07 Januari 2009

Ya Allah, Kemana Harus Kucari Rahasia Obat-Mu

Jumat (1/1) siang, Mbak Nul, Masaris n Ida datang dari Jogja menjenguk istriku di Ambarawa. Kebetulan aq baru saja datang dari Jakarta. Sekitar habis jumatan, Masaris sharing bagaimana kalau Epi dibawa ke rumah sakit saja untuk pemulihan fisiknya. Toh, yang nempel ikut dia sudah pergi. Meskipun kadang sering datang dan pergi lagi. Kata pae, tiap malam kadang kelambu kamar sering bergerak sendiri meski tak ada angin. Ada seperti bayangan sedang mengintip keluar. Tapi setelah dicek ke dalam kamar tidak ada siapa2. Istriku masih tidur nyenyak. "Kuncinya neng awakmu le. Kalau kamu sholat malamnya kuat. berkakas itu ga bakalan berani ikut istrimu. Klo ngandalin dia juga susah. Suruh pantang makanan ga mau. Yang ga boleh malah dimakan. Suruh zikir juga ga mau. Suruh di mushola saja ga mau. Gimana mau sembuh," kata pae cerita seputar istriku selama aq tinggal di Jakarta.
Jika fisiknya agak pulih, rencananya istriku akan dibawa berobat ke Mbah Zarkoni. gurunya pae di Grabakan. Biar berkakas bisa disikat habis dan ga balik2 lagi. Setelah itu tinggal penyembuhan fisiknya. "Tapi kalau memang yang penyakit non fisik dah bisa diatasi atau diatasi sambil jalan. Bagaimana kalau Epi dibawa ke rumah sakit saja. Biar ada kejelasan seberapa sakitnya, seberapa sembuhnya," usul masaris siang itu.
Aq bilang ga papa kalau ada yang bantu biaya rumah sakit. Minimal 50 persen. Sisanya aq yang nyariin. Lalu aq putuskan telpon bapak/ibu di Tuban. Tanya bagaimana jika Epi dibawa ke rumah sakit untuk cek perlu rawat inap atau cukup berobat jalan. Katanya ga papa. Klo terpaksa harus nginap, biaya tar dicariin. Sebab, duit pinjam dari Opi adiknya istriku Rp 400 ribu ama pinjam dari Pak Rinta orang humas pemprov Rp 500 ribu sudah habis untuk akomodasi selama di Ambarawa sebelum masuk rumah sakit.
Aq akhirnya lega dan bersedia jika Epi dibawa ke rumah sakit setelah Ibu Tuban kasih lampu hijau. Tapi bukan di Jakarta. Di Ambarawa saja. Soalnya dari sisi fisik, istriku belum memungkinkan jika dibawa ke Jakarta naik kereta.

***
Dengan naik dokar (andong), istriku aq papah naik angkutan tradisional itu. Di kursi belakang ditemani Ida. Masaris dan zenar duduk dekat pak kusir. Sementara aq, mamat, pae naik motor binter menuntun dari depan pelan2 menyisir pematang sawah yang dikitari rawa pening itu. Begitu masuk UGD, petugas langsung memeriksa berdasarkan keluhan. Aq langsung bilang sakit diabetes. Keluhan lain demam menggigil, batuk, sesak nafas, sering muntah dan kaki lemas. "Gulanya 155 mas. Normalnya 117," kata perawat singkat lalu menawarkan agar istriku rawat inap.
Setelah disodori rincian biaya rumah sakit masing-masing kelas, aq pilih kelas 3. Itung2 murah. Setelah tempat disiapkan, istriku langsung diboyong ke ruangan paling atas. Sore itu ruangan Ratih E berukuran 6x6 di lantai 2 penuh sesak. Pasien aq lihat ada 5 orang. Tapi pengunjungnya itu, masya Allah. Kayak pasar. Untuk bisa lewat saja susah. Satu orang pasien yang antre jenguk ada 10 sampe 15 orang.
Istriku bilang ga mungkin bisa istirahat tenang jika kondisinya seperti itu. Aq langsung ke ruang resepsionis tanya apa masih ada kelas 2 yang kosong. Katanya penuh. Tinggal kelas 1 dan VIP. "Sewa kamar Rp 150 ribu per hari. Biaya penanganan biasa Rp 800 ribu, penanganan khusus Rp 1,3 juta ditambah biaya obat2an atau jika ada keperluan tambahan. Kalau mau diambil, nanti pasien langsung dipindah," kata petugas jaga. Aq bilang Ok ga papa di kelas 1. Pukul 06.00, istriku dah bisa menempati ruang Anjani E yang terletak di lantai 1 paling belakang. Satu kamar hanya ada 2 orang. Lumayanlah ga terlalu ramai. Soal biaya tar dipikir belakangan.

***
Magrib itu, masaris, mbaknul, ida, zenar terpaksa balik jogja. Karena masaris ada tugas kampus. Pae pulang ke rumah. Aq tinggal di rumah sakit sendiri nungguin istriku. Sambil ketak ketik berita, aq tungguin istriku. Kebetulan jumat masih masuk. karena PNS libur aj, jadi ga harus ke balaikota. Kondisi istriku semakin lemah. Jika sebelumnya bisa jalan, begitu masuk rumah sakit langsung drop fisiknya. Jalan sempoyongan, kalau diajak ngomong agak ga nyambung. Suruh makan atau minum obat agak susah. Aq tambah stres karena suster hanya ngantar obat digeletakin begitu saja. "Ini obatnya pak. Diminum setelah makan,". "Ini makanannya pak,". "Ini air panasnya pak,". Kata2 itu selalu saja mluncur tanpa tindakan. Hanya digeletakin di kursi ato meja. Jika pelayanannya seperti itu, tentu harus ada yang nungguin setiap saat. Untuk memastikan makanan disantap dan obat diminum. Apalagi, tiap saat juga istriku harus bolak-balik ke kamar mandi. "Kalau ditinggal, siapa yang tenteng2 infus ke kamar mandi,". aq stres berat malam itu. Semua aq sms telfonin suruh nyariin orang yang bisa jaga di rumah sakit. Ibu Tuban baru bisa dateng hari senin. Sementara tiket argo anggrek sudah aq beli Rp 390 ribu berangkat minggu dini hari karena esoknya aq harus masuk kerja. Aq telfon kluarga Jakarta, smua bilang sibuk. Opi adik kandung istriku mau cariin orang di Jogja, tapi tak kunjung ada kabarnya. Ina adik istriku paling bontot juga bilang ga bisa nemenin mau balik Ambon karena takut bisnis perdananya hilang. Kakmino malam itu telpon agar istriku dibawa ke Jakarta saja. Aq bilang kondisi fisik ga memungkinkan kalau naik kereta. Kecuali jika pakai mobil.

***
Malam itu aq merenung2. Apa langkah jangka pendek yang bisa aq lakukan. Setelah pae menyerah cari orang ga ketemu, kluarga Jakarta juga ga ada yang bisa datang, aq putuskan telpon Ibu Tuban agar bisa datang esok harinya. Agar sore sudah sampai rumah sakit dan gantian nungguin istriku. "Biayanya gimana. Kalau berangkat sekarang, biaya rumah sakit carinya kapan?," kata Ibuku dari telfon. Aq bilang biaya rumah sakit tar aj dipikirin. Yang penting datang dulu ke Ambarawa. Soalnya aq dah bolos kerja dan harus segera balik Jakarta. Sekaligus cari biaya rumah sakit. Sementara kondisi istriku drop banget. Makan minum obat, ke kamar mandi harus selalu dikawal. Malam itu harapanku tinggal ke mbak po yang ikut di rumah pae. Minimal bisa nunggu sampe Ibu Tuban dateng. Astagfirullah hal adhim. Tanpa alasan yang jelas, mbak po malam itu menolak dimintain bantuannya untuk jaga istriku. Meskipun hanya semalam. Aq pun pasrah. Membiarkan tiket kereta Rp 390 ribu hangus dan terpaksa balik ke rumah sakit. Untungnya mas tir redaktur ngerti dan mengijinkan aq ga masuk kerja lagi.
Esoknya, Senin (5/1) sore, Ibu Tuban dan Ida adik kandungku datang ke Ambarawa. Aq langsung buru2 meluncur ke Stasiun Tawang untuk ikut kereta Senja Utama menuju Jakarta. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Ibu berpesan agar aq jangan stres dan bisa bersabar. Gusti Allah pasti akan memberi jalan. Semua musibah pasti ada hikmahnya. Aq disarankan agar tetap jaga stamina agar tidak ikut sakit. Jakarta-Ambarawa bukan jarak yang dekat. Kalau aq terus mondar mandir, fisik bisa drop. "Kasian Najwa kalau kamu sakit. Siapa nanti yang cariin biaya rumah sakit kalau kamu sakit," kata Ibu berbisik di depan pintu tempat istriku dirawat. Aq setengah mo menangis. Aq coba menahan agar air mata tidak sampai menetes. Kucium tangan Ibuku dan buru2 kabur agar kereta tidak telat.

***
Kususuri sepanjang jalan di Ambarawa tuk cari ATM. Arloji aq lihat sudah pukul 18.15. Padahal, bus terakhir ke Semarang pukul 18.30. Dapat ATM depan pasar ternyata rusak. Padahal, di dompet sama sekali aq ga pegang duit. Setengah putus asa, aq terus berlari kecil menyisir kanan kiri jalan siapa tahu ada ATM. Tapi setiap ada ATM, mesin rusak. Astagfirullah, ada apa lagi ini. Keluhku. Sementara Fauzi, muridnya pae yang mau bareng ke semarang sudah telpon2 agar aq buruan biar ga telat ngejar kereta pukul 20.00. "Pae, ATM rusak sedanten. Kulo mboten mbeto duit. Mboten gadah ongkos naik bis ke Stasiun Tawang," kataku akhirnya memutuskan telpon pae yang berada di rumah sakit. Setelah telpon, aq terus menyusuri jalanan di Ambarawa. Akhirnya di ujung jalan, depan alfa mart ketemu atm mandiri. ternyata bisa ngluarin uang. Alhamdulillah. aq langsung lega. Pada saat yang bersamaan, pae tiba di tempatku dan langsung mengantarkanku ke tempat Fauzi yang menunggu di pertigaan. Jam menunjukkan pukul 18.30. Lima menit menunggu, bus terakhir melintas. Aq langsung naik. Bus berjalan sangat lambat karena sambil cari penumpang. Bahkan sempat ngetem. Fauzi yang kerja di TNI AD itu sempat marah2 agar tidak ngetem lama2. Bus akhirnya meluncur dan tiba di Stasiun Tawang pukul 20.15. Bunyi kereta mo berangkat terdengar keras. Aq berlari sekencang2nya. Beli tiket langsung naik. Kebetulan kereta masih persiapan meluncur.
Selasa (6/1) subuh, aq nyampe di Jakarta. Fauzi muridnya pae yang kerja di TNI AD yang nemenin selama perjalanan di kereta ga mau diajak mampir rumah. Alasannya, pagi itu ada apel. Sampai rumah, Sam ternyata ada di rumah lagi tidur pulas. Nungguin sejak kemarin.

***
Setelah tidur sebentar, pukul 10.00, aq mluncur ke balaikota tuk liputan. Alhamdulillah, satu hari masuk kerja, ternyata temen2 liputan di balaikota tahu musibah yang menimpa keluarga kecilku dan bersedia saweran. Dari hasil patungan terkumpul Rp 500 ribu. "Ini ak dari temen2. Moga cepat sembuh istrimu. Yang sabar," kata pak Jaber dari nonstop yang mewakili temen2 seraya menyodorkan amplop warna coklat. Aq bilang ga usah pak Jaber, aq dah cukup ngrepotin temen2. Dulu waktu anakku lahir dan terpaksa dicesar, temen2 sudah cukup membantu. "Udah ga papa," katanya meninggalkan amplop di depanku.
Pukul 19.30, aq mo cabut dari presroom. Karena kakmino kakaknya istriku telpon pingin ketemu. Karena kluarga istriku pengin tahu bagaimana kondisi sebenarnya istriku. Saat aq mo nyalain motor, pak haji darul panggil2. Ternyata mo ngasih bantuan dari koordinatoriat wartawan balaikota untuk biaya rumah sakit istriku. "Yang sabar ya ak. Ini ada titipan," katanya sambil mengeluarkan uang Rp 4 juta. Alhamdulillah. Serasa aq pingin menangis malam itu. Terima kasih kawanku smua. You are my family. Trima kasih Gusti Allah. Sepanjang perjalanan pulang aq tak henti2nya mengucap syukur seraya berdoa agar istriku cepat sembuh n bisa cepat kluar rumah sakit. Cobaan itu terasa berat kutanggung.
Sampai di rumah nenek di Cikoko, ketemu kakmino dan langsung cerita seputar kondisi istriku terakhir. Waktu mo pamit pulang, Kakmino nyodorin uang Rp 500 ribu. Katanya titipan dari Kak Tutik untuk tambahan biaya rumah sakit. Alhamdulillah. Malam itu aq tak henti2nya mengucap syukur. Malam itu juga aq telfon pae Ambarawa dan bilang besok biaya rumah sakit langsung ditransfer. Paginya, Ibu yang jagain istriku di rumah sakit juga aq bilangin biaya rumah sakit Rp 5 juta langsung ditransfer. kalau kurang agar dicarikan tambahin sambil aq nyari2 lagi. Sambil nanyain kondisi terakhir, aq bilang agar smua kluarga ikut bantu doa moga2 minggu2 ini istriku bisa keluar rumah sakit. Agar biaya cukup dan tidak membengkak. "Dari hasil tes darah dan ronsen, kata Pak Susanto (ahli penyakit dalam), istrimu cuma kena bronkitis. Penyakit lain tidak ada. Mungkin minggu2 ini bisa dibawa pulang. Tapi pak Susanto bilang harus ada yang jamin," kata pae dari telpon. "Ga papa pae. Jumat besok aq ke Ambarawa lagi," jawabku. "Ga usah le. Mengko nek wis kondisinya membaik awakmu tak kabari. Kalau kamu ga bisa ke sini, pae yang akan nganter ke Jakarta. Awakmu konsentrasi kerja ae," kata pae lalu memutus telpon.
Ya Allah, sembuhkanlah istriku. Aq tahu ini adalah cobaan. Peringatan kalau aq malas untuk bersujud kepadamu. Malam yang seharusnya waktu untuk mengingat-Mu justru aq malah tidur terlelap.
Jika aq boleh curhat ya Allah, itu karena fisikku ga mau diajak kompromi. Lelah seharian liputan dan selalu ketiduran hingga pagi menjelang. Dalam hati kecilku, keinginan untuk selalu memutar tasbih di tengah malam yang sunyi selalu menyala2 dan tak pernah padam. Di atas motor di tengah kemacetan Jakarta pun aq selalu menyebut nama-Mu. Karena hanya Engkau yang pantas untuk selalu diingat. Hanya Engkau yang pantas untuk selalu disebut nama-Nya. Karna, hanya Engkau yang bisa dijadikan tempat bertumpu segala harapan.

Malam sunyi, di presroom balaikota usai ngetik brita, 7 Januari 2009.

2 komentar:

LonelyWanderer mengatakan...

semoga cepat sembuh..

vraboo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.