26 Mei 2008

Rekam Jejak Ali Sadikin Membangun Jakarta (1)

Rekam Jejak Ali Sadikin Membangun Jakarta (1)

DKI Bangkit Berkat Legalisasi Perjudian dan Lokalisasi Prostitusi

Ali Sadikin telah pergi selama-lamanya. Banyak hal yang telah dilakukan dalam membangun Jakarta selama menjabat sebagai Gubernur DKI 1966-1977. Ide penuh kontroversial seperti melegalkan perjudian dan lokalisasi prostitusi telah membawa Jakarta bangkit dari keterpurukan.

IBNUL A'ROBI

Bang Ali, begitu Ali Sadikin Akrab Disapa. Pria kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 tersebut namanya masih lekat di hati masyarakat Jakarta. Kepergiannya menghadap Yang Kuasa telah meninggalkan banyak kenangan dari bagi rekan, sahabat, kolega, bahkan lawan politiknya. Satu hal yang banyak dikagumi banyak orang. Sikapnya tegas, berani dan konsisten demi kepentingan masyarakat banyak. Meskipun, hal itu kerap menjadi kontroversi dan ditentang banyak kalangan pada zamannya. Sebut saja soal legalisasi perjudian dan lokalisasi prostitusi.
"Saya ingat betul, saat itu Jakarta kumuh, semrawut. Perjudian menggila, prostitusi marak di jalan-jalan protokol tanpa ada rasa malu lagi," kenang anggota petisi 50, Chrisiner Kewtin yang dikenal dekat dengan Bang Ali.
Pria yang saat ini berumur 68 tahun itu masih ingat betul langkah Bang Ali dalam membangun Jakarta hingga terwujud kota metropolitan seperti saat ini. Saat itu, Bang Ali kebingungan pada saat awal menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 1966. Betapa tidak, hanya dengan APBD sebesar Rp 66 juta, suami drg Nani Arnasih (alm) dan Linda Mangan itu dituntut bisa menata Jakarta yang amburadul. "Lalu dengan apa saya harus membangun. Begitu Bang Ali saat itu tanya saya kebingungan," ungkapnya.
Namun, bapak lima anak itu tidak kehabisan akal. Dengan kecerdasannya, Bang Ali, berpijak pada realitas kondisi Jakarta saat itu, keberadaan perjudian yang tidak terkendali dan sudah menjadi tradisi masyarakat bisa diolah dan dikendalikan setelah dilegalkan. Begitu juga dengan prostitusi harus ditata dan dilokalisasi agar tidak semrawut hingga menjamah jantung kota. Kejahatan itu seperti air. Jika kanal ditutup, akan meluber ke mana-mana.
Ide dicetuskan. Kontroversi mulai bermunculan. Terutama dari tokoh agama dan pemuka masyarakat. "Tapi beliau kukuh. Toh ini untuk kepentingan masyarakat banyak. Bagaimana Jakarta mau dibangun kalau tidak ada duit. Jalan, sekolah, rumah sakit akhirnya diperbaiki dengan pajak judi tersebut," ungkapnya.
Untuk menetapkan pajak judi sebagai pemasok PAD bukan tanpa pertimbangan. Konsultasi dengan sejumlah tokoh agama dan masyarakat tetap dilakukan. Buya Hamka, tokoh agama terkemuka saat itu menyatakan persetujuannya jika memang pelegalan perjudian itu untuk kepentingan masyarakat banyak.
Akhirnya, meskipun banyak yang menentang, terhitung tahun 1967, judi di DKI dilegalkan. Kasino terbesar se-Asia setelah Macau dibangun di Hailai, Ancol, Jakarta Utara. Lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak, Jakarta Utara berdiri. "Awalnya, beliau memang ragu-ragu karena dicap sekuler. Tapi saya bilang sekuler dalam berkebangsaan dengan sekuler dalam kacamata agama berbeda," kata Chrisiner Kewtin.
Setelah legalisasi perjudian itu, pelan tapi pasti, Jakarta mulai bangkit dari keterpurukan. Pembangunan di sejumlah titik terlihat jelas dan banyak memberi kemanfaatan kepada masyarakat. Jalan menjadi mulus, bangunan sekolah yang reot diperbaiki, rumah sakit dibangun. Maklum, dari hasil pajak perjudian itu, mampu diraup pemasukan daerah hingga Rp 40 miliar per tahun. Dari awal kepemimpinannya APBD DKI hanya Rp 66 juta, pada akhir pemerintahanya, APBD DKI mampu didongkrak hingga Rp 90 miliar. "Waktu pembangunan sudah jalan. Ada yang tetap masih protes. Kok bangun pakai uang judi. Bang Ali bilang, yang ga mau menikmati pembangunan hasil judi, jangan lewat jalan di DKI, silakan jalan di angkasa saja," katanya mengingat sikap Bang Ali yang kukuh menghadapi para penentangnya.
Maraknya perjudian di DKI mulai terlihat jelas sejak tahun 1950. Di berbagai tempat dan kesempatan, judi seperti menjadi tradisi baru masyarakat. Bahkan, saking santernya, wabah perjudian merembet hingga ke Jawa dan luar jawa. Setiap ada hajatan di kampung-kampung hingga pelosok terpencil, judi praktis menjadi tradisi baru untuk mengawal prosesi pesta pada saat malam hari. Mulailah berbagai jenis judi bermunculan. Sebut saja dadu sintir, dadu koplok, domino, gaple, cemek atau jenis mahyong, paykiu dan kartu ceki yang banyak digemari warga Tionghoa. Seiring kemajuan zaman, jenis judi pun mulai berkembang. Ada roulette, jackpot, dadu, keno, blackjack serta bakarat.
Meskipun di negeri sendiri legalisasi perjudian ditentang habis-habisan, justru Negara Islam Malaysia justru mulai meniru dan menerapkan ide Bang Ali terkait lokalisasi pusat perjudian di negara tersebut. Atas gagasan Tan Sri Lim Goh Tong, warga keturunan Fujian, China, pembangunan pusat perjudian di Genting Highlands direstui perdana menteri Malaysia pertama Tengku Abdul Rahman Putra Al Haj. Pusat perjudian terbesar di Asia setelah Macau dan Jakarta itu dibangun hanya berjarak 60 km dari Kuala Lumpur.
Bahkan, pada saat krisis moneter menerpa Malaysia, Genting Highlands disebut-sebut sebagai dewa penyelamat negara tersebut.
Meski dilegalkan, warga lokal diberlakukan peraturan ketat. Hanya warga asing yang bisa keluar masuk dengan mudah.
Hal yang sama juga terjadi di Singapura. Untuk bisa masuk, harus investasi pertama sebesar USD 100.
Menurut anggota komisi A DPRD DKI Ahmad Suaidy yang saat itu mengikuti jejak langkah Bang Ali menuturkan, legalisasi perjudian di DKI bukan tanpa alasan. Dewan saat itu menyetujui lantaran untuk kepentingan masyarakat banyak. "Komunikasi dan konsultasi tetap ada. Tapi dewan zaman dulu kan ABS (asal bapak senang). Dulu sangat tertutup, tidak seperti saat ini," ungkapnya.
Ketaatan dewan saat itu lantaran segala fasilitas dicukupi oleh eksekutif. Hingga fungsi kontrol nyaris tidak terlihat.
Namun, sejak setelah dikeluarkannya Keppres tahun 1975 tentang larangan perjudian, KUHP pasal 303 serta PP no 9 tahun 1981 tentang pelaksanaan penertiban perjudian, keberadaan kasino di Jakarta dibubarkan dan ditutup. Perjudian dianggap terlarang. Hal itu ditengarai akibat sikap Ali Sadikin yang kerap menentang kebijakan rezim Orde Baru yang saat itu tengah berkibar. Larangan judi dianggap banyak pihak hanya sebagai persaingan politik antara Soeharto dan Ali Sadikin dan bukan terkait substansi keberadaan perjudian. Sebab, meski ada larangan perjudian, SDSB dan porkas masih "diizinkan" di masa rezim Soeharto.
Ide Bang Ali tentang legalisasi perjudian hingga saat ini masih kontroversial. Namun, sempat pada kepemimpinan Sutiyoso (1997-2007), ide tersebut akan dilanjutkan dengan melokalisasi perjudian di kawasan Pulau Seribu. Saat itu Bupati Pulau Seribu dijabat Abdul Kadir. Sebanyak 35 pulau dicanangkan sebagai kawasan perjudian. Protes keras masyarakat tak mampu membuat niatan tersebut terealisasi. (aak)

Tidak ada komentar: