23 April 2008

Wahai Siswa, Bersiaplah Tidak Lulus?


Ribuan siswa yang ada di DKI tampaknya harus lebih rajin belajar. Tidak hanya pada saat menghadapi ujian nasional, tapi juga selama menjalani proses belajar di sekolah. Pasalnya, standar kelulusan tidak hanya ditentukan oleh hasil ujian nasional, tapi juga ujian sekolah, nilai rapor serta budi pekerti siswa. Jika salah satu dinyatakan gagal, seluruh mata rantai uji kompetensi itu tidak ada artinya. Sebab, pihak sekolah akan langsung menyatakan diskualifikasi alias siswa dinyatakan tidak lulus. Praktis, dengan adanya standar tersebut, beban berat siswa untuk bisa mengantongi nilai tinggi semakin besar. Belum lagi, standar untuk ujian nasional sendiri juga naik dari 5,0 menjadi 5,25. (Begitu aq menulis di Harian INDOPOS, 24 April 2008).
"Meski standar kelulusan dinaikkan, kami optimistis, siswa DKI tetap bisa menjangkaunya dengan melihat tingkat nilai kelulusan SMA tahun kemarin 98,85 persen. Artinya, hanya 1,15 persen yang tidak lulus," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo disela-sela sidak di SMAN 39 Cijantung, Jakarta Timur.
Selain SMA, tingkat kelulusan SMKN juga di atas rata-rata sebesar 94,50 persen, SMA swasta 93,53 persen serta SMK swasta 92,17 persen.
Sementara, nilai rata-rata kelulusan tahun lalu juga di atas rata-rata. Dari hasil ujian nasional diperoleh, nilai SMAN 7,80, SMKN 7,33, SMA swasta 7,32 serta SMK swasta 7,08.
Naiknya kriteria standar kelusan dari 2007 hanya 5,00 menjadi 5,25, diharapkan bisa memotivasi siswa agar bisa lebih giat dalam belajar. Pihaknya juga mengimbau kepada orang tua siswa agar tidak takut dan khawatir terhadap anaknya yang tidak lulus sekolah. Naiknya standar kelulusan bukanlah momok. Sebab, dengan adanya pengalaman tahun lalu, tingkat kelulusan tahun ini dipastikan bisa naik. Meskipun, untuk mencapai 100 persen kelulusan masih banyak kendala.
Untuk mengikuti ujian nasional itu, seluruh biaya digratiskan. Biaya untuk ujian yang digelontorkan 5,4 miliar. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi kepala sekolah untuk menarik biaya ujian kepada siswanya.
Bagi siswa yang sakit, ada toleransi untuk mengikuti ujian susulan. Atau, jika siswa yang bersangkutan sanggup, bisa digelar ujian di rumah sakit. Jika ada yang ditahan, ujian juga bisa digelar di tempat penahanan itu.
Menurut ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Seto Mulyadi, peningkatan standar kelulusan itu sebagai uji kompetensi kemampuan siswa. Seluruhnya sudah melalui pengujian yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Sehingga, nilai antara siswa satu daerah dengan daerah lain bisa diukur dengan standar yang sama. Bahkan, kata dia, di Malaysia saja, saat ini nilai standar kelulusan antara 7 hingga 8. "Buktinya, mereka mampu. Ini untuk pembelajaran agar ketika keluar dari sekolah bisa belajar legowo. Berani menanggung segala resiko saat menghadapi segala persaingan. Menang atau kalah tergantung usaha," terangnya.
Pembuatan standar nasional itu juga dimaksudkan agar masing-masing sekolah tidak menentukan standar seenaknya. Pengawasan dilakukan dengan melibatkan para pakar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi.
Kepala Dinas Pendidikan Tinggi (Dikmenti) DKI Margani M Mustar menyatakan, jumlah sekolah yang menjadi penyelenggara ujian nasional sebanyak 1.065 sekolah. Tingkat SMA 453 sekolah, SMK 537 sekolah, SMALB 5 sekolah serta MA 70 sekolah.
Sedangkan siswa yang mengikuti ujian nasional sebanyak 118.929 siswa. Rinciannya, SMA sebanyak 57.145 siswa, SMK sebanyak 57.731 siswa, SMALB sebanyak 42 siswa serta MA sebanyak 4.011 orang.
Menurut Margani, ujian nasional tahun ini memang ada penambahan mata pelajaran. Jika sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, saat ini ada tambahan seperti Kimia, Fisika, Biologi untuk program IPA; Geografi, Ekonomi, Sosiologi untuk program IPS serta Sastra Indonesia, Bahasa Asing dan Sejarah Budaya untuk program Bahasa.
Begitulah situasi pendidikan di Ibukota saat ini. Ribet ga? kalau kalian yang memiliki kemampuan rata-rata sih oke-oke aja. Atau yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata tapi memiliki doku yang tebel bisa ikut kursus atau les privat tambahan. Tapi bagaimana jika mereka golongan yang tidak mampu. Bagaimana dengan mereka yang sakit hingga tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti pelajaran hingga nilai jeblok. Bagaimana dengan mereka yang membantu orangtuanya mencari nafkah hingga tak sempat belajar karena kecapaian. Pagfi sekolah, siang hingga malem ikut mengais rezeki. Lalu malamnya ketiduran karena kecapaian. Tapi itu mungkin tidak terlalu menjkadi peersoalan dan bisa diantisipasi.
Tapi bagaimana dengan sentimentil seorang guru. Bukankah nilai yang ditetapkan itu sangat subyektif. Mungkin tidak semua. Tapi setidaknya setiap sekolah pasti ada seorang guru dengan karakter seperti itu. Besar kecilnya nilai atau baik buruknya nilai tidak diukur berdasarkan kemampuan kita. Tapi lebih pada suka atau tidak suka.
Jika itu terjadi dan mempengaruhi nilai rapor kita, nilai ujian kita, apakah itu yang disebut ujian kehidupan seperti apa yang disebut Kak Seto biar siap menghadapi kehidupan sebenarnya jika kelak kita lulus dari sekolah. Atau yang disebut Kepala Dinas Dikmenti sebagai ujian mentalitas, atau yang disebut Gubernur DKI Fauzi Bowo sebagai uji kemampuan asah fikir.
Mungkin ini hanya subyektifitasku. Dan semoga di sekolah DKI itu tidak terjadi. Dari pengalamanku saat sekolah dulu. Tepatnya di MTSN Bojonegoro I. Ada seorang guru pengajar bahasa daerah yang sangat tidak profesional. Nilaiku sempat jeblok gara-gara ada temen satu kelasku yang disukainya. Kebetulan saat itu aq akrab dengannya. Gara-gara kedekatan itu, aq sempat ditampar dan aq dikasih nilai yang bagiku sangat memalukan dan tidak sesuai kemampuanku. Begitu juga dengan pelajaran Fisika dan Biologi. Satu buku yang kuhafal dan kutularkan dengan memberikan contekan ke temen satu kelas saat ujian ternyata berbuah simalakama. Siapa sangka jika temen yang aq beri contekan tidak ada yang nilainya di bawah enam. Seluruhnya delapan atau minimal tujuh. Tapi apa yang kudapat. Aq mendapat nilai yang sangat tidak pantas. Gara-garanya cuman satu. Guru itu sangat tidak suka ulahku yang katanya dianggap terlalu angkuh dan sombong sok mengerti pelajaran. Sebagai guru, dia merasa diremehkan. Bukankah seluruh PR yang dia berikan selalu kukerjakan dengan baik. Bukankah setiap dia ngoceh kita dengarkan baik2. Lalu apa yang salah? apakah hanya karena tidak suka kemudian nilai jadi anjlok.
Ternyata, kasus-kasus seperti itu tidak hanya terjadi pada saat SMP. Saat SD pun pernah aq alami. Pernah aq maki-maki seorang guru matematika karena aq anggap tidak becus mengajar dan aq laporin ke kepala sekolah karena bikin nilaiku dan nilai temen2 satu kelas jeblok. Kenapa? karena saat diajar guru yang lain pada mata pelajaran yang sama, hampir seluruh siswa memahami dengan baik dan mendapat nilai yang bagus. Tapi kenapa diajar oleh satu orang ini semua siswa menjadi korban. Hal yang sama juga pernah aq alami saat di SMA, bahkan hingga kuliah sekalipun.
Jika seperti itu, lalu siapa yang bakal dirugikan dengan adanya empat kriteria kelulusan yang tak terbantahkan. Satu tahap nilai dianggap jelak, otomatis semua ujian tidak ada gunanya. Jika sampai ada siswa yang mengalami seperti yang pernah aq alami, siap-siap saja tidak lulus?


Usai mengikuti sidak UN bersama Gubernur, 24 April 2008

Tidak ada komentar: