31 Maret 2008

Nasib RS Haji dan Preman Sewaan


Pukul 00.30, hp bututku berbunyi. "kriiing..". Dari seberang suara pria paroh baya menyapa dan menyatakan esok hari Wakil Gubernur DKI akan menggelar sidak. Tidak disebutan sidak kemanakah itu dan apa yang akan disidak. "Perintah Pak Wagub ini rahasia. Tapi harus dipublikasikan," katanya bingung menerjemahkan perintah atasannya itu.
Malam itu kebetulan aq piket. Jadi setelah seharian liputan, malemnya harus berjaga di kantor Indopos gedung Graha Pena Jakarta hingga dini hari. Esoknya pagi buta, aq terburu-buru bangun. Jika tidak pasti akan terjebak macet dan ketinggalan acara sidak. Setelah rombongan pejabat Pemprov DKI meluncur, ternyata yang dituju RS Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Ada apakah gerangan? dari penmberitaan media massa yang terbit pekan lalu, rumah sakit yang dibangun tahun 1994 itu memang sedang dirundung persoalan pelik terkait siapa yang berhak mengelola. Bahkan, setelah digelarnya rapat umum pemegang saham (RUPS) luar biasa di Hotel Grand Melia yang menghasilkan terpilihnya Salimar Salim menjadi dirut, ketegangan di rumah sakit semakin menjadi-jadi. Sebab, Departemen Agama yang ikut mengelola rumah sakit tersebut rupanya tidak bisa menerima hasil RUPSLB itu. Mereka menolak kepemimpinan dirut dan komisaris baru. Puluhan sekuriti sewaan berseragam serba hitam bertuliskan "Bravo Sekuriti" berjajar di setiap koridor untuk menjaga dan menghadang siapapun yang mencoba masuk di luar direksi lama. Bahkan, selain satpam sewaan, ada 150 preman dari Kelurahan Pinang Ranti disewa untuk mengintimidasi siapapun di luar direksi lama pilihan Departemen Agama.
Sekitar pukul 08.00, rombongan Wagub sampai di rumah sakit yang dibangun untuk mengenang tragedi Mina tersebut. Dari dalam rumah sakit berhamburan ratusan kayawan untuk menyambut mantan Aster TNI AD itu. "Allahu Akbar..hidup pak Wagub," teriak mereka sambil memenuhi pintu utama rumah sakit. Keluarnya ratusan karyawan itu membuat suasana mulai tegang. Mulai dari staf administrasi, perawat, dokter, seluruhnya campur baur dan meringsek kembali masuk ke dalam rumah sakit sambil mengawal Wagub dan rombongan dengan tak henti-hentinya meneriakkan kata takbir.
Sidak yang digelar Wagub Prijanto pagi itu pun berakhir ricuh. Saat mencoba melihat sejumlah ruangan vital yang mati suri sejak terjadinya pertikaian, Wagub dihadang dan diusir dari rumah sakit oleh sejumlah sekuriti sewaan. "Kamu tahu ga saya ini siapa. Saya ini Wagub DKI berhak untuk mengunjungi rumah sakit ini kapanpun untuk melihat pelayanan yang diberikan kepada pasien," kata Prijanto marah besar.
Ucapan Wagub ternyata tidak banyak digubris sekuriti tersebut. Puluhan pria berambut cepak itu tetap menghadang dan menolak membuka sejumlah ruang yang akan dikunjungi Wagub. Bahkan, ada di antara sekuriti mengancam jika Wagub tetap mendesak masuk ke ruangan direksi lama itu. "Ini Wagub saya. Kamu jangan macam-macam. Pemprov DKI punya hak datang kapanpun ke sini. Tahu siapa pemilik rumah sakit ini," kata Kepala Dinas Tramtib dan Linmas Harianto Badjoeri dengan nada keras dan muka merah padam karebna melihat atasannya dilecehkan.
Tak tinggal diam, ratusan karyawan yang sebelumnya melayani para pasien ikut berhamburan keluar ruangan dan meneriakkan kalimat takbir. "Allahu Akbar. Itu penghianat. Pecat saja," teriak karyawan di kerumuman massa yang berjumlah ratusan. Sebab, dari pintu masuk hingga dalam rumah sakit, seluruh koridor sudah banjir manusia.
Suasana pun semakin hinggar bingar. Beberapa kali antara karyawan dengan sekuriti terlibat ketengangan dan nyaris adu jotos jika tidak ada yang melerai. Sementara, sejumlah pintu ruangan tetap dikunci rapat. Salah satu direksi lama yang disebut bernama dr Johny juga mengunci pintu ruangannya dari dalam dan enggan menemui Wagub. Bahkan ruangan Aula Darussalam yang terletak berdampingan dengan ruangan direksi juga dikunci rapat. Begitu juga dengan ruang administrasi, keuangan serta gudang logistik yang digunakan untuk menyimpan peralatan serta obat-obatan. "Ini rumah sakit atau apa. Semua dikunci. Apa-apaan ini," kata Wagub semakin marah.
Setengah jam berlalu. Kondisi rumah sakit semakin mencekam. Wagub berinisiatif menuju ruang informasi yang terletak di lantai dasar. Lagi-lagi, orang nomor dua di DKI itu disabotase. Mikrofon yang biasanya digunakan untuk mengumumkan informasi bagi seluruh karyawan mati secara tiba-tiba. Dua orang IT yang datang untuk membantu mengaku tidak bisa berbuat banyak dan mengaku ada kerusakan pada mesin. "Catat, siapa saja yang menjadi penghianat di sini," kata Wagub kepada ajudannya. Baru setelah Wagub mengeluarkan ultimatum, mikrofon baru bisa difungsikan. Ratusan karyawan yang telah memenuhi koridor rumah sakit diimbau untuk kembali bekerja melayani pasien. Tapi tampaknya mereka tidak banyak beranjak dan tetap meneriakkan kecaman kepada sekuriti sewaan yang disebut-sebut sering melakukan intimidasi kepada para perawat dan staf rumah sakit yang tidak pro direksi lama.
Hari Jumat (28/3) aq menulis, esoknya Sabtu menjadi berita utama halaman 1 di Harian INDOPOS. Setelah itu, selama tiga hari berturut-turut aq tulis tentang kondisi rumah sakit yang semakin tidak kondusif. Dirut ngantor di mushola kosong yang lusuh tanpa meja apalagi komputer serta hanya ditemani karpet tua yang lusuh. Meja dan kursi hanya ditumpuk di pojok ruangan. Praktis, kondisi aula saat itu seperti gudang yang sudah lama tidak pernah dikunjungi. Sementara, para karyawan bekerja di bawah tekanan dan intimidasi dari sekuriti sewaan. "Sudah ada 19 karyawan yang dipecat dengan alasan yang tidak jelas. Gara-gara mereka tidak pro dengan direksi lama," kata ketua serikat pekerja rumah sakit Ma'muri yang juga menjadi korban arogansi direksi lama itu. Tragisnya, itu sudah terjadi tiga tahun silam tapi baru sekarang terungkap di permukaan.
Pihak Depag rupanya mulai merespon kejadian tersebut. Merujuk berita di Harian INDOPOS yang aq tulis pada hari Sabtu (29/3) (begitu yang tertulis dalam rilisnya), mereka akhirnya menggelar jumpa pers. Isinya menyatakan siap membeli saham Pemprov DKI sebesar 51 persen. Dalam tulisan hari Sabtu itu aq mengungkap, sebenarnya aksi yang dilakukan sekuriti sewaan serta sikap direksi lama yang tidak bersahabat tidak perlu terjadi. Sebab, masih ada cara yang lebih elegan dibandingkan dengan mengedepankan otot. "Apakah Pemprov akan membeli saham Depag 41 persen atau Depag akan membeli saham Pemprov 51 persen, itu bisa dibicarakan dengan duduk bersama," begitu aq tulis menyitir ucapan Wagub di hadapan ratusan karyawan rumah sakit.
Tapi tulisan yang aq ungkapkan tidak serta merta membuat pihak yang bertikai bisa duduk bersama. Justru perang siapa yang akan membeli menjadi konflik lanjutan. Depag menyatakan ngotot akan membeli saham Pemprov. Sementara Pemprov menolak menjual sahamnya dan ngotot akan membeli saham Depag. "Astagfirullah hal Adzim. Kok kanak-kanak sekali pejabat-pejabat ini," kataku dalam hati.
Maklum, kengototan baik Depag maupun Pemprov lantaran rumah sakit Haji dianggap mesin pendulang rupiah yang cukup membuat kantong tebal. Tapi, pertanyaannya, apakah mereka sudah sepicik itu. Apalagi, setelah satu pekan sejak sidak rusuh itu terjadi, pelayanan terhadap para pasien mulai terganggu. Para karyawan yang mendukung direksi lama dan baru enggan berbaur dan saling lepas tangan jika ada pasien telah ditangani karyawan dari kelompok yang berbeda. Bahkan, karena ketakutan, ada karyawan yang nekad lebih baik bolos kerja. "Saya dengar pelayanan terganggu. Saya akan panggil Gubernur DKI Fauzi Bowo untuk memberikan keterangan kepada dewan. Konflik ini murni antar instansi pemerintah dan masyarakat tidak ada urusannya. Kenapa harus jadi korban," kata ketua DPRD DKI Ade Surapriatna.
Bahkan, untuk menjadi penengah dalam kasus yang semakin meruncing itu, Pemprov DKI sudah kehabisan akal dan meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk bisa menengahi di antara kedua belah pihak dan mencari jalan terbaik. Pertanyaannya, apakah JK cukup mampu untuk bisa mengusulkan solusi yang win win solution?
Bagi masyarakat, apalagi pasien yang tergeletak di rumah sakit Pondok Gede, apapun solusi yang dicapai, tidaklah penting. Apakah rumah sakit dikuasai oleh Depag atau Pemprov. Tapi yang lebih penting bagaimana persoalan itu cepat selesai sebelum stok obat-obatan habis dan karyawan atau sekuriti semakin larut dalam kisruh demi mempertahankan bisnis itu.
Dalam hati, aq pun kembali bertanya-tanya, jika antar instansi pemerintah saja mereka bentrok tak berkesudahan demi memperebutkan lahan bisnis, bagaimana jika itu dialami masyarakat? apakah jika sesuatu itu demi kemaslahatan masyarakat banyak harus dikalahkan demi secuil kepentingan bisnis. Bukankah mereka menjadi pejabat bisa hidup mewah karena dibayar dari hasil keringat bayar pajak masyarakat?


Pojok Balaikota, 31 Maret 2008

Tidak ada komentar: