26 Mei 2008

Rekam Jejak Alm. Ali Sadikin Membangun Jakarta (3-Habis)

Rekam Jejak Alm. Ali Sadikin Membangun Jakarta (3-Habis)

Teringat Ramalan Ronggowarsito, Prihatin Konsep Megapolitan Diabaikan

Saat Jakarta dipimpin Ali Sadikin 1966-1977, situasi dalam negeri masih belum kondusif. Gencarnya aksi demonstrasi pembebasan Irian Jaya dan anti Malaysia membawa tekanan ekonomi cukup serius. Banyaknya pemberontakan di luar Jawa membuat arus urbanisasi semakin gencar. Krisis ekonomi, sosial, kemanusiaan berbaur membentuk Jakarta menjadi kota yang nyaris mati suri. Lalu dengan spirit apa Jakarta bisa bangkit?

IBNUL A'ROBI

Begitu Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Soekarno pada 28 April 1966, pria yang akrab disapa Bang Ali itu langsung tancap gas. Dasar-dasar pembangunan yang telah dirintis pendahulunya (Heng Ngantung 1964-1965) seperti pencukupan sandang, pangan, papan, interaksi sosial dan pendidikan terus diperluas. Sebab, kebutuhan dasar itu jika tidak dipenuhi akan menjadi masalah serius di kemudian hari. Keberadaan gelandangan yang terus menyerbu Jakarta tidak dihenti-hentinya ditertibkan. Bahkan, saking santernya upaya penertiban itu, Bang Ali pernah disebut tukang gusur dan tukang bangun. Ribuan gelandangan yang mayoritas kaum urban yang berdatangan dari kawasan penyangga Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang serta kota-kota lain dikikis habis hingga hanya tersisa di kawasan perbatasan. Suasana dalam kota yang mulai bersih dan tertata membuat Presiden Soekarno kala itu sangat berterimakasih terhadap Bang Ali.
Namun, krisis ekonomi 1997 membuat impian Bang Ali buyar. Ribuan pengangguran dari berbagai pelosok negeri berdatangan ke Jakarta. Ketimpangan begitu terasa terjadi antara kaya dan miskin. Tak heran jika kemudian kerusuhan terjadi di mana-mana. Penjarahan, pemerkosaan, perampokan dan berbagai tindak kriminalitas hampir terjadi di seluruh titik kawasan Ibu Kota. Perekonomian pun ambruk. Sejurus kemudian, korupsi menjadi-jadi hampir di seluruh lini. "Saya sedih jika melihat itu semua. Zaman sudah berubah menjadi zaman edan seperti yang diramalkan Ronggowarsito," katanya kala itu prihatin.
Sebenarnya, kejadian yang berulang saat Gubernur DKI mulai dijabat Sutiyoso tahun 1997 itu persis seperti kondisi saat Bang Ali diangkat menjadi Gubernur tahun 1966. Krisis ekonomi hingga titik nadir dipicu setelah adanya gelombang aksi besar-besaran pembebasan Irian Jaya serta aksi anti Malaysia yang terus berlangsung. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan juga membawa gelombang urbanisasi besar-besaran ke Jakarta. Hal itu belum lagi ditambah para imigran dari dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Lampung yang terus terjadi dan belum bisa dihentikan. Persoalan sosial semakin menjadi-jadi tatkala ribuan warga penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang juga ikut bergantung ikut mencari nafkah di Ibu Kota.
Pelan tapi pasti, kondisi Jakarta akhirnya berhasil dipulihkan. Untuk tidak mengulang kejadian serupa, Bang Ali lalu menggagas konsep megapolitan.
Sumber masalah sosial diyakini akibat derasnya arus urbanisasi. "Jakarta seharusnya bisa belajar dari pengalaman. Jakarta butuh pemimpin yang tegas, berani dan visioner. Konsep megapolitan inilah yang dalam jangka penjang bisa memecahkan persoalan kota. Ini sudah saya tegaskan sejak tahun 1966, tapi tak pernah terealisasi," ungkapnya sedih.
Seperti pada zamannya, penataan kota yang pernah dirintis saat Bang Ali menjabat sebagai Gubernur nyaris runtuh. Seperti yang dicatat sosiolog Universitas Leiden Perter JM Nas, gejolak sosial itu kembali menerpa Ibu Kota saat DKI dipimpin Tjokropranolo (1977-1982). Kriminalitas meningkat tajam dan penempatan tanah secara ilegal menjadi-jadi.
Baru setelah Gubernur DKI dijabat Suprapto (1982-1987), konsep megapolitan Bang Ali atau pada awalnya dikenal sebagai Jabotabek Master Plan itu direalisasikan. Para urban ditekan ke utara dan selatan Jakarta. Kemudian dibuatlah master plan DKI 1985-2005 yang dikenal rencana umum tata ruang (RUTR). Kemudian, saat Gubernur DKI dijabat Wiyogo (1987-1992), penataan kota dipertajam dengan keluarnya konsep BMW (bersih, manusiawi dan berwibawa).
Runtuhnya sendi-sendi perekonomian dan krisis sosial kemanusiaan di Jakarta kembali berulang saat gerakan menentang rezim Soeharto terjadi tahun 1998. Namun, pelan tapi pasti, perekonomian kembali bisa ditumbuhkan. Iklim investasi Jakarta yang awalnya stagnan bisa bangkit bersamaan pulihnya keamanan. Pertumbuhan ekonomi yang awalnya minus 17,49 persen tahun 1998, bisa dikembalikan hingga 4,89 persen pada akhir periode pertama dan terus merangkak naik hingga mencapai 5,87 persen tahun 2007. "Jakarta saat dipimpin Sutiyoso memang seperti zaman saya. Untuk memimpin Jakarta perlu pemimpin yang tegas," kata Bang Ali.
Belajar dari Bang Ali, Sutiyoso sendiri tidak hanya mengedepankan jaminan keamanan bagi pertumbuhan iklim investasi. Konsep megapolitan Bang Ali kembali digulirkan hingga mencuat menjadi wacana nasional. Sebab, tanpa adanya megapolitan, persoalan Jakarta tak akan bisa diselesaikan. Masalah banjir, transportasi, urbanisasi akan terus membelenggu Jakarta. Sayang, lagi-lagi pemimpin kawasan sekitar hanya mencibir. Megapolitan dituding sebagai ambisi Jakarta mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Sementara Sutiyoso dianggap berkepentingan menjadi menteri koordinator megapolitan. "Siapa bilang megapolitan untuk mencaplok. Itu untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dari daerah sekitar juga," ungkap Bang Ali.
Bagi bapak lima anak itu, persoalan Jakarta akan tuntas jika bisa dibentuk kota-kota satelit di kawasan Bodetabekjur. Persis seperti Retterdam yang kala itu seperti Jakarta bisa keluar dari persoalan ketika daerah sekitarnya berdiri kota-kota satelit yang menjadi pusat industri dan investasi. Gelombang urbanisasi pun bisa ditekan sedemikian rupa.
Bagi Bang Ali, sebagai pusat investasi dan perdagangan, Jakarta harus bisa berbagi dengan daerah sekitar. Seperti pendirian pusat pembuangan sampah, pendirian tempat para tahanan serta pengendalian banjir dengan membangun sejumlah situ dan waduk. Kompensasinya, Jakarta bisa membayar mahal dengan mengucurkan dana setiap tahunnya kepada daerah sekitar. "Megapolitan itu harus dipandang sebagai penataan wilayah dari segi pemecahan persoalan lingkungan. Bukan dari segi politik batas wilayah. Jadi kenapa harus takut dicaplok," ungkap Direktur Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB Ernan Rustiadi.
Sutiyoso yang disebut-sebut Ali Sadikin II hingga akhir masa jabatannya pun tak mampu meluluhkan para pemimpin kawasan penyangga untuk merealisasikan megapolitan. Meskipun, setiap tahun, masing-masing daerah sekitar itu mendapatkan kucuran dana Rp 5 miliar per tahun dari DKI. Hingga akhir masa jabatan Sutiyoso, DKI telah mengucurkan dana cuma-cuma sekitar Rp 45 miliar, tapi tak pernah menyadarkan pemimpin kawasan sekitar untuk merealisasikan megapolitan.
Banjir bandang yang melanda Jakarta pada Februari 2007 memang sempat menyentakkan pemerintah pusat betapa pentingnya megapolitan. Dikumpulkannya Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten serta Gubernur DKI Jakarta dalam satu meja di Senayan tidak banyak menjawab persoalan. Kekecewaan DKI mencapai puncaknya saat usulan megapolitan dalam UU Tata Ruang terpaksa dikebiri para politisi Senayan dan hanya dinyatakan secara eksplisit dalam bentuk koordinasi. Kini, jasad Bang Ali telah terbujur di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Entah siapa lagi pemimpin Jakarta yang berani melanjutkan ide-ide cemerlangnya. Namun, sejarah takkan lupa mencatat, siapapun pemimpin Jakarta yang dengan berani melanjutkan ide besar Bang Ali dalam membangun Jakarta, bakal dicatat selamanya. (*)

Tidak ada komentar: