki, tak ada siapapun yang bisa menghalanginya. Begitu juga jika Dia tidak menghendaki sesuatu, maka tak ada siapapun yang bisa menolaknya. "Gusti Allah itu Maha Kuasa istriku," kataku meyakinkan. Tapi istriku tetap ngotot mencari cara agar bisa cepat hamil. Mulai minum ramuan, makanan ini itu, rajin ke bidan dan ke dokter hingga pijat urut kandungan di Bekasi yang suruh bolak balik bawa kelapa hijau. Saat itu, aq cuekin dan ternyata memang hasilnya tetap nol. Setiap telat datang bulan, tidak beberapa lama pasti haid lagi.
Setiap kami berkunjung ke tempat keluarga atau ketemu dengan kawan, istriku selalu ditanya-tanya kapan punya momongan. Jika pertanyaan itu muncul, aq buru-buru menjawabnya. "Habis lebaran kami baru akan punya anak,". Pertanyaan itu selalu saja terulang-ulang hingga ratusan kali. Aq pun menjawabnya dengan jawaban yang sama berulang-ulang kali. Lebaran 2007, saat pulang ke kampung, istriku gembira bukan main karena saat itu sudah telat sekitar dua minggu. Tapi, aq bilang itu bukan hamil tapi telat biasa. Dia ngamuk dan ngotot mengklaim kalau hamil. Tapi begitu balik ke Jakarta, istriku kembali datang bulan. "Tu akibatnya kalau tidak yakin ama gusti Allah. Udahlah, ga usah neko-neko, kalau gusti Allah menghendaki pasti terjadi. Kalau dihekendaki punya anak, ya punya anak. Kalau tidak ya tidak. Gitu aja kok repot," kataku untuk meredam kekecewaannya.

Waktu terus berjalan, lambat laun istriku sudah mulai melupakan obsesinya punya anak. Kepasrahannya sudah mulai tumbuh pelan tapi pasti. Setiap aq suruh sholat untuk berdoa agar dikaruniai anak, Shelvia Jaflaun istriku selalu manut. Suatu malam istriku muntah-muntah. Aq bilang, mama hamil kali. Begitu mendengar aq mulai merestui dia punya anak, istriku girang bukan main. Malam itu juga dia minta dibeliin sensitif untuk tes kehamilan. Tapi aq bilang besok aj sekalian berangkat kerja. Diapun luluh dan rela menunggu. Esok harinya sepulang dari liputan pukul 22.30, istriku gembira sekali aq belikan sensitif. Malam itu istriku ngajak cerita terus seputar rencana nanti kehamilannya dan rencana-rencana setelah punya anak. Karena dah capek, aq males membahasnya panjang lebar. "Cara pakainya habis tidur. Sekarang tidur dulu sana," kataku malam itu. Karena capek, habis sholat, nonton tv bentar, aq langsung tidur. Pukul 03.00 dini hari, istriku membangunkanku. "Yah..yah..mama hamil yah..mama positif..lihat ini," katanya menggoyang-goyang badanku yang masih tidur pulas.
Istriku pun melonjak-lonjak kegirangan. Setengah ngantuk aq masih sempat berpikir. Pasti istriku tidak tidur semalaman sejak dibeliin sensitif. Tapi ga papa lah kasian juga dia tak kunjung punya anak. Meskipun saat itu, yang ada dalam pikiranku hanya satu. Aq pingin punya anak setelah gajiku naik. Karena ga mungkin membiayai keluarga sementara gajiku masih pas-pasan.
Tapi begitu istriku hamil, harapanku mulai aq pompa. "Toh rezeki dari Gusti Allah," kataku. Alhamdulillah, memasuki tiga bulan kehamilan, tepatnya 1 Mei 2008, seluruh karyawan gajinya naik. Termasuk diriku. "Itu rezeki anak," kata istriku.
Sejak saat itu, kampanye istriku untuk mengabarkan calon anakku terus dilakukan. Tetangga dekat, tetangga jauh, keluarga dekat, keluarga jauh. Praktis, tidak ada waktu luang untuk istirahat selama hari liburku. "Mungkin karena saking bangganya punya anak. Wajarlah," kataku dalam hati.

Maka, begitu Lebaran tiba, bayangan istriku sudah ada di kampung halamanku. Bagaimana nanti malaikat kecilku yang dibangga-banggakan akan dikenalkan ke seluruh keluarga besar Tuban. Tapi rencana untuk pulang kampung itu banyak ditentang. Baik tetangga, keluarga maupun teman. Alasannya sederhana. Anakku masih terlalu dini untuk diajak bepergian jauh. Sangat riskan jika harus naik angkutan umum berdesak-desakan dengan orang lain. "Kamu bisa bayangin bagaimana jika anakmu berkumpul dengan orang-orang yang memiliki riwayat penyakit berbeda-beda. Ya kalau sehat semua. Bagaimana jika ada yang sakit lantas menularkan lewat udara. Kalau mau mudik masih bisa ditoleransi jika naik kendaraan pribadi," saran seorang teman. Tapi saran apapun yang melarang membawa anakku mudik ke kampung tak membuat istriku goyah. Aq sendiri juga memberi masukan untuk mempertimbangkan bagaimana jika tak mudik saja. Toh itu justru menguntungkan. Biaya transportasi Jakarta-Tuban PP yang menghabiskan sekitar Rp 3 juta bisa ditabung. Apalagi nyari tiket kereta juga susah. "Ga ah..pulang aja. Tar nenek ama uyutnya nyari-nyari. Kan belum lihat Najwa. Mereka kan mau nggendong," kata istriku tetap ngotot. Dalam hati, aq berpikir, apakah ini keegoisan orangtua atau justru bentuk kasih sayang sekaligus pembelajaran bagi anakku. Pertanyaan itu aq biarkan mengambang tanpa jawaban.
Senin (29/9) kami akhirnya mluncur naik KA Gumarang eksekutif dari Stasiun Gambir. Kami dapat kursi paling belakang, gerbong paling belakang kursi duduk 13C dan 13D. Pukul 18.00, kereta melaju dengan pelan. Untungnya, malam itu, penumpang KA masih wajar dan tidak terlalu membeludak. Sehingga tidak ada yang duduk di bawah atau di lorong-lorong. Selama perjalanan, Najwa seperti baru menyesuaikan diri. Maklum, perjalanan itu termasuk yang pertama sejak dia lahir. Kereta terus melaju, gerbong paling belakang terus bergoyang-goyang keras. Kulihat mata lentiknya hanya terpejam sesaat lalu terbuka kembali. Begitu seterusnya hingga tengah malam. Mungkin dia membayangkan kenapa ada goyangan terus menerus. Padahal, saat tidur di rumah, hal itu tidak pernah terjadi. Tapi Najwa tidak rewel lantaran gerbong sangat sejuk dilengkapi AC. Selama 12 jam perjalanan, kami bergantian menggendongnya. Jika terbangun dan nangis, mamanya langsung menepuk2 badannya atau jika tidak mempan langsung memberinya ASI. Lalu kami gantian menggendongnya di pangkuan. Selama perjalanan, kami selalu membisiki kupingnya. "Jangan rewel ya nak. Kita mo mudik pulang kampung. Najwa harus kuat, harus sehat. Biar nanti bisa ketemu uyut di kampung. Kalau adek kuat, nanti gantian pulang kampungnya ke Ambon," kataku dan istri memberikan spirit.

Alhamdulillah, pukul 05.00, kami kereta sudah masuk di Stasiun Bojonegoro. Sesaat kami menunggu karena jemputan belum tiba. Setengah jam kemudian, de tatho (adik sepupu), Ida (adik kandung) ama pak ten ira (paman) jemput kami dengan tiga sepeda motor. Sampai di rumah, semua keluarga menyambut dengan hangat untuk melihat malaikat kecilku. Semua bergantian menciuminya lalu menggendongnya. Oleh-oleh lebaran berupa baju koko, sarung, jilbab, baju langsung dibagikan habis. Istriku terlihat sangat gembira dan bangga anaknya dilihatin banyak orang.
Memasuki hari kedua di kampung, Najwa nangis tak henti-hentinya. Bukan nagis biasa, tapi histeris. Semua kaget. Ibu bapak yang tidak biasa melihat tingkah sang bayi panik luar biasa. Begitu juga Shelvia Jaflaun istriku. "Biasanya di Jakarta tak pernah nangis seperti itu," kata istriku kehabisan akal menenangkan Najwa Syifa anakku yang dari siang hingga sore tak henti-hentinya menangis.
Memang hari kedua lebaran, panas terik matahari di kampungku Prambon, Soko, Tuban, Jawa Timur panasnya luar biasa. Kipas angin yang dipasang tak mampu menepis hawa panas yang merasuk hingga ke dalam rumah. Najwa terus menangis dan menunjukkan sikap gelisah yang luar biasa. Semua bergantian untuk menggendongnya. Tapi tak satupun yang berhasil menghentikan tangis histeris Najwa kecilku. Saking lamanya menangis, muka anakku menjadi keluar bintik-bintik merah. Aq mencoba membawanya ke belakang rumah. Siapa tahu dengan mendapat angin segar karena banyak pohon bisa menenangkannya. Tapi Najwa hanya berhenti menangis sebentar. Lalu rewel lagi. "Ga papa. Merah2 di keningnya itu hanya karena kepanasan. Tar juga hilang," kataku menenangkan istriku yang ikut panik.
Karena udara sangat panas, Najwa menjadi sensitif. Memasuki hari ketiga, anakku sudah mulai bisa menyesuaikan diri. Tapi, dia terlihat manja. Jika ada yang mengusiknya sedikit saja, nangisnya luar biasa dan tak mau berhenti. Apalagi, jika mamanya menyedot ingus di hidungnya atau kelamaan memakaikan bajunya. "Siapa yang ngajari begitu. Mama tidak pernah mengajari cengeng," kata istriku terkadang kesal.
Tapi aq bilang ke istriku. Najwa itu sensitif seperti ayahnya. Badan boleh body Ambon, tapi hati dan perasaannya seperti orang Jawa. "Ya kayak ayahnya itu. Makanya kalau apa-apa jangan kasar. Pelan-pelan, yang halus, jangan dikasarin, jangan dibentak. Ayahnya juga sama, jangan digituin," kataku setengah ngomel.

Sabtu (4/9) kami memutuskan kembali ke Jakarta. Setelah menghadiri reuni keluarga Maskur-Maslehah di rumahnya Kakmuh Tuban, kami langsung meluncur ke Stasiun Bojonegoro menunggu KA Gumarang yang akan meluncur ke Gambir. Kabetulan kami dapat tiket bisnis. Karena eksekutif ludes semua sampai tanggal 13 Oktober.
Dalam kereta, suasananya memang sangat tidak nyaman. Panas, ditambah penumpang berjubel. Ada yang lesehan di lantai, ada yang tiduran di lorong-lorong, ada juga yang berdiri bersandar bangku tempat duduk. Najwaku mulai rewel2. Rambut kepalanya sebentar penuh keringat setelah dilap dengan tangan. Tidurnya pun tidak tenang. Sebentar-bentar bangun dan menangis. Yang lebih membuat istriku marah-marah, kereta setiap stasiun berhenti. Meskipun itu stasiun kecil sekalipun. Praktis, perjalanan ke Jakarta terasa sangat lama. Hal itu baru pertama kali terjadi. Sebab, tahun2 sebelumnya, KA Gumarang melaju dengan kencang. Hanya berhenti ketika memasuki stasiun besar. Seperti Purwokerto, Tegal, Semarang dan Cirebon. Selain itu hanya lewat saja.
Meskipun telat tiga jam, akhirnya kami sampai juga di Jakarta. Jika sesuai jadwal, KA Gumarang sampai di Gambir pukul 06.30. Tapi baru tiba pukul 08.30. "Ya memang semua kereta telat mas. Soale harus antre dengan kereta di depannya. Banyak KA ekonomi yang diluncurkan," kata Kahumas PT KA Daops 1 Jabotabek Ahmad Sujadi ketika kami bertemu di pintu keluar stasiun.
Perjalanan itu memang sangat melelahkan. Terutama pada anakku. Tapi alhamdulilah, Najwa sampai di rumah tidak menunjukkan gejala yang tidak mengenakkan. Semoga itu bisa menjadi pembelajaran bagi anakku di masa yang akan datang. Terlepas karena keegoisan orangtuanya atau karena kasih sayangnya.

You are all that we need Najwa Syifa.

Saat teringat cerita mudik malaikat kecilku, 6 Oktober 2008

8 komentar:

LonelyWanderer mengatakan...

cerita yang sangat menegangkan.. tp untung si kecil gak papa.

gak kebayang juga tuh, bawa bayi naek KA bisnis. Yang udah segede aku aja rewel, apalagi yang gak bisa jalan sendiri.. :D

samsulbahri mengatakan...

Kawan, catatanmu ini seperti mengajak saya melihat pengalaman yang paling dalam menyangkut sisi pribadi dari apa yang disebut "suka duka kehidupan berumahtangga."

Ibnul A'robi mengatakan...

Don't be afraid about it! God knows what the best things for us, is'nt it? whatever the reason is, life must go on..
Kita punya rencana, Tuhan yang menentukan...tapi ada yang paling menentukan, yaitu lo dukunglah!

Ibnul A'robi mengatakan...

Pak sam kan gajinya dah 5 juta, jadi cari alasan apa lagi untuk menunda perkawinan.. kelamaan bisa2 kereta keburu meninggalkan stasiun

samsulbahri mengatakan...

Kawan, 5 M. just a myth. It is not certain. Oke, tulisan-tulisan personalmu akan memberi banyak pelajaran buat saya.

Unknown mengatakan...

Yaelaaah timbang penantian 2 taon mah ga panjang.

Unknown mengatakan...

Yaelaaah timbang penantian 2 taon mah ga panjang.

Unknown mengatakan...

Yaelaaah timbang penantian 2 taon mah ga panjang.