18 Oktober 2008

Kemacetan di Tengah Kepulan Asap Sate Rawabelong

Kemacetan di Jakarta seperti sudah menyatu dalam kesibukan warganya. Hampir selama 12 jam penuh, kemacetan tidak pernah berhenti. Sejak jantung kota berdenyut dengan kencangnya pada pukul 06.00 pagi, hingga pukul 00.00 malam nyaris tak ada jalan yang tak macet. Paling tidak, jika tengah malam, kemacetan akibat ulah angkot2 yang ngetem sembarangan atau sengaja berhenti di tengah jalan sembari sopirnya tengok kiri kanan cari penumpang.
Jalur Kebayoran Lama, Rawabelong, Kemanggisan, Palmerah, Petamburan, Jatibaru, nyebrang Sudirman Thamrin tembus Kebon Sirih sudah ribuan kali aq lewati. Sebelumnya memang setiap kali akan meluncur ke kantor Gubernur DKI di Jalan Merdeka Selatan, aq selalu menggunakan jalur Palmerah, Slipi. Tapi saat ini, kemacetan di daerah itu sudah sangat parah. Angkot yang ngetem berjajar kiri, tengah, kanan sudah tidak tidak manusiawi lagi. Makian, cercaan tidak lantas merubah keadaan. Satu angkot yang berhenti menghadang di tengah jalan menyingkir, datang lagi angkot di belakangnya dan berhenti di tempat yang sama. Anehnya, mereka tidak menurunkan atau menaikkan penumpang. Tapi hanya sekadar ngobrol dengan sopir angkot lain yang terlebihdahulu ngetem di pinggir jalan. Alhasil, seluruh ruas jalan terhadang. Suara klakson, makian hampir menjadi rutinitas. Itu selalu terjadi setiap waktu sepanjang Palmerah depan Polsek, sepanjang pasar hingga Slipi. Belum lagi ditambah pedagang sayur yang sudah siang bolong tak kunjung bubar setelah berdagang sejak pagi buta atau bahkan tengah malam. Berhasil lepas terjebak kemacetan di Palmerah-Slipi, kemacetan di Petamburan siap menanti. Kemacetan semakin parah terus terjadi sepanjang pasar hingga stasiun Tanah Abang. Bukan hanya angkot yang ikut menambah runyam jalanan, para pedagang kaki lima hampir menghabiskan separoh jalan. Siapapun yang pernah lewat situ, pasti akan ngrasain yang namanya jengkel dan marah. Memang sekali melewati jalur itu, tidak ada pilihan lain. Sebab, pertigaan Petamburan yang biasanya terbuka tiba2 ditutup portal oleh Dinas Perhubungan DKI. Berulangkali kita kritik, bebal juga pejabat Dishub itu. Kasian juga yang tinggal di sepanjang Petamburan. Jika mengikuti aturan harus memutar jauh hingga jalan S Parman. Alih2 menghilangkan kemacetan di pertigaan itu, justru kemacetan di titik-titik lain semakin banyak dan menyebar. Penduduk setempat pun tak ambil pusing. Meskipun diportal, terjang saja daripada harus memutar jauh. Akibatnya, saat ini, pertigaan Petamburan justru menjadi kemacetan baru lantaran banyak warga yang nyelonong potong kompas. Tidak hanya bikin macet, tapi juga sering hampir terjadi tabrakan. "Sudah kami kaji secara mendalam," kata pejabat Dishub. Tapi dalam hatiku bilang "Mbel gedes. Trima laporan anak buah yang ABS doang ga tahu kondisi lapangan. Sekali kali dong terjun langsung pelototin seharian biar tahu kalau kebijakan menutup dengan portal adalah kebijakan bodoh,".
Lho, kok jadi marah2 sih...gimana ga marah kalau setiap hari harus telat hadiri acara gubernur gara2 terjebak kemacetan. Bayangin aj, masak dari Kebayoran Lama hingga ke Merdeka Selatan satu jam lebih. Edan tenan. Kembali ke cerita kemacetan.
Setelah kapok lewat Slipi, haluan kuputar arah. Kemanggisan adalah alternatif terakhir. Lumayan sih, jika macet paling2 setengah jam. Jika lancar, 15 menit sudah sampai. Tapi kadang2 di jalur tersebut juga sangat menjengkelkan. Terutama di setiap pertigaan. Jarak antar pertigaan tidak lebih dari 50 meter. Kemacetan paling parah ada di pertigaan Binus. Gara2nya, pak ogah yang nyambi cari duit dengan cara membantu mobil mewah menyeberang atau potong kompas setelah parkir. Dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Bahkan dari depan putar arah ke belakang. Yang lebih menjengkelkan lagi, sudah sabar ditunggu untuk menyeberangkan mobil mewah, masih saja tak tahu diri. Mobil mewah selanjutnya didahulukan dan berikutnya dan berikutnya. Padahal, kemacetan di belakang sudah 100 meter lebih. Jika satu macet, seluruhnya jadi macet. Sebab, kendaraan yang datang terus bertambah. Tidak hanya dari arah Kebayoran Lama tapi juga dari arah Kemanggisan. Pak ogah baru bersedia minggir setelah raungan klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga. Belum lagi yang emosi pasti akan mengumpat keras2. Yang sudah terbiasa paling2 hanya melihat2 jam tangan terus menerus sambil mencari2 celah siapa tahu bisa mendahului mobil di depannya.
Dari sejumlah pertigaan yang berada di sepanjang kawasan itu, menurutku, pertigaan Binus yang paling keterlaluan. Masih mending kalau pagi ada satpam kampus yang secara telaten mengatur jalan. Jika matahari sudah terbenam, praktis pak ogah yang berkuasa.
Malam itu kebetulan aq dah kelar liputan. Brita sudah dikirim semua. Arloji aq lihat sudah pukul 20.00. Artinya harus segera meluncur ke kantor. Apalagi saat baru beranjak meninggalkan Balaikota mas tir redaktur jakarta raya minta dibuatin brita lagi. Malam itu, sejak keluar dari kantor gubernur, jalanan sudah mulai macet. Merdeka Selatan, Indosat, KPUD, Hotel Milenium hingga perempatan Jatibaru hanya bisa merayap. Sekali jalan, berhenti lagi. Jalan sebentar berhenti lagi. Itu terus terjadi sepanjang jalan hingga Kemanggisan. Brita kemacetan sudah ribuan kali kita tulis bersama kawan2 yang lain. Dua bulan lebih, hampir setiap hari ada brita soal kemacetan. Ujung2nya, sadar juga gubernur ama kapolda. Operasi jala jaya untuk mengurai kemacetan pun digelar. 15 ribu personel diterjunkan. Tapi itu crita lama. Hanya berjalan tiga bulan. Setelah itu tak ada kelanjutannya hingga saat ini.
Back to pertigaan Rawabelong. Setelah berhasil berjalan merayap, motor bututku praktis tak bisa jalan lagi. Untuk menyelip ke kiri, dihadang angkot. Buntu ces. Untuk menyalip lewat kanan nyaris tak ada ruang mengingat kendaraan dari arah yang berbeda sangat mepet. Cukup untuk lewat satu mobil. Sebab, jika malam tiba, jalur tersebut nyaris hampir kepotong dua ruas dari arah utara. Dari selatan hanya tersisa cukup satu mobil. Jika angkot berhenti satu menit saja, kemacetan semakin tambah panjang.
Jika sudah begitu, klakson akan terdengar bersahut2an. Jika tidak sabar, suara2 sumbang akan terdengar. "Hoi, gantian hoi..". Dari samping teriakan terdengar. Disusul lagi teriakan di belakangnya yang memaki2 pakai bahasa indonesia dengan baik dan benar. Busyet deh. Jadi ikut2an emosi nih. Setelah berhasil menelikung ke kanan dan ke kiri mencari sela2 yang kosong sampai juga di ujung kemacetan. Pertigaan Rawa Belong. Malam itu asap sate mengepul menutupi hampur seluruh jalan. Baunya menyengat sekali. Pak ogah yang berdiri menghadang di tengah pertigaan persis tak henti2nya mencoba mengeruk keuntungan dari macetnya jalanan. Satu mobil mewah dikendarai seorang mahasiswi mencoba potong belok arah. Tapi terhadang. Pak ogah langsung sigap mengawal seraya menyetop kendaraan yang mencoba melintas. Selesai menyebarang, pak ogah terlihat mengintip di balik kaca pengemudi. Siapa tahu pemilik mobil memberikan recehan. Tapi yang didapat justru lambaian tangan. Dari wajahnya aq lihat kesal sekali dia. Lewatnya mobil tersebut aq coba gunakan untuk menerobos, tapi pak ogah dengan sigap lagi menghentikan laju motorku. Persis di samping tubuhnya hanya berjarak 30 cm. Untungnya aq langsung rem mendadak. Setelah kali ini, mobil dari arah sebaliknya dipersilakan melintas. Lagi2 usai menyebarangkan mobil itu, pak ogah hanya geleng2 kepala. Kaca samping kemudi yang diketok2 hanya dibalas lambaian tangan. Aq pun jadi marah sekaligus kasian. "Orang kaya pelit lo belain. Giliran motor lo hadang2. Emang ga tahu macetnya di belakang sana berapa panjangnya," kataku akhirnya kesal. Aq mencoba merogoh kantong jaketku. Siapa tahu ada uang ribuan yang bisa kuberikan pada pak ogah itu. Biar dia punya sadar dikit. Jangan hanya orang kaya yang diprioritaskan. Apalagi kalau pelit kayak gitu. Udah macetnya minta ampun, dibela2in, ngasih gopek aja kagak. Keterlaluan..!
Asap sate di pertigaan Rawabelong aq lihat masih terus mengepul. Ada yang menutup hidung, ada juga yang justru menghirupnya dalam2. Lumayan dapat bau sate.
Setelah berhasil melewati pertigaan Rawabelong, hatiku langsung lega. Sejauh mata memandang tak ada kemacetan lagi. Sementara di belakang sana, suara2 klakson masih aq dengar sayup2 sampai. Selamat jalan kemacetan. Sampai ketemu esok hari lagi. Busyet..pagi2 hari libur masih macet..untungnya si kecil ga rewel. Jakarta..Jakarta..

Penas, 18 Oktober 2008

3 komentar:

samsulbahri mengatakan...

Kawan, kabarnya ada program Car Free Day - trus apa efek jangka panjang acara seremoni semacam itu bagi tertanggulanginya kemacetan di jakarta? seharusnya bukan Car Free Day- tapi..?????? Car Limited Owned.

Ibnul A'robi mengatakan...

yoi. tapi itu cuma sudirman thamrin. itupun hanya hari minggu tiap akhir bulan. soal pembatasan kendaraan, pemprov blm berani. soalnya angkutan masal belum tersedia secara memadai. pemprov br berani sampai ada 15 koridor.
anehnya, setiap kemacetan, sepeda motor yg selalu dikambinghitamkan. sementara mobil yg jelas2 dikendarai satu orang bikin penuh jalanan. Three in one? itu hanya program bulshit unt mengeruk keuntungan oknum.
Angkot yang ngepul, ngetem sembarangan n terkadang bikin terminal bayangan sendiri, pejabat hanya janji2 tanpa realisasi. semua akan berjalan seperti apa adanya berkat jaringan sindikat jalan raya.
Ada yg protes? silakan saja ke terminal Blok M kalau pingin ngrasain mata pedih...

samsulbahri mengatakan...

wow, ternyata ada "terminal bayangan" juga? Baru denger tuh. Istilah itu menarik sekali. Hmm..