14 Oktober 2008

Belajar Jadi Orangtua Bijak...


Pagi-pagi keributan kecil terjadi di kontraan kecilku. Antara sadar dan tidak sadar, terdengar tangisan bayi tepat di sebelah tempat aq tidur. Semakin lama, suaranya semakin keras. Karena masih terasa ngantuk, mataku hanya sempat melihat sekilas istriku lagi menyuapi Najwa anakku yang baru berumur tiga bulan. Suap demi suap terus dijejalkan dalam mulut mungil anakku. Tangis tanda pemberontakan terdengar semakin keras. Aq mencoba kembali memejamkan mata kembali. Tapi suara tangisan terus menderu dan menyayat hati.
Kubuka mataku lebar-lebar dan aq langsung bangun dari peraduan. Terlihat jelas Najwaku disuapin bubur ama mamanya. Tapi makanan itu seperti tidak bisa ditelan. Penuh di mulut anakku. Sambil terus menangis, Najwa mencoba meyakinkan mamanya dengan tangisannya tersedu-sedu. Agar mamanya segera menghentikan suapannya.Tapi malaikat kecilku seperti tak berdaya. Setiap bubur yang meleleh di mulut anakku kembali dimasukkan. Coba dipaksakan agar bisa tertelan. Anakku terus mengiba. Suaranya terdengar menyayat hati. Melihat itu, akupun langsung naik pitam. "Kalau ga mau ya jangan dipaksain. Toh makan bubur kan bukan saatnya. Baru setelah empat bulan ga papa disuapin terus. Udah hentikan," kataku setengah membentak istriku.
Istriku masih mencoba membereskan sisa-sisa bubur di mulut anakku yang belum tertelan. "Udah mama...udah..! jangan diterusin lagi. Kalau satu sendok ga papa. Wong ga mau kok dipaksain. Emang romusha yang dipaksa-paksa," kataku semakin kesal. Melihat kemarahanku meledak, istriku lalu menghentikan aksinya. "Ini juga satu sendok ayah," katanya membela diri.
Setelah diletakkan dari pangkuan ke tempat tidur, Najwa langsung aq gendong ke luar rumah. Aq ciumin, aq peluk dengan penuh kasih sayang. "Ayah sayang kamu nak. Apapun akan ayah lakukan demi kamu," kataku berbisik di telinga mungilnya. Najwaku hanya diam. Dia mencoba melihat sekeliling lewat mata lentiknya. Aq melihat ada sesuatu kebebasan di matanya. Dia mulai mau berbicara dengan bahasanya sendiri. Meracau entah apa artinya. Aq pun membalas kata-katanya dengan kata apapun yang bernada kasih sayang. "Najwa sekarang sudah gede. Cantik, pinter. Ga boleh rewel. Najwa anaknya ayah. Harus pintar. Harus bisa jagain mama," kataku lagi membalas racauannya.
Dari luar rumah, aq lihat mamanya beres2 di dapur. Terdengar sesuatu sedang digoreng. "Kasihan mamanya. Mungkin karena terlalu capek ngasih asi. Jadi untuk membantu terpaksa dikasih bubur untuk tambahan makanan," kataku dalam hati setelah kemarahanku reda. Aq ajak Najwa masuk kembali masuk rumah kontraan. Aq letakkan di karpet dengan bantal kecil di kepalanya. Aq nyalain TV. Sambil melihat berita di TVone, aq mencoba membaca koran hari ini. Tidak beberapa lama, mamanya datang. "Sini nak. Ayo mandi biar seger," katanya seperti kangen setengah kehilangan setelah aq marah-marahin.
Memang, sejak balik ke Jakarta usai mudik dari kampung, Najwaku semakin kuat minum asi. Sekali mimik, dia bisa berjam-jam. Jika dilepas selalu rewel. Praktis, jika sudah manja seperti itu, mamanya tidak bisa kemana-mana. Jangankan keluar rumah, untuk beres-beres rumah saja tidak sempat.

Jika sudah begitu, sepulang kerja pukul 22.00, dan aq melihat rumah masih berantakan, aq langsung beres2in sendiri. Baju, sampah aq angkut2in ke belakang. Aq ambil sapu lalu kubersihkan lantai rumah. Terkadang, melihat kelakuanku, istriku marah2. "Biarin tar mama yang beresin. Emang mama ga kerja apa. Seharian anakmu tuh netek mulu. Kalau dilepas nangis. Tidur harus ditemenin. Ditinggal rewel," katanya mencoba protes.
Apapun kondisi rumahku, aq males ribut. Apalagi untuk hal-hal yang kecil yang menurutku tidak ada gunanya diributin. Jika istriku sudah protes, semua langsung aq tinggal. Terkadang, jika terlalu capek, istriku jadi kesal. "Ayah ini, bentar-bentar ganti baju. Ini baru satu menit dipakai, dah ganti lagi. Mama capek. Dah kerjaan banyak, anak rewel-rewel terus," katanya menerangkan kondisinya. Jika sudah bilang begitu, aq menjadi ikut kesal. "Udah ga usah banyak ngomong. Apa yang bisa dikerjakan, kerjakan. Kalau ga bisa ya ga usah dikerjakan. Kerja itu yng penting ikhlas. Tanpa paksaan. Kalau ga bisa, tar aq sendiri yang ngerjain. Yang penting kamu ngurusin anak," kataku.
Biasanya, usai bertengkar seperti itu, setiap ada sesuatu yang ga beres di rumahku, langsung aq tangani sendiri. Nyuci, ngepel, beresin barang2 yang tercecer di kamar tidur, ruang tamu atau buang sampah ke belakang. Biasanya, juga kondisi sudah pulih seperti semula, istriku tidak lagi capek, kondisi lagi fit, perempuan ambon itu mulai bermanja2 lagi. "Ayah, tar Najwa dapat adik lagi kan," katanya merajuk. Mendengar itu, singkat aq langsung jawab. "Gak. Ogah. Gimana mau dapat adik lagi kalau ngurus Najwa aja masih belum beres. Kalau dah bisa buat najwa ga nangis, baru boleh ada adik," jawabku.
Untuk mengurus malaikat kecilku memang hanya ada istriku yang menjaganya di rumah. Sebab, untuk mencari pembantu susah. Si mbah yang pernah bantu2 di rumah hanya bertahan dua minggu. Karena sakit lalu izin ga bisa ke rumah lagi. Praktis, hanya istriku yang mengasuh anakku. Termasuk beres2 rumah.
Najwaku sendiri, jika kondisinya lagi fit tidak terlalu rewel. Setiap dibilangin jangan nangis kecuali lapar, dia menurutinya. Habis dikasih asi langsung tertidur pulas. Guling kecil dipeluknya erat. Badan mungilnya tertidur miring. Persis layaknya orang dewasa. Jika habis dimandiin sore hari, dikasih mimik, langsung tidur hingga tengah malam. Jika sepulang kerja belum bangun2 juga, aq ciumin hingga terbangun. Supaya mimik dulu biar ga bangun lagi sampai pagi.
Jika tidurnya lelap banget, pukul 04.30, baru bangun. Padahal aq sendiri masih terlelap. Soalnya terkadang, jika habis sholat n zikir, aq baru tidur pukul 03.00 dini hari. Jika pagi buta anakku sudah menendang2, lalu suaranya meracau, kami pun tidak bisa tidur lagi. Sebisa mungkin anakku mencoba membangunkan mamanya. Nendang2 ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mempan, dia menggunakan trik pura2 menangis. "hu..uuu..uuu,". Begitu aq bangkit dari tidur dan melihatnya, Najwaku malah tersenyum dan bicara meracau. "Udah deh kalau dah ngajak ngobrol pasti ga mau tidur lagi," kata istriku. Jika aq masih ngantuk banget. Aq bilang ke istriku untuk melilingnya. Atau jika mamanya kebetulan lagi capek, aq terpaksa bangkit dari tidur sambil mendekatkan wajahku ke mukanya. Karena saking ngantuknya, sesekali mataku aq buka, lalu terpejam lagi. Hanya untuk memastikan anakku ada teman untuk diajak bicara.
Najwa...Najwa...moga jadi anak pintar ya nak...semua harapan ayah, mama, jika saat ini belum kesampaian, semoga engkau bisa mewujudkannya kelak..

Ulujami, 15 Oktober 2008

2 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Anak-anakmu ibarat anak panah.
dan engkau adalah busurnya.
ia melesat jauh ke depan.
sementara engkau diam di tempat.

- kahlil gibran

LonelyWanderer mengatakan...

that's one cute and healthy baby.. ;)