07 April 2008

Matahariku Bersinar Lagi


Sejak datang Ibukota 2005 lalu, aq sudah jarang bisa melihat matahari. Maklum, tuntutan liputan memaksa berangkat pagi dan pulang malam. Aq terkadang sedih, aq berangkat liputan istriku masih tidur, pulang dari kantor, istriku sudah tidur lagi. (Masya Allah.. inilah duniaku saat ini).
Tapi pagi kemarin, aq bisa melihat matahari lagi. Kebetulan, setiap Sabtu aq libur, sementara Minggu kebetulan liputan santai. "Nak besok ayah bangunin pagi-pagi ya, kita jalan-jalan," bisikku kepada calon anakku malam menjelang tidur.
Maksudku sih becanda. Eh, tahunya benar. Pagi-pagi buta istriku bangun. Katanya sih calon anakku yang ada dalam kandungannya terus menendang-nendang bangunin mamanya. "Tuh kan, pasti kalau ayah janjiin anaknya suruh bangun pasti gitu. Nendang2 mulu. Ayo bangun. Ni kalau ga percaya," kata istriku sambil menempelkan tanganku ke perutnya. Yah, memang benar. Setiap dua detik, ada sebuah gerakan yang berontak. Entah itu kakinya atau tangannya aq ga tahu. Tapi sejak calon anakku bisa menendang perut mamanya, si kecil menjadi alarm bagiku. Jam berapapun aq minta dibangunin, selalu saja dia bisa nendang tepat waktu.
Pagi itu pun dengan berat hati aq terpaksa bangun untuk menemani istriku jalan kaki menyusuri jalan setapak di kampung Ulujami tempat aq kontrak rumah. "Tidak apa-apalah, hitung-hitung sambil beli koran atau beli sarapan," kataku dalam hati.
Sejak istriku hamil, perempuan keturunan Ambon itu memang rajin jalan kaki. Kata orang sih biar gampang saat kelahiran dua bulan mendatang. Begitu kata istriku.
Setelah berjalan jauh, aq terkaget. Aq lihat matahari bersinar dengan terangnya. Hampir-hampir aq ga bisa lihat jalan di depan. "Masya Allah, baru kali ini aq lihat matahari. Sudah berapa tahun ya, aq ga lihat matahari," gumamku dalam hati.
Maklum, tuntutan liputan terkadang membuatku stres. Jika tidak, mungkin badanku yang terasa sangat capek. Jika ada liputan pagi, saat sidak Gubernur misalnya. Jika berangkat matahari sudah muncul dipastikan akan telat karena terjebak dalam kemacetan. Aq sudah semakin hafal, macet selalu terjadi pukul 06.00-08.00, pukul 09.00-10.00 serta pukul 11.00-12.00. Selebihnya pukul 13.00-14.00 serta sore pukul 16.00 hingga pukul 19.00.
Aq senang sekali pagi itu bisa melihat matahari. Dalam hati aq berkata inilah matahariku yang akan muncul ke dunia menghiasi langkahku. Menemani jalanku yang terseok-seok mencari nafkah di Ibukota demi sesuap nasi. Kemiskinan adalah momok. Bagi siapapun itu. aq, kamu atau mereka yang mati2an untuk bisa bertahan hidup. Menjadi kaya bagiku bukan diukur banyaknya kita memiliki segepok rupiah. Bagiku, kaya berarti kita hidup berkecukupan. Bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan bisa membantu orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Tapi tragisnya, meski hidup di Ibukota pas-pasan, selalu saja banyak orang beranggapan kita hidup berkecukupan. Setiap ada persoalan, mereka selalu saja menganggap kita sebagai invisible hand. "Mungkin itu takdir, kita dijadikan penolong bagi orang-orang di sekitar kita yang sedang kesusahan. Semoga ini petanda baik, hidupku, keluargaku akan diselimuti kesuksesan, amin," kataku dalam hati.
Sejak saat itu, meski malamnya begadang (baik itu sekadar nonton film di TV atau duduk bersila bermunajat) atau pulang liputan malam, aq selalu mengusahakan bisa bangun pagi untuk sekadar jalan kaki menyusuri kampung bersama istri dan calon anakku. "Siap anakku.. apapun akan ayah lakukan untukmu," kataku sambil berbisik kepada calon anakku.
Jika kuingat-ingat, saat liputan di Malang, Jawa Timur dulu, meski pulang habis liputan malam hari, aq selalu saja bangun pagi. Maklum, itu sebuah tuntutan yang harus aq jalani setiap harinya.
Satu bulan pertama sejak Mei 2004 memutuskan menjadi reporter di Jawa Pos Radar Malang, badanku terasa remuk. Maklum, itu karena daerah liputanku cukup luas dan jauh. Setiap hari harus mengkaver 14 kecamatan se-Kabupaten Malang. Kebetulan saat itu aq di desk kriminal. Aq bilang jauh karena pagi isi bensin, setiap pulang pasti habis.
Saking capeknya, aq jarang bisa tidur nyenyak. Sebab, begitu datang dan rebahan di ruang tamu, selalu saja ketiduran meski belum sempat ganti baju atau sekadar cuci muka.
Pagi-pagi aq dibangunkan dengan suara Anggi dan Abi yang kejar-kejaran berkelahi. Jika sudah begitu, aq harus buru-buru bangun dan mengantar mereka sekolah. Anggi saat itu masih duduk di TK, sementara Abi sudah kelas dua SD. (Anggi dan Abi adalah anaknya pak Hatta Chumaidi, GM Radar Malang saat itu. Kebetulan aq numpang di rumahnya karena belum dapat kos). Gimana kabarmu Anggi Abi, dah lama ga ketemu. Kangen juga rasanya.
Setelah pindah ke Jakarta Oktober 2005, aq memang tak pernah lagi bangun pagi mendengar rengekan atau tangisan anak-anak itu lagi. Praktis, seluruh waktuku total untuk liputan. Jika dihitung-hitung, sebanyak 12 jam waktuku tersita untuk liputan. Aq bisa istirahat dengan tenang terhitung pukul 03.00 dini hari hingga pukul 06.00 pagi. Untuk keluargaku, aq hanya punya waktu saat libur tiba setiap hari Sabtu. Biasanya aq manfaatkan untuk mengunjungi sanak keluarga di seputar Jakarta secara bergantian. Banyak silaturahmi, banyak rezeki. Begitu kata orang.
Sejak istriku mengandung, meski pulang malam, aq selalu berusaha memaksimalkan waktu yang tersisa. Pulang liputan malam tetap aq usahakan untuk bisa bercanda gurau atau ngobrol-ngobrol seputar persoalan keluarga atau chatting bersama kawan jauh via hp. Kemudian, jika istriku sudah terasa ngantuk, kemudian aq tinggal sholat dan berzikir hingga pukul 03.00 dini hari. Setelah itu tidur sejenak dan pagi-pagi bangun lagi untuk menemani istriku jalan2.
Semoga sisa waktuku yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku, amin.

Pojok Balaikota saat menunggu gubernur sidak, 7 April 2008

3 komentar:

LonelyWanderer mengatakan...

gak nyangka, ternyata aak romantis jg ya.. hehehe.. ;)

Anonim mengatakan...

Kawan Rob,
Ini kali pertama aku di depan layar komputer, sejak januari lalu berada di kampung halaman, Lombok. Aku nyaris gak punya waktu buat nengok emel. Oho ya, aku dah baca separoh catatan di blog mu. kalo saja ada waktu yang lebih panjang, aku akan baca lagi tulisan-tulisanmu, kawan. Harapanku, semoga kawan tetap bertahan di situ. Aku rasa, di bawah langit manapun kita hidup, selalu saja ada tantangan. Doaku untukmu, keluargamu dan untuk kawan2 di jakarta.

Ibnul A'robi mengatakan...

Ok jangan lama2 di kampung. keburu kiamat. Kota ini sudah lama menunggumu!