01 Mei 2008

Ketika Bolos Menjadi Budaya


560 Siswa SMA Terancam Tak Lulus Sekolah

Peringatan Hari Buruh atau Mayday menyentakkan kesadaran kita. Bukan lantaran hiruk pikuk ribuan buruh yang turun jalan, tapi di balik itu, ada ribuan siswa yang terancam tidak lulus sekolah. Itu lantaran hingga batas akhir ujian susulan tanggal 30 April, sebanyak 560 siswa tak juga kunjung mengikuti ujian. Padahal, sebelumnya ratusan siswa itu juga tidak mengikuti ujian nasional (UN) yang digelar pada 22 hingga 24 April lalu. Soal ini aq tulis di Harian INDOPOS, 1 Mei 2008.
Konsekuensinya, ratusan siswa itu dipastikan tidak akan lulus sekolah. Kecuali jika mau mengikuti ujian Paket C yang bakal digelar Juni mendatang.
“Mereka tetap diberikan ijazah kesetaraan,” ungkap Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) Margani M Mustar.
Ujian Paket C itu digelar setelah pengumuman hasil ujian nasional pada 14 Juni mendatang. Setelah itu, bagi yang tidak lulus UN atau ujian susulan atau tidak mengikuti keduanya, masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian Paket C tersebut. Hal itu sebagai bentuk toleransi untuk membantu para siswa agar bisa menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat SMA.
Berdasarkan data Dikmenti, siswa yang tidak hadir mengikuti UN yang digelar 22 hingga 24 April lalu tercatat 657 siswa. Dengan rincian, SMA 165 orang, Madrasah Aliyah (MA) 14 orang dan SMK 478 orang. Namun, dari jumlah tersebut, yang mengikuti UN usulan hanya 97 orang. Terdiri dari 61 siswa SMA, enam siswa MA dan 30 siswa SMK.
Dijelaskan Margani, untuk jumlah siswa SMA/MA/SMALB dan SMK yang menjadi peserta UN tercatat sebanyak 118.929 dengan jumlah sekolah penyelenggara sebanyak 1.065 sekolah. Tingkat SMA 453 sekolah, SMK 537 sekolah, SMALB 5 sekolah dan MA 70 sekolah.
Mata pelajaran yang diujikan dalam UN, untuk SMA Program IPA yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Kimia, Fisika dan Biologi. Program IPS meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Geografi, Ekonomi dan Sosiologi. Sementara untuk Program Bahasa meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Sastra Indonesia, Bahasa Asing dan Sejarah Budaya.
Meski demikian, Margani menegaskan, kelulusan siswa dari sekolah tidak hanya ditentukan berdasarkan hasil UN. Sebab, ada empat elemen penentu kelulusan siswa. Yakni, lulus UN, UAS (ujian Akhir Sekolah), perilaku dan nilai rapor siswa. Jika salah satu tahapan tersebut tidak lulus, siswa yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus sekolah. “Memang agak sedikit berat, tapi berdasarkan nilai tingkat kelulusan tahun kemarin, saya pikir siswa DKI mampu,” ungkapnya.
Untuk UN sendiri, peserta didik dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25. Atau, siswa harus memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran. Sementara nilai mata pelajaran lainnya yang diujikan pada UN masing-masing minimal 6,00. Untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimal 7,00. Nilai tersebut digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Dikmenti optimistis, tingkat kelulusan di DKI semakin bertambah mengingat pada 2007 lalu, persentase kelulusan tingkat SMA di Jakarta mencapai 96,26 persen dari jumlah peserta 58.587 siswa dan SMK 94,30 persen dari 58.248 siswa.
Bagi para siswa yang tidak mengikuti UN atau ujian susulan itu, jika berniat mengikuti ujian Paket C, diharapkan segera melapor ke sekolah yang bersangkutan atau mendaftar sendiri ke Penyelenggara Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) di tingkat kecamatan.
Jika membaca berita ini, aq berpikir apakah tidak masuknya 560 siswa untuk mengikuti ujian nasional serta ujian susulan itu lantaran disengaja atau karena faktor lain. Sakit misalnya. Atau ada kondisi keluarga yang mendesak yang tidak tidak bisa ditinggalkan. Tapi pertanyaannya? kenapa tidak ada izin atau pemberitahuan. Bukankah itu sangat vital. Sekolah dengan susah payah, biaya besar, ujung-ujungnya harus dinyatakan tidak lulus. Bukan hanya keluarga yang bakal menyesal, tapi juga diri sendiri di kemudian hari.
Mungkin siswa tidak berpikir bahwa ijazah itu penting. Kenapa? karena kemampuan yang tidak didukung bukti sertifikasi sering tidak dianggap. Dan memang begitulah kenyataannya. Mungkin itu tidak berlaku bagi siswa dari keluarga berduit. Mereka bisa mengulang sekolah di tempat yang lebih bergengsi tanpa harus berpikir berapa kocek yang harus dikeluarkan. Atau, jika keluarganya memiliki perusahaan besar, tinggal masuk saja tahu-tahu sudah jadi manager atau direktur.
Tapi pertanyaanya, bagaimana jika yang bolos tidak ikut ujian itu siswa dari keluarga tidak mampu? apakah siswa tidak berpikir untuk membayar sekolah itu orangtuanya harus banting tulang peras keringat siang dan malam. Jangankan untuk membayar sekolah, untuk menyambung hidup hari ini saja sudah susah. Lalu apa yang siswa harapkan dengan bolos itu. Apakah hanya karena gengsi-gengsian sebagai bentuk trend remaja saat ini?
Bukankah kalian tidak pernah dengar, yang berijazah saja banyak yang jadi pengangguran, apalagi tidak mengantongi ijazah. Dengan apa kalian melanjutkan pendidikan, dengan apa kalian mencari lapangan pekerjaan. Kota ini sudah penuh dengan pengangguran dan gelandangan.
SEMOGA, pilihan siswa tidak mengikuti ujian bukan tanpa alasan. Sebab, penyesalan hanya datang di kemudian hari.

Jika kalian termasuk siswa yang bolos dan berasal dari keluarga yang tidak mampu,Hanya satu kata yang layak kalian camkan dalam hati. BERCERMINLAH!

Pojok Balaikota, sepi saat Mayday, 1 Mei 2008

Tidak ada komentar: