23 Agustus 2008

Sweeping itu Mengatasnamakan Agama


Ancaman kerusuhan kembali mengintai. Forum Betawi Rempug (FBR) melalui ketuanya Fadholi El Muhir mengancam akan kembali menggelar sweeping tempat hiburan malam di Jakarta selama bulan puasa. "Karena ini kehendak masyarakat. Perintah agama untuk memerangi kemungkaran," katanya dengan suara meledak-ledak.
Ibukota memang bukan tempat eksklusif. Tidak seperti di kampungku Tuban, Jawa Timur. Yang hanya dipenuhi kaum bersarung dan berkopyah. Aktivitas sehari-hari masih sangat sederhana. Datang ke masjid untuk sholat dan berzikir saat azan menyapa, atau datang ke tempat tetangga untuk slametan saat ada hajatan kematian atau kawinan. Selain menjalankan rutinitas keagamaan (untuk tidak menyebut agama karena ada unsur sosial budaya di dalamnya), warga di kampungku hanya datang ke sawah untuk bertani atau ke pasar untuk berdagang. Semuanya serba terukur. Ini merupakan perpaduan unik yang Clifford Geert tulis antara Islam abangan versus santri. Perpaduan unik itu direkatkan oleh simbol budaya Jawa yang oleh Frans Magnis Suseno sebut sebagai harmonisasi sosial. Dalam berinteraksi sosial, simbol budaya bahkan lebih dinomorsatukan daripada mengedepankan simbol agama yang diadopsi dari budaya arab jahiliyah. Bisa menghindari konflik dianggap prestasi untuk bisa disebut sebagai Wong Jowo. Sebaliknya, terjerumus dalam konflik bisa disebut gagal menjadi bagian dari entitas etnis budaya. Kowe ra Njowo, kata orang Jawa Timur. Atau kalau di Jogja sering terdengar "wagu". Semua bermakna kontrol sosial yang hadir dari budaya untuk menciptakan harmonisasi sosial.
Jika melihat kondisi tersebut,Jakarta sebagai Ibukota sangat jauh berbeda. Jakarta menjadi gula bagi semut. Semua entitas ada di sini. Yang menjadi tujuan bukan lagi menjalankan rutunitas keagamaan atau menciptakan harmonisasi sosial. Tesis Clifford Geert sudah tidak berlaku lagi. Tesis Frans Magnis Suseno hanya berlaku untuk sebagian kecil masyarakat saja. Di Ibukota, agama baru adalah kekayaan, kekuasaan serta prestise. Siapa yang kuat menggerus yang lemah. Tidak hanya pemegang kekuasaan struktural, tapi juga ormas yang dibentuk atas nama etnis budaya setempat.
Aq tidak tahu persis bagaimana kedalaman budaya Betawi. Apakah ada nilai sosial yang luhur seperti harmonisasi sosial bagi orang Jawa atau tidak. Tapi dari berbagai buku dan penuturan warga setempat, nilai itu jelas masih ada. Cuma banyak tergerus pengaruh luar. Tak heran, bagi yang tidak mengetahui inti budaya Betawi, yang terlintas dalam pikiran selalu negatif. Maklum, itu terlihat dari sejumlah ormas Betawi yang kerap bertindak anarkis dalam menyikapi setiap persoalan.
FBR misalnya. Ormas yang didirikan berlatarbelakang Betawi itu terhitung ormas garis keras. Anggotanya dari kalangan awam tapi di tingkat elit didominasi kelompok santri. Itu terbukti banyak kyai di dalamnya.
Perpaduan itu menghasilkan warna abu-abu. Perjuangan yang digembor-gemborkan demi masyarakat justru meresahkan lantaran tidak sedikit diwarnai aksi anarkhisme. "Itu oknum," kata Fadholi.
Tapi bagaimana jika seruan untuk bertindak anarkhisme disorong oleh pimpinan ormas yang notabene mengenal lebih dalam masalah agama. Seperti rencana sweeping tempat hiburan saat Ramadhan. Amar makruf nahi munkar. Islam harus ditegakkan. Kemaksiatan harus diberantas. Begitu kata Fadholi untuk membenarkan aksinya. Kuatnya dorongan untuk bertindak semakin dipicu banyaknya hiburan malam yang tidak menghormati bulan Ramadhan. Tarian telanjang, panti pijat plus, spa plus yang banyak mengumbar syahwat dengan mudah didapati di diskotik, bar, pub, kafe remang-remang dan bahkan di pinggir jalan sekalipun. "Karena mereka juga dibekingi aparat, kami siap bentrok," kata Fadholi yang tidak percaya i'tikad baik aparat keamanan.
Lagi-lagi aq mencoba membandingkan dengan kondisi realitas sosial di kampung-kampung Jawa. Isin, malu dan sungkan. Nilai sosial itu di Jakarta bukan menjadi landasan untuk terjadinya harmonisasi. Isin, malu dan sungkan justru menjadi pangkal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelanggaran akan menjadi kebenaran jika ada yang bayar (jika tidak terbongkar di hadapan publik). Tidak hanya di tingkat pebisnis, tapi juga aparatur pemerintahan.
Afsus salam bainakum. Sebarkanlah salam kedamaian kepada sesamamu barangkali bagi Fadholi dan anak buahnya sulit diimplementasikan ketika melihat pelanggaran dan kebenaran dijungkirbalikkan. "Alah itu alasan mereka saja untuk dapat setoran," kata seorang kawan nyeletuk.
Terlepas ada atau tidak misi negatif, nilai sosial budaya Betawi dan nilai ajaran Islam ditafsirkan dengan cara yang paling luar. Hanya mengadopsi kulitnya saja yang notabene warisan budaya jahiliah.
Jihad Nabiyullah Muhammad SAW yang sebenarnya adalah jihad melawan diri sendiri. Insting dasar manusia untuk memberontak atau menguasai yang lain, nafsu untuk memenuhi kebutuhan perut semata atau untuk memenuhi kebutuhan selangkangan. Atau yang lebih tinggi untuk mendapatkan prestis sosial. Hadza jihadul akbar (ini adalah jihad yang lebih besar dan jihad sebenarnya) kata Nabi. Perang di zaman nabi terpaksa dilakukan kepada kaum kafirin dan munafikin karena tidak menghormati kedamaian. Nabi sangat hormat terhadap golongan lain non Islam yang menghormati kedamaian (kafir dzimmi). Mengganggu mereka berarti mengganggu Nabi.
Lalu apakah bisa dibenarkan jika ormas-ormas garis keras itu kemudian melakukan sweeping mengatasnamakan agama demi menjaga kedamaian? jawabannya jelas tidak. Sebab, masih ada i'tikad baik aparat keamanan dan pemerintah setempat.
Bagiku, jika mengacu perkataan Nabi, melakukan kekerasan di tengah kedamaian adalah kedholiman di atas kedholiman. Terlepas mereka Islam atau tidak, berbuat maksiat atau tidak. Wallahu a'lam bishowab.

Ulujami, 23 Agustus 2008

Tidak ada komentar: