01 Mei 2008

Prostitusi di Kotakoe


Kelas Melati Tergusur, Prostitusi Kelas Atas Tak Tersentuh

Antara Pencegahan HIV/AIDS dan Mendongkrak Sektor Pajak

Tingginya jumlah penderita HIV/AIDS di DKI membuat Pemprov DKI Jakarta gencar melakukan berbagai langkah pencegahan. Di antaranya menggusur berbagai tempat prostitusi terbuka di lima wilayah DKI. Terutama yang ditengarai mengganggu ketertiban umum. Sejumlah tempat prostitusi diubah menjadi pusat kegiataan keagamaan. Sebut saja misalnya arena prostitusi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara yang berubah menjadi Islamic Center. Sementara penertiban di lokasi lain seperti di Kalijodo, Jakarta Barat serta Prumpung, Jakarta Timur juga telah diratakan dengan tanah.
Memang, diakui, masih banyak lokasi prostitusi lain yang terselubung kelas menengah ke bawah belum ditertibkan. Apalagi kelas menengah ke atas seperti di hotel berbintang, diskotek, panti pijat, spa, yang nyata-nyata memberikan keuntungan bagi pemerintah melalui sektor pajaknya. Dari jumlah hotel di DKI sebanyak 770 hotel, tahun ini diperkirakan memberikan pemasukan PAD sebesar Rp 625 miliar. Sementara untuk tempat hiburan sebanyak 983 tempat hiburan diperkirakan memberikan pemasukan sebesar Rp 219 miliar. Praktis, hal itu membuat maraknya prostitusi di dua tempat tersebut tidak tersentuh. Kecuali jika aksi prostitusi itu disertai dengan pesta narkoba akan lain jadinya. Sebab, pemerintah untuk yang satu ini tidak akan tinggal diam. Selain itu juga yang melibatkan ekploitasi anak di bawah usia 18 tahun lantaran dianggap melanggar Undang-Undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Sementara, di sisi lain, ketatnya persaingan antarhotel berbintang, tempat hiburan seperti diskotek, Pub, panti pijat, spa layanan plus-plus membuat para pengusaha akan berusaha semaksimal mungkin menghadirkan layanan yang mampu memikat para pengunjungnya dan membuat ketagihan. Tak heran jika berbagai cara dilakukan. Seperti mendatangkan PSK usia dini di bawah usia 18 tahun, PSK luar negeri dari berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Cina Daratan, bahkan PSK dari Timur Tengah serta Afrika.
Sementara hotel dan tempat hiburan yang sudah sangat populer menjadi tempat prostitusi kelas menengah ke atas itu seperti di Taman Sari, Jalan Pangeran Jayakarta, komplek Kota Indah, Mangga Besar, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kelapa Gading, Blok M, Mampang, Rawamangun, Jelambar, Tanjung Priok serta lokasi lainnya.
Data yang berhasil dirilis dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dari total para pelaku prostitusi di Indonesia, 30 persennya anak usia sekolah. Yakni berjumlah sekitar 40 ribu hingga 70 ribu anak. Sedangkan usianya di bawah 18 tahun.
Tidak hanya itu, kekerasan yang dialami anak juga meningkat sangat drastis dari tahun ke tahun. Dengan jumlah sekitar 20 ribu pada tahun 2005, meningkat lima kali lipat pada tahun 2007. Diperkirakan angka kekerasan anak mencapai 40 ribu kasus.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, anak-anak perempuan itu sangat rentan terhadap segala bentuk penyakit menular seksual. Termasuk HIV/AIDS. Sekaligus rentan terjadinya kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh germo, pelanggan dan orang tua.
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Hiburan Indonesia (Aspehindo) Adrian Maulete saat dikonfirmasi tidak bisa dihubungi. Namun, sebelumnya, Adrian pernah menyatakan, kelompok artis yang didatangkan untuk bekerja pada hiburan malam sesuai dengan prosedur yang legal. Sedangkan wanita asing yang jadi PSK biasanya datang secara individu, tanpa melalui impresariat maupun sponsor, seperti menyamar sebagai turis. Sementara, pihaknya tidak mengetahui persis pengusaha mana yang mendatangkan artis asing tersebut. Namun, jumlah artis asing yang didatangkan itu diperkirakan mencapai ratusan orang yang umumnya penyanyi Mandarin. "Biasanya mereka bukan cuma menghibur pada satu lokasi, melainkan bergiliran kesejumlah lokasi lainnya dan dikombinasi dengan artis lokal. Tapi kami minta agar pengelola hiburan mematuhi aturan dan tidak menggelar atraksi porno seperti stiplease," ungkapnya.
Maraknya aksi prostitusi di hotel kelas melati hingga hotel berbintang serta berbagai tempat hiburan itu sedikit banyak memang menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS di DKI.
Laporan hasil penelitian dari Komisi Penanggulangan AIDS per 31 Maret 2008 menyebutkan, kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, disusul Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau serta Sumatera Barat. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui heterosex 57,36 persen, IDU 38,38 persen serta homosex 2,89 persen.
Sementara jumlah penderita AIDS terhitung mulai Januari 2008 hingga 31 Maret 2008, untuk DKI Jakarta sebanyak 29 kasus. Sedangkan total jumlah nasional sebanyak 727 kasus. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20 hingga 29 tahun (47,04 persen), disusul kelompok umur 30 hingga 39 tahun (25,17 persen) dan kelompok umur 40 hingga 49 tahun (5,64 persen). Sedangkan yang dilaporkan meninggal sebanyak 16,7 persen. Untuk infeksi HIV sendiri, hingga Maret dilaporkan sebanyak 6.130 kasus.
Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, untuk menertibkan aksi prostitusi tersebut sudah dilakukan. Yakni dengan mengubah tempat prostitusi menjadi pusat kegiatan keagamaan. Seperti tempat prostitusi Kramat Tunggak di Jakarta Utara yang digusur untuk kemudian dibangun Islamic Center.
Sayangnya, Foke tidak menyebutkan apakah ada upaya untuk menertibkan aksi prostitusi di hotel serta tempat hiburan yang kian marak itu. Sebab, dalam dalam Perda ketertiban umum sama sekali tidak ada ketentuan larangan prostitusi di dua tempat tersebut. Yang mendapat larangan keras terkait berbagai kegiatan mengganggu yang berada di ruang publik. Begitu juga dalam raperda HIV/AIDS yang baru digodok antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI tidak disinggung adanya aksi pemberantasan prostitusi di hotel serta tempat hiburan itu. Justru yang dibahas kemungkinan adanya ATM kondom. "Siapapun boleh setuju dan tidak setuju. Tapi kami ingin dalam pembuatan perda ini tidak ada pihak yang dirugikan, sementara pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan," ujar Foke.
Diakuinya, upaya pembuatan payung hukum untuk penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta relatif berjalan lambat dibandingkan provinsi lain. Sementara di sisi lain, penyebaran virus tersebut terus berjalan dan menelan korban. "Jangan ada yang ditutupi karena dianggap aib sehingga sulit dikendalikan," ujarnya.
Dijelaskan, dalam raperda HIV/AIDS yang berisi 10 bab dan 33 ayat itu, akan dimasukkan upaya prevensi, sosialisasi, penanggulangan serta bagaimana memperlakukan ODHA.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Wibowo Sukijat, penularan HIV/AIDS tersebut sebanyak 54 persen akibat ODHA, hubungan seksual 25 persen dan homo seksual dua persen. Sedangkan untuk lokasi penyebaran HIV/AIDS, terdapat 3,4 persen bersumber dari panti pijat, diskotik, dan bar.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Yusuf Effendi Pohan, pihaknya membantah jika dunia pariwisata DKI terutama kehidupan malam identik dengan prostitusi serta narkoba. Baik itu yang ada di hotel maupun hiburan malam seperti diskotek, PUB, panti pijat serta spa. Jika ada, itupun hanya bagian kecil dari ruang lingkup paket pariwisata yang digencarkan. "Pandangan bahwa dunia pariwisata terutama dunia malam identik dengan prostitusi dan narkoba itu salah perlu diluruskan. Ini juga yang menjadi penyebab buruknya citra pariwisata," kelitnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI memang melaporkan jumlah wisatawan yang datang ke Jakarta serta tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang turun drastis. Sayangnya, BPS tidak menyebut faktor apa saja yang melatarbelakangi turunnya jumlah wisatawan mancanegara itu. Disebutkan, pada bulan Januari 2008, tingkat penghunian kamar (TPK) pada hotel berbintang di DKI mencapai 52,29 persen, mengalami penurunan TPK sebesar 6,76 poin dari TPK bulan Desember 2007 yang mencapai 59,05 persen. Rata-rata lama menginap tamu (asing dan Indonesia) pada hotel berbintang bulan Januari 2008 adalah 2,13 hari, mengalami penurunan 0,03 hari jika dibandingkan dengan rata-rata lama menginap bulan Desember 2007. (aak)

Tidak ada komentar: