13 Oktober 2008

Menangis di Tanah Terakhir...


Warga yang tinggal di Taman BMW telah kiamat. Penggusuran yang dilakukan aparat Satpol PP Pemprov DKI seperti tak lekang oleh waktu. Setidaknya, sudah tiga kali penggusuran di lakukan di tempat yang sama. Warga sepertinya juga tak pernah lelah. Bertahan dan terus bertahan. Hari ini digusur, mengungsi dan esok kembali lagi. Anak-anak korban penggusuran pun ikut pontang-panting bersama orangtuanya. Begitu ada penggusuran harus siap-siap pergi menjauh dan mengemasi seluruh keperluan sekolahnya. Tak jarang, brutalnya aparat membuat baju seragam sekolah atau peralatan lainnya tak sempat diamankan. Memang sejak kali pertama penggusuran dilakukan, warga yang tinggal di gubuk-gubuk kumuh tersebut terus berkurang. Hanya mereka yang idealis yang tetap bertahan. Siapa tahu ada keadilan. Siapa tahu ada kabar baik dari Komnas HAM. Atau siapa tahu Pemprov menjadi berbelaskasihan.
Tapi harapan tinggal harapan. Janji Komnas HAM untuk mendesak Pemprov DKI menghentikan penggusuran hanya janji enak didengar tak enak dinanti. Upaya hukum yang dijanjikan LSM dan LBH untuk menggugat Pemprov juga tak ada kabar kejelasannya. Semuanya hanya janji. Warga tetap saja digusur siang dan malam. Warga tetap saja dihantui kekhawatiran datangnya buldoser dan aparat Satpol PP yang garang-garang. Mereka tetap saja tinggal di rel. Semua mengeruk keuntungan dari penderitaan yang tak pernah ada habisnya.
"Salahnya sendiri mereka tidak mau tinggal di rusun. Siapa suruh percaya pada provokator. Coba lihat warga yang tinggal di rusun Marunda. Mereka adalah bekas tinggal di kolong tol semua. Buktinya, sekarang mereka enak," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto.

Penggusuran ribuan warga di Taman BMW memang membawa penderitaan tak berkesudahan. Terutama bagi anak-anak. Penyakit yang datang akibat lingkungan yang tidak sehat semakin menjadi-jadi. Hal itu belum lagi manusia kecil itu harus menyesuaikan orangtuanya yang tak menentu. Hari ini mendirikan gubuk di seberang rel, besok sudah harus pindah di seberang kali. Begitu mahalnya harga yang harus ditanggung untuk bisa tinggal di Jakarta. Bahkan, untuk bisa tetap sekolah pun, anak-anak korban penggusuran itu terpaksa tidak pakai seragam. Jika di sebuah sekolah ada siswa yang kucel tanpa seragam, sudah bisa dipastikan itu adalah anak-anak korban penggusuran Taman BMW. Ribuan warga yang tinggal di kawasan tersebut memang dilematis. Bagaimana mau tinggal di rusun jika Pemprov hanya menyaratkan yang punya KTP DKI. Bukanya ngurus KTP bagi warga yang tinggal di kawasan kumuh sulitnya minta ampun. Anehnya, justru mereka masuk dalam daftar RT atau RW setempat. Buktinya, setiap ada pemilihan dari tingkat RT hingga Gubernur, suara mereka menjadi rebutan. Jika disurvey pro kepada sang calon langsung dibuatin KTP, jika tidak sudah bisa ditebak ga bakalan namanya bisa tercatat. Meskipun punya KTP sekalipun.

Lalu apa mereka harus pulang kampung? ya kalau di kampung ada tanah atau rumah untuk bisa tinggal, keluarga pun bisa jadi mereka sudah tidak punya. Itu lantaran mereka rata-rata telah tinggal di Jakarta puluhan tahun. Lalu kemana mereka harus tinggal untuk bisa survive jika tanah terakhirnya terus digusur dan digusur.
"Kami sudah memiliki program yang terencana untuk pengentasan kemiskinan. Ada gakin, pendidikan gratis, PPMK di tiap kelurahan yang anggarannya miliaran," kata Wagub yang diamini Sekda Muhayat.
Yah, itu memang benar. Tapi apakah petinggi-petinggi Pemprov itu tidak tahu. Anggaran pemberdayaan yang digembor2kan itu hanya menyentuh kalangan menengah. Bahkan, terkadang dimonopoli kalangan atas yang jelas2 berduit dan tinggal di rumah mewah. Kondisi itu terus dibiarkan lantaran Pemprov tidak ingin dana yang dikucurkan menguap begitu saja. Jika dipegang warga yang telah memiliki usaha mapan, modal pasti bisa kembali. Jadi ga mungkin dana PPMK diserahkan warga yang jelas2 untuk rumah pun tidak punya. Lalu sisi mana pemberdayaan warga miskin itu? biar rumput yang bergoyang yang menjawab.

Yang jelas, yang miskin akan tetap miskin. Yang kaya akan semakin kaya. Karena, tinggal di tanah terakhir di Jakarta begitu mahalnya.
Maka, siap-siap saja jika 24.375 kepala keluarga yang menempati 21 kawasan ilegal di Jakarta Utara lainnya mendapat gusuran yang sama. Karena itu sudah menjadi nasibmu warga miskin yang tinggal di Jakarta.
Siapa suruh datang ke Jakarta. Begitu lagu yang selalu terdengar di TV swasta yang membuat hati semakin pilu ketika dari jauh terdengar raungan mesin buldoser.

Bengong saat menunggu Wagub rapim, 13 Oktober 2008

3 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Judul tulisan ini menarik, touching deep soul bgt. Btw, ada bagian ditulisan ini yg kedengerannya sprti kebalikan semboyan Majalah Tempo. Tempo: Enak Dibaca dan Perlu // Janji KOmnas HAM: Enak Didengar, tak Enak Dinanti..// he3X. Soal penggusuran? smpe kiamat pemprov DAKI gak bakal nyerah.
Solusinya, pindahin ibukota negara. Jgn di Jkt lagi. Cari di Kulonprogo kek, ato di Gunung Kidul.
Lah, macam Pakistan gitu, kan. Dulu ibukota negara Pakistan di kota pantai, Karachi. Sehubung kondisi tambah ruwet, akhirnya dipindah ke Islamabad.
Bagemana, sutubuh, kan?

another blog of mine can be reach at www.myid.blogdetik.com // isinya cuma catatan harian aja. Skrg Q jd pnjaga 2 blog, kwan.

Ibnul A'robi mengatakan...

yup, dulu pernah aq gagas mpe runing terus. sampe DPR RI sudah sepakat. tapi kendalanya, kalau mindah ibukota butuh biaya besar. that the problem. DPR sepakat asal pemindahan ibukota tak menggunakan dana APBN. So, selama urbanisasi msh terus berlangsung, penggusuran tak akan pernah berhenti. BTW, dah kerasan belum di kota seribu angkot?

samsulbahri mengatakan...

Loh, kok kota seribu angkot? ato kota angkot Rp.1000? Bukannya kota hujan? he3x. Ya, kawan di sini langgam kehidupan lebih lambat drpd jakarta. Anyway, harga2 makanan menyamai jakarta.