25 Maret 2008

Dana Siluman Rp 100 Miliar

Dana Siluman Rp 100 Miliar

Selama satu pekan terakhir, aq sibuk menulis munculnya dana siluman Rp 100 miliar yang ada di APBD DKI 2008 (Harian INDOPOS, 21,22,24 dan 25 Maret 2008). Dana itu muncul untuk pos anggaran pengadaan buku non wajib seperti sastra dan fiksi di lima sudin Pendidikn Dasar DKI. besaran anggaran satu sudin antara Rp 16 miliar hingga Rp 20 miliar. Total anggota dewan menyebutkan ada Rp 100 miliar anggaran itu yang muncul secara tiba-tiba setelah APBD DKI 2008 diselaraskan di Departemen Dalam Negeri. Tragisnya, anggaran itu tidak pernah dibahas di panitia anggaran dan dialokasikan untuk program yang sama sekali tidak mendesak dan dianggap mubazir.
Gencarnya aq menulis dana siluman itu lantaran keprihatinanku terhadap banyaknya persoalan di DKI ini yang belum bisa dituntaskan lantaran alasan minimnya dana. Sebut saja rehabilitasi ribuan bangunan sekolah yang nyaris ambruk atau bahkan yang sudah ambruk belum bisa dikaver seluruhnya. Atau ribuan siswa dari keluarga miskin yang terancam tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran dana distop dari APBD. Atau ribuan guru bantu yang teriak-teriak belum dibayar selama tiga bulan terakhir. Atau persoalan banjir yang hingga saat ini masih saja terjadi dan menenggelamkan rumahku dan ribuan pemukiman warga lainnya. Atau perbaikan jalan rusak yang sampai saat ini masih terbengkelai bikin macet dan telah banyak menelan korban jiwa.
Selama berhari-hari seluruh pihak yang terlibat dalam pembahasan akhir APBD DKI 2008 bungkam. Baik itu Wakil Gubernur DKI Prijanto, Sekda Muhayat, Wakil Ketua DPRD Ilal Ferhard serta jubir Depdagri Saut Situmorang. Semuanya mengaku tidak pernah membahas anggaran tersebut. Kok bisa? padahal, di lingkungan DPRD DKI sendiri, fenomena adanya anggaran siluman Rp 100 miliar sudah menjadi rahasia umum. Setiap anggota dewan tahu tapi enggan mencampuri urusan tersebut lantaran bukan proyek garapannya. Begitu salah seorang anggota dewan dari komisi lain.
Bahkan Sekda Muhayat menyatakan tidak penting dan hanya menghabiskan pikiran membahas dana siluman itu. Mungkin benar bagi pejabat! karena mereka tentunya dapat "fee" jika bisa meloloskan proyek tersebut. Begitu juga dewan yang mengusulkan juga akan mendapat imbalan. Tapi apa manfaatnya buat masyarakat banyak? Rp 100 miliar bukan nilai kecil. Jika untuk membuat tanggul saja, sudah berapa ribu warga yang bisa terlindungi dari banjir. Tapi...? kenapa dana itu muncul untuk hal yang tidak terlalu penting. Aq tidak mau memberi komentar soal ini.
Tapi yang jelas, setelah satu pekan munculnya dana aq sorot. Pejabat Pemprov panik juga akhirnya. Seluruh dana tidak penting dicoret termasuk pengadaan mobil dewan. "Eksekutif ini apa2an. Dana dicoret semua. Kita ga dilibatkan lagi," begitu ketua komisi E Igo Ilham dan ketua komisi D Sayogo Hendrosubroto marah-marah. Pejabat Pemprov pun kembali panik setengah takut. Sore itu, Kabiro Keuangan Hari Sanjoyo dan Sekda Muhayat menghadap dewan. Pengadaan mobil dewan dputuskan tidak jadi dicoret. "Ga papa dana siluman dicoret, tapi kan Rp 100 m anggaran komisi E dimunculkan kembali," begitu aku Igo Ilham terang-terangan usai dua pejabat Pemprov itu melakukan kompromi dengan pimpinan dewan.
Pernyataan Igo ini tentu sangat disayangkan. Kenapa? karena, yang pertama kali teriak soal tidak pentingnya dana siluman adalah anggota komisi E dari FPKS Agus Darmawan. Kenapa mereka teriak. Apakah ini hanya trik agar mobil dewan bisa disetujui eksekutif? (aq hanya bisa bilang, Masya Allah.. semoga ini tidak ada kaitannya dengan pepatah maling teriak maling).
Bicara soal proyek dalam APBD DKI, memang banyak kasus yang mencuat. Mulai renovasi gedung dewan, pengadaan lift, AC, CCTV, serta seabrek item lainnya yang disebutkan hingga berjumlah 1000 item. Anda mungkin bisa membayangkan, berapa keuntungan yang diraup dari uang rakyat itu. Apakah proyek itu untuk kepentingan masyarakat banyak? jawabannya mayoritas tidak. Proyek kebanyakan untuk kepentingan sendiri atau sekadar gaya-gayaan melengkapi fasilitas kantor agar terlihat lebih mentereng karena sebagai pejabat. Mobil dewan saja sudah berapa yang menumpuk di parkiran. Mobil Altis saja belum ada satu bulan dipakai kini minta lagi. Apakah wakil rakyat, apakah pejabat Pemprov tidak pernah melihat warganya yang tidur digubuk reot? setiap hari tidur tidak nyenyak karena di bawah ancaman dibuldoser?
Soal proyek dewan bersama eksekutif ini aq juga telah berulang-ulang mengupasnya. SETIDAKNYA, agar mereka bisa malu (jika masih punya malu) bahwa masyarakat ini masih banyak yang membutuhkan pertolongan. Sebut saja proyek yang sudah diseret ke ranah hukum pengadaan filling cabinet (lemari arsip) tahan api senilai Rp 15 miliar yang merugikan negara Rp 4,6 miliar. Anehnya, proyek yang kini menjadi kasus tersebut dimakan secara beramai-ramai. Lima kotamadya di DKI serta satu Biro Perlengkapan berada di balik pengadaan itu. Sayangnya, kasus tersebut seperti berjalan di tempat. Kejaksaan Tinggi DKI seperti tidak lagi greget untuk menangani kasus yang menimpa para pejabat teras Pemprov DKI itu. (apakah karena sudah dapat "upeti" atau memang masih sibuk dengan kasus lain? tapi yang jelas tidak ada kabar pemanggilan pihak-pihak yang berkait hingga saat ini). Lalu mau jadi apa negeri ini? jika pejabatnya, wakil rakyatnya, penegak hukumnya sama-sama ingin mencari keuntungan sendiri-sendiri. Bicara lantang karena belum dapat kebagian proyek atau setoran, Masya Allah..
Tak heran, hidup di kota seperti ini, seperti hidup di tengah rimba. LALU kemana nurani kita?

Saat sendiri memikirkan kota ini, 25 Maret 2008

Tidak ada komentar: