20 Maret 2008

Ketika Anak Tak Lagi Sekolah..


Ketika Anak Tak Lagi Sekolah..

Lagi-lagi, aq kembali ikut prihatin. Ribuan siswa yang berasal dari keluarga miskin (gakin) terancam putus sekolah. Begitu aq tulis di Harian INDOPOS, 20 Maret 2008. Hal itu menyusul dihapusnya seluruh dana pendidikan gratis untuk gakin tingkat SMA/SMK. Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI menyebut, ada sekitar delapan ribu siswa miskin yang sebelumnya dibiayai APBD terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. Sementara, di sisi lain, Kepala Dikmenti Margani M Mustar telah menginstruklsikan, bagi seluruh kepala sekolah di DKI, siapapun siswa tidak mampu yang sudah masuk sekolah, dilarang keras dikeluarkan dari sekolah karena alasan tidak mampu bayar sekolah. "Kalau APBD dihapus, kita membiayai mereka pakai apa. Para kepala sekolah juga bingung," ujar Margani.
Di antara para siswa yang terancam putus sekolah itu, 5000 siswa yang sebelumnya dibiayai melalui beasiswa sebesar Rp 6 miliar, 2.631 siswa yang dibiayai melalui program putus sekolah sebesar Rp 7,5 miliar serta 2.612 siswa yang sebelumnya dibiayai melalui dana inisiasi sebesar 7,5 miliar. Sementara dari APBN, sebanyak 29.635 siswa mendapat bantuan khusus murid senilai Rp 23,1 miliar serta sebanyak 1.527 siswa mendapat bantuan dari Baziz senilai Rp 1,8 miliar. Rincian tersebut alokasi 2007. Tahun ini jumlah yang diajukan relatif tidak banyak berubah. "Mau ga mau, kalau APBD tidak membiayai, terpaksa harus ada pungutan kepada orangtua siswa. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin. Karena kita menjamin, semua harus bisa sekolah. Itu semua akan kita kawal hingga lulus," begitu janji Margani.
Lalu kenapa wakil rakyat di Kebon Sirih mencoret anggaran untuk siswa miskin itu? berbeda dengan pengakuan Margani, sejumlah anggota komisi E (membidangi pendidikan) mengaku tidak pernah menerima pengajuan anggaran untuk siswa miskin. Terutama tingkat SMA dan SMK. Terkecuali untuk pendidikan dasar memang dialokasikan. "Apanya yang dicoret. Mereka saja tidak mengajukan. BOP itu untuk Dikdas. Justru kita mengalokasikan sekolah gratis bagi siswa miskin dengan menambah dana Rp 69 miliar," bantah anggota komisi E Agus Darmawan.
Anggaran itu, diusulkan dewan untuk membiayai sekitar 30 ribu siswa tidak mampu di DKI. Sebab, sebelumnya Dikmenti tetap bersikukuh menolak menerapkan pendidikan gratis untuk tingkat SMA dan SMK. "Justru yang kita sesalkan, kenapa Dikmenti diam saja ketika banyak kepala sekolah melakukan pungutan liar kepada orangtua siswa. Jika alasan siswa miskin, APBD telah membiayai. Kemana dana pungutan itu larinya?. Bagaimana siswa miskin bisa masuk sekolah jika untuk masuk saja sudah dipungut jutaan rupiah," kata Agus menyesalkan.
Jika seperti itu, siapa yang patut dipercaya? dewan kah? kepala dinas kah? atau siapa.. masih-masing saling menuding telah berbuat untuk melindungi siswa miskin agar bisa terus sekolah. Justru, bagi aq, secara subyektif, kontroversi dicoret atau tidak dicoret bukan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Yang penting realisasinya di lapangan. Apakah benar jika ada anggaran, siswa miskin yang tidak mampu membayar sekolah bisa dijamin terus sekolah?. Sebab, kenyataannya, hingga saat ini, siswa tidak mampu yang putus sekolah terus berjatuhan. "Kalau itu bukan karena kita tidak menjamin. Sekolah kita yang bayar. Tapi kalau sampai untuk naik angkot ke sekolah saja tidak mampu, masak kita juga harus membiayai," kelit Margani.
Ketika, melihat banyaknya siswa yang putus sekolah di Jakarta, aq jadi teringat saat di kampung dulu. Orangtuaku terhitung bukan tergolong kalangan mampu yang bisa membiayai anaknya sekolah hingga setinggi langit. Orangtuaku hanya petani yang nyambi jadi guru Tsanawiyah (SMP). Sebab, jika tidak sambil nyambi, untuk biaya makan bulanan pas-pasan. Mungkin menjadi petani ada duit, tapi hanya pada saat panen dua kali setahun. Maklum, di kampung sistem pertanian masih menggunakan tadah hujan.
Tapi, yang aq salut dari orangtuaku, mereka bersedia berjuang mati-matian demi pendidikan anaknya. Aq, dua kakakku serta satu adikku pun bisa mencapai bangku kuliah. Dua kakakku bisa menyelesaikan S2 di UGM, adikku saat ini tengah menyelesaikan studi akhir KKN S1. Apakah kami selama menyelesaikan SD, SMP dan SMA dapat beasiswa? jawabannya TIDAK.
Itu berkat kerja keras orangtuaku yang berusaha berhemat. Meski menurutku, terkadang sangat keterlaluan. Bahkan untuk membeli televisi 14 inch saja, biarpun merengek-rengek tetap saja tidak dibelikan. Alasannya cuma satu, dana untuk biaya sekolah. Begitu kata ayahku. Bahkan, untuk mendapatkan radio kecil saja aq harus menyandera saat mau sunat dulu. Aq bilang kalau tidak dibelikan radio, aq tidak mau disunat. Akhirnya, berkat aq sunat, rumahku pun ada bunyi suara radio.
Terlepas bagaimana cara orangtuaku berhemat, sebagai anak yang berhasil disekolahkan, aq ikut bangga. Dari ratusan orang yang kaya di kampungku, hanya orangtuaku yang berhasil menyekolahkan seluruh anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sementara, tetanggaku yang emasnya menggelantung di tangan, leher dan kaki, tidak ada yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Lulus SMA saja sudah syukur-syukur. Mereka lebih memilih dana yang ada untuk bisnis daripada untuk menyekolahkan anak-anaknya. Memang ada positif dan negatifnya. Tapi itu ga perlu dibahas lebih lanjut.
Kembali kepada ratusan siswa yang terancam putus sekolah di DKI, jika memang tidak ada dana untuk siswa miskin dari APBD, atau jika adapun "Tidak digunakan semestinya", apakah orangtua siswa itu bisa berjuang agar anaknya tetap sekolah? aq rasa, jawabannya TIDAK. Sebab, ada dua faktor yang dihadapi orangtua miskin di Ibukota ini. Pertama, saat ini, untuk masuk sekolah saja dibutuhkan jutaan rupiah. Belum lagi, pada saat kenaikan kelas, biasanya selalu saja ada alasan pihak sekolah menarik biaya tambahan. Uang buku lah..uang bangunan lah.,.uang ekstrakurikuler lah..atau seabrek alasan pungutan lainnya..jika sudah begitu, biasanya orangtua tidak bisa berbuat banyak...ikut permainan sekolah atau anaknya harus drop out.
Kedua, untuk hidup sehari-hari saja susah. Barang-barang semakin lama semakin mahal. Harga sembako melonjak naik. Jika sudah dihadapkan pada persoalan ini, orangtua yang putus asa akan mengambil keputusan singkat. "Kamu keluar nak dari sekolah..bantu orangtuamu nyari duit buat makan sehari-hari," begitu alasan yang selalu muncul.
Jika kenyataannya seperti itu, lalu mau jadi apa kota ini?. Pemerintah dan wakil rakyat selalu saja ribut soal dana. Ujung-ujungnya rebutan proyek. Tapi bagaimana nasib mereka yang tidak bisa sekolah atau yang terancam drop out dari sekolah? harus telantar kah mereka?... sementara teman seusianya dari golongan mampu duduk manis di bangku sekolah..pulang pergi diantar pakai mobil mewah. Sementara "si udin kecil" begitu sebut Iwan Fals dalam lagunya, harus putus sekolah, lalu menjadi gelandangan..
pengemis..pengamen..pemulung..atau menjadi preman pengedar narkoba..dan seribu profesi orang miskin lainnya.
Jika sudah seperti itu, mau dengar jawaban pemerintah. "Pengemis, pengamen, pemulung, pak ogah, harus digusur karena telah mengganggu ketertiban kota. Melanggar perda ketertiban umum,".
Kota ini memang sudah sangat semrawut. Hanya pejabat yang arif dan bijaksana yang bisa melihat persoalan itu secara jeli hingga ke akarnya dan tidak memandang masalah dengan sebelah mata. Apalagi hanya menerima laporan bawahan yang suka menjilat atasan (ABS). Tapi apakah pemimpin tertinggi kota ini sudah termasuk apa yang orang dulu disebut RATU ADIL. SEMOGA...

Saat libur, sunyi sendiri di pojok Balaikota, 20 Maret 2008

Tidak ada komentar: