26 Mei 2008

Selamat Jalan Bang Ali

Selamat Jalan Bang Ali

Indonesia kembali berkabung. Putra terbaik bangsa mantan Gubernur DKI Jakarta periode 1996-1977 Letjen (Purn) Ali Sadikin, tutup usia pada umur 81 di Rumah Sakit Glen Eagles, Singapura, tadi malam
18.30 waktu setempat. Jenazah Bang Ali, sapaan akrabnya, rencananya akan diterbangkan dari Singapura dengan menggunakan pesawat GA 823 dan diperkirakan sampai di Jakarta pukul 07.00 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, siang ini sekitar pukul 14.00.
Pria kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 itu menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengalami komplikasi lantaran gagal ginjal dan empedu.
Menurut anak sulung Bang Ali, Boy Bernadi Sadikin, 53, sebelum dirawat di Singapura, mantan Ketua Umum PSSI periode 1977-1980 tersebut sempat menjalani pemeriksaan
menyeluruh (general check up) di Rumah Sakit Carolus Jakarta pada 10 April 2008. "Bapak memang orangnya seperti itu. Sakitnya tidak pernah dirasakan. Sakit tapi seperti tidak sakit. Baru setelah sakitnya parah, benar-benar dirasakan," ungkapnya di rumah duka Jalan Borobudur no 2, Menteng, Jakarta Pusat disela-sela menerima para pelayat tadi malam.
Penerima Bintang Mahaputera Adipradana pada 12 Agustus 2003 kali pertama merasakan sakit pada 2003 lalu dan sempat dirawat selama tujuh bulan di Rumah Sakit militer di Ghuang Zhou, Cina.
Dua ginjal Bang Ali dinyatakan dokter Negeri Tirai Bambu tidak berfungsi dua-duanya. Namun, dokter hanya mencangkok satu ginjalnya saja. Atas saran dokter setempat, penggagas petisi 50 itu disarankan rutin melakukan check up di negeri tersebut. Jika tidak, disarankan untuk berobat ke Singapura. Sebab, selain gagal ginjal, Bang Ali juga mengalami gangguan empedu. Namun, Bang Ali keberatan. "Sekembali dari Cina, kesehatan bapak naik turun. Sempat juga dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah delapan hari sebelum akhirnya dibawa ke Singapura," beber Bernadi.
Almarhum meninggalkan satu istri satu istri, lima orang anak serta 13 cucu.
Semasa hidupnya, suami drg Nani Arnasih (alm) dan Linda Mangan itu memang banyak berjasa. Selama menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, dikenal sebagai berdirinya Taman Mini Indonesia Indah, pendiri Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Pekan Raya Jakarta serta pelopor berdirinya sejumlah gelanggang. Seperti Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja serta Pusat Perfilman Usmar Ismail.
Bang Ali juga sangat berjasa atas berdirinya sejumlah museum seperti Museum Fatahillah, Museum Tekstil, Museum Keramik serta Museum Wayang. Selain itu juga dikenal sebagai sosok yang mampu mengembalikan fungsi gedung-gedung bersejarah seperti Gedung Juang 1945 dan Gedung Sumpah Pemuda.
Tak heran jika atas jasanya menata Kota Jakarta menjadi kota metropolitan, Bang Ali mendapatkan penghargaan Bintang Bintang Mahaputera Adipradana pada 12 Agustus 2003.
Sikapnya tegas dan bertanggungjawab sempat membawanya menduduki sejumlah pos jabatan strategis sebelum menjadi Gubernur DKI. Di antaranya, Deputi II Panglima Angkatan Laut (1959-1963), Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja (1963-1964), Menko Kompartimen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora yang disempurnakan (1964-1966) dan terakhir menjabat sebagai Gubernur KDH DKI Jakarta (1966-1977).
Setelah turun dari jabatan gubernur, namanya semakin berkibar setelah memelopori keluarnya Petisi 50 yang secara kritis menentang sejumlah kebijakan kontraproduktif yang yang dikeluarkan rejim Soeharto.
Di mata sahabatnya, Bang Ali dikenal sebagai tokoh tak lekang oleh waktu. Marie Muhamad misalnya. Selama hidupnya, Bang Ali dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan penuh kesederhanaan. Terutama saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebab, untuk menata Kota Jakarta yang kumuh dan semrawut saat itu diperlukan penegakan hukum. "Beliau itu sosok pemimpin yang kuat. Menjadi Gubernur Jakarta itu tidak gampang dimana urbanisasi terjadi besar-besaran. Dikerasin dianggap tidak manusiawi, dibiarkan juga salah," ungkapnya.
Tapi berkat kepemimpinan Bang Ali, Jakarta mampu ditata dengan baik. "Secara pribadi, yang paling berkesan, pernah dulu beliau bilang yang paling cocok jadi presiden Marie Muhammad," katanya bercanda.
Lain lagi dengan pengakuan sahabat dekat Bang Ali di petisi 50, Chrisiner Kewtin, 68.
Bang Ali dikenal sebagai seorang prajurit sejati dan negarawan sejati. Hal itu terlihat dari karirnya di militer. Ketika ditugaskan sebagai prajurit dalam penumpasan Permesta tahun 1960 di Manado. Bang Ali diberi deadline selama dua bulan. Tapi tugas itu mampu diselesaikan hanya dua minggu tanpa banyak korban di kedua belah pihak. "Yang paling jelas sebagai negarawan, saat menjadi Gubernur DKI. Dia bilang, saya ini bukan gubernurnya Golkar, tapi gubernurnya masyarakat. Dia itu pejuang masyarakat dan bukan alat dari pemerintah," bebernya.
Jasa yang tidak terkira itu juga tampak saat menata Jakarta dari APBD Rp 66 juta mampu mewujudkan Jakarta menjadi kota metropolitan."Waktu itu yang dipakai uang pajak judi. Banyak yang menentang. Tapi beliau bersikukuh, ini untuk kepentingan masyarakat banyak. Jalan, sekolah, rumah sakit dibangun hingga Jakarta maju pesat," bebernya. (aak)

Tidak ada komentar: