26 Mei 2008

Rekam Jejak Alm. Ali Sadikin Membangun Jakarta (2)

Rekam Jejak Alm. Ali Sadikin Membangun Jakarta (2)

Dibangun Susah Payah, Satu Per Satu Fasilitas Publik Raib

Ali Sadikin telah menoreh sejarah panjang dalam membangun Jakarta. Selama menjadi Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, dengan susah payah, kota yang awalnya kumuh disulap menjadi pusat investasi. Sayang, gerakan de-Ali Sadikin-isasi merusak segalanya.

IBNUL A'ROBI

Warga Jakarta patut berterimakasih terhadap Bang Ali. Berkat jasanya membangun Jakarta selama periode 1966-1977, kota kumuh itu berubah menjadi kota metropolitan. Jakarta telah menjadi gula bagi semut. Investor, pengusaha, pengangguran, seluruhnya lari ke Jakarta untuk ikut meneguk hasil pembangunan yang ditoreh pria kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 tersebut. Pemerintah pusat yang awalnya memandang "sinis" dengan menolak proyek Bang Ali, kini harus angkat topi atas keberhasilannya. Sebut saja proyek Muhamad Husni Thamrin (MHT) yang mulai dicanangkan pada tahun 1969. Dari kekumuhan, Jakarta berhasil disulap menjadi kota dengan penuh gemerap. Tak heran, atas jasanya itu, bapak lima anak itu menerima Ramon Magsaysay Award untuk Government Service tahun 1971 di Filipina. Kemudian, pada 19 Oktober 2004, Bank Dunia juga memberikan penghargaan khusus atas jasanya dalam proyek perbaikan kampung. Bahkan, tidak tangung-tangung, pada Januari 2006, Institut Kesenian Jakarta menobatkan Bang Ali dengan gelar Empu Peradaban Kota.
Sayangnya, meskipun dianggap telah membawa Jakarta bangkit dari keterpurukan, konsep Bang Ali untuk membangun Jakarta banyak yang dikubur sejak pencetus petisi 50 itu lengser dari jabatan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1977.
"Alasannya, karena saya dianggap menentang pemerintah, pengganti saya (Tjokropranolo 1977-1982,) melakukan de-Ali Sadikin-isasi. Semua program saya dihapus," ungkap suami suami drg Nani Arnasih (alm) dan Linda Mangan.
Munculnya de-Ali Sadikin-isasi lantaran saat itu, Bang Ali bicara keras soal pemerintahan. Bersama Bung Hatta dan Jenderal AH Nasution tahun 1978 mendirikan Yayasan Berkonstitusi. Soeharto dianggap mulai melenceng. Langkah itu kembali dipertajam dengan munculnya petisi 50 tahun 1980. "Itu membuat saya dianggap sebagai musuh pemerintah," akunya.
Akibat proses de-Ali Sadikin-isasi itu, sudah dapat ditebak, hampir seluruh konsep pembangunan Bang Ali ikut dikubur rapat-rapat oleh penerusnya yang "mengekor" pemerintah. Proyek MHT yang awalnya dikenal dengan proyek perbaikan kampung nyaris tak terdengar gaungnya. Jika ada pun, hanya sekadar formalitas dan tidak pernah menyentuh substansi untuk lebih meningkatkan taraf hidup warganya.
Sementara di sisi lain, arus urbanisasi terus berlangsung dan tidak bisa dihentikan. Jakarta dari waktu ke waktu bertambah sesak dan overload. Padahal, meledaknya jumlah penduduk ditengarai sebagai pemicu utama persoalan sosial. "Konsep Bang Ali tidak harus diterjemahkan seperti apa adanya. Jakarta bisa bangkit lagi jika konsep itu diterapkan dengan melihat isi substansi sebenarnya. Bukan justru dikebiri seperti saat ini," ungkap pakar planologi Universitas Trisakti Yayat Supriatna.
Memang, pada zaman Belanda dulu, Jakarta hanya dirancang untuk 800 ribu penduduk. Jumlah itu terus merangkak naik. Saat Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur tahun 1966, jumlah penduduk DKI sudah mencapai 3,5 juta. Kemudian, hingga akhir masa jabatannya tahun 1977, jumlah penduduk Jakarta sudah mencapai 5,5 juta jiwa. Namun, hingga menjelang akhir hayatnya, Bang Ali masih geleng-geleng kepala. Arus urbanisasi yang cukup deras tak mampu disikapi dengan sigap. Bahkan, saat Gubernur DKI Jakarta dijabat Sutiyoso (1997-2007), larangan keras para urban masuk Jakarta tanpa adanya jaminan pekerjaan yang jelas serta tempat tinggal dianggap sudah terlambat. Penduduk Jakarta sudah menembus angka 10 juta lebih. Itu belum termasuk penduduk liar yang tidak pernah tercatat secara resmi.
Sejumlah titik sudah banyak dipenuhi gubuk-gubuk liar. Rel kereta, bantaran kali, kolong tol, terminal serta berbagai fasilitas publik lainnya penuh dengan para urban dan menjadi masalah baru bagi penataan kota. Penertiban yang dilakukan hanya di permukaan saja tanpa ada solusi konkret. "Waktu itu saya habis menertibkan Tanah Abang, Bang Ali bilang, berani ga nertibin Senen," ungkap Sekda Muhayat mengingat kata Bang Ali saat masih menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat.
Tidak optimalnya perhatian pemerintah saat ini juga sempat membuat Bang Ali miris.Banyak di antara hasil pembangunannya praktis mangkrak dan tidak sedikit di antaranya harus ikut terkubur bersama sejarah.
Sebut gelanggang mahasiswa di Soemantri Brodjonegoro Jalan Rasuna Said, Kuningan harus telantar lantaran disulap menjadi pertokoan. Gelanggang remaja di kawasan Bulungan harus disewakan untuk swasta.
Pusat perfilman Usmar Ismail di Kuningan yang awalnya diimpikan menjadi Holiwoodnya Indonesia, tanahnya harus ditukar guling. "Saya merasa sudah dikhianati atas perubahan Jakarta. Pengganti saya hanya mengedepankan idenya sendiri. Tidak ada yang menambah fasilitas untuk rakyat," ungkap Bang Ali kala itu.
Jika pada zamannya, di setiap kecamatan ada balai rakyat, saat ini praktis tak ada lagi. Padahal, sarana publik itu banyak dimanfaatkan warga untuk saling berinteraksi, acara pesta serta kepentingan lainnya.
Bahkan untuk masalah paling krusial seperti pengendali banjir juga dialihfungsikan. Sebut saja ruang terbuka hijau (RTH) telah banyak disulap menjadi real estate. Begitu juga dengan 200 waduk yang dibangun pada Zaman Belanda nyaris hanya tersisa sebagian. Pemimpin daerah Bekasi, Bogor, dan Tangerang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. "Jika konsep Bang Ali tidak segera dilanjutkan, Jakarta selamanya akan dikepung persoalan yang tak henti-hentinya membelenggu. Banjir, macet, kemiskinan, akan selalu datang," tegas Yayat Supriyatna.
Selama menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Bang Ali memang seorang pelopor pembangunan. Hampir seluruh fasilitas publik saat ini hasil gagasannya. Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja serta kota Satelit Pluit.
Selain membangun fasilitas publik, Bang Ali juga dikenal pelestari budaya Betawi. Pesta rakyat setiap 22 Juni digelar, kontes Abang None dimunculkan. Aneka ragam budaya Betawi yang nyaris punah juga dipertahankan. Seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong serta topeng Betawi masih ada saat ini berkat jasa Bang Ali.
Sosok yang tak lekang oleh waktu itu telah bersanding dengan tenang untuk selamanya bersama istri tercinta Nani Arnasih yang lebih dahulu berpulang pada 17 Februari 1986 lalu. Tanah merah di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan akan selalu menjadi saksi bisu atas segala perjuangan yang pernah ditoreh untuk pembangunan Jakarta. (*)

Tidak ada komentar: